22 Desember 2009

Allah menjadi manusia: Pencipta jadi Ciptaan?

Yohanes 1: 1-14

Saudara-saudara.

Berita Alkitab tentang kelahiran Tuhan Yesus dikemukakan dengan cara dan penekanan yang berbeda-beda.

Injil Matius menekankan kelahiran Yesus sebagai penggenapan nubuatan para nabi, dan bagaimana Allah melindungi bayi Yesus dari niat jahat penguasa pada masa itu. Berbeda dengan Injil Matius yang menampilkan kunjungan Orang Majus, para pemuka agama dan Raja Herodes, Injil Lukas menampilkan kelahiran Yesus bagi kaum gembala. Mereka adalah rakyat kecil, buruh peternakan yang malam hari tidur beratap langit berselimutkan embun di padang Efrata. Namun Lukas juga menekankan kemuliaan malam Natal Yesus dengan menampilkan paduan suara malaekat sorgawi:

Luk 2: 13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: 14 "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."

Rasul Paulus dalam Filipi 2 : 5-7 menekankan kelahiran Tuhan Yesus sebagai pengosongan diri yang perlu kita teladani:

5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.


Seperti Rasul Paulus, penulis Injil Yohanes tidak mengisahkan fakta kelahiran Yesus sebagaiaman Matius dan Lukas, melainkan langsung masuk pada inti maknanya:

1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.


Alkitab dimulai dengan pengakuan iman mengenai penciptaan: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1). Injil Yohanes mulai dengan pengakuan yang lebih mendasar: Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Baru setelah itu dia kemukakan mengenai peran Firman dalam penciptaan: Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (ay. 3).

Ayat-ayat pembukaan Injil Yohanes ini perlu difahami dalam kaitan dengan pemikiran yang lazim masa itu, yaitu filsafat Hellenisme, sauatu filsafat yang berkembang dari perpaduan filsafat Yunani dengan berbagai pemikiran dan keagamaan dunia masa itu. Dalam filsafat Hellenisme dikenal apa yang disebut logos, yang difahami secara berbeda-beda oleh para filsuf, namun selalu dikaitkan dengan yang Ilahi. Dalam agama Yahudi kata logos dipakai menerjemahkan kata firman, dan dalam agama Kristen dihubungkan dengan Yesus Kristus sebagai Sang Firman.

Dalam pengungkapannya, Yohanes mula-mula menempatkan Sang Firman di tempat yang maha tinggi:
Firman itu bersama-sama dengan Allah,
Firman itu adalah Allah,
Firman itu menciptakan segala sesuatu.
Dalam Firman itu ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (ay 4).

Tetapi kemudian terjadi inkarnasi (menjadi daging):

Firman itu telah menjadi manusia.
Kai ho logos sarx egeneto.
et Verbum caro factum est.

Firman yang adalah Allah, yang ada sejak kekal, yang mencipta segala yang ada mengalami perubahan status yang sangat drastis:

dari Sang Sabda menjadi daging
dari Allah menjadi manusia
dari Sang Pencipta menjadi yang dicipta

Itulah yang disebut Rasul Paulus mengosongkan diri atau menjadi hampa: status keilahian ditinggalkan; merendahkan diri menjadi sama dengan manusia; bahkan bersedia menderita dan mati di kayu salib; tetapi karena itu Allah memberinya kemuliaan tertinggi. (Fil 2: 5-11).

Saudara-saudara.

Setelah menyatakan perubahan status itu ayat 14 memberi kesaksian mengenai kemuliaan Yesus:

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Bagaimana Sang Firman yang mulia meninggalkan kemuliaan-Nya ke dalam kehinaan manusia, tetapi terlihat kemuliaan-Nya? Kemuliaan Yesus adalah “ kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Kemuliaan bukan kebesaran kuasa, harta dan derajat sosial. Seluruh hidup Yesus Kristus terbentang dari palungan Betlehem sampai ke salib Golgota. Kemuliaan yang diberikan kepada-Nya nyata dalam “kasih karunia dan kebenaran”. Kemuliaan Yesus nampak dalam hidup, pengajaran dan pelayanan serta pengorbanan-Nya, yang secara keseluruhan adalah kasih karunia dan kebenaran Allah sendiri. Dalam Diri dan hidup Yesus Kristus kemuliaan kekuasaan digantikan dengan kemuliaan pelayanan. Yesus menjadi jalan, kebenaran dan hidup (14.6) karena hanya dalam Firman yang menjadi manusia Allah Sang Pencipta
masuk ke dalam ciptaan
menjadi bagian dari ciptaan
dan menebus ciptaan.


Kenyataan inkarnasi ini menjadi titik tolak ajaran Kristen untuk tiga prinsip kehidupan beriman: pertama, cinta kasih Allah demikian besar bahwa Ia korbankan Anak Tunggal-Nya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (3:16).


Sebagaimana diajarkan berulang-ulang dalam Hukum Kasih, dasar kehidupan Kristen adalah kasih Allah, dan karena itu manusia wajib mengasihi Allah dan sesama manusia. Inilah dampak sosial inkarnasi, suatu kehidupan bersama dalam persaudaraan, perdamaian dan keadilan.

Kedua, Allah berinkarnasi dan dengan itu mengkonkritkan apa yang dilakukan-Nya pada penciptaan manusia, yakni menciptakan manusia dalam gambar dan teladan Allah sendiri. Implikasinya adalah harkat dan martabat manusia yang harus dihormati karena Allah. Itulah dasar dari prinsip penghormatan dan penegakan hak-hak asasi manusia. Termasuk di dalam martabat manusia adalah penghormatan dan pengendalian terhadap kelengkapan nafsu seksual pada tubuh manusia, yang dilembagakan dalam kekudusan perkawinan. Kebebasan seksual tak terkendali menimbulkan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS di samping berbagai masalah sosial.

Ketiga, dalam inkarnasi Allah Sang Pencipta menjadi ciptaan, dan dengan itu menegaskan ciptaan bukan hanya milik-Nya melainkan yang sungguh dikasihi-Nya sebagai diri-Nya sendiri, sehingga wajib dijaga, dipelihara, dilestarikan. Inilah salah satu prinsip Kristen mengenai lingkungan hidup, yang dewasa ini makin penting diperhatikan. Ciptaan makin rusak karena ulah kerakusan dan kebodohan manusia. Hutan ditebang menjadi padang gundul yang menyebabkan banjir dan tanah runtuh, dan mata air mengering, air sungai surut, dan iklim berubah tak menentu. Air tercemar oleh sampah kimia yang menyebabkan berbagai penyakit ganas seperti kanker. Ada informasi bahwa dulu PKG sebenarnya mencemari air sawah sekitarnya dan berdampak pada hasil panen: beras mengandung zat kiimia berbahaya. Udara juga tercemar oleh asap pabrik dan kendaraan bermotor, sementara pohon-pohon dan taman kota tidak terawat. Bumi makin panas. Seratusan kepala negera dari seluruh dunia, termasuk presiden Indonesia, SBY, sedang berunding dalam KTT mengenai GW di Copenhagen, mengenai bagaimana bangsa-bangsa sedunia bersama-sama mengatasi pemanasan global. Pada tingkat jemaat lakukanlah hal yang sederhana: buang sampah di tempatnya, tanam sebanyak mungkin tanaman, termasuk pohon buah-buahan dan bunga. Itu yang disebut Gubernur kita: Sulsel go green.

JOKB, Mimnggu, 20 Desember 2009

Zakaria Ngelow

07 Agustus 2009

Perkawinan Kristen

Diskusi Bulanan Litbang GKSS


Kesimpulan 1
Perkawinan ditetapkan Allah. Orang Kristen umumnya memandang perkawinan ditetapkan Allah untuk seumur hidup bagi seorang laki-laki sebagai suami dan seorang perempuan sebagai isteri. . Ada denominasi yang menerima perkawinan orang yang berjenis kelamin sama.
Kesimpulan 2
Hakekat perkawinan bersifat moral-religious.Perkawinan mempunyai kedudukan hukum sosial dalam masyarakat umum; agama Kristen menekankan bahwa aspek moral dan keagamaannya melampaui semua kepentingan lain.
Kesimpulan 3
Perkawinan dihormati dalam Alkitab, namun tidak diwajibkan. Memilih hidup lajang atau menduda/ menjanda tidak dianggap tidak lengkap dalam Kristus, atau kegagalan pribadi. Alkitab tidak menginformasikan bahwa Yesus kawin.
Kesimpulan 4
Jangan cerai. Perceraian dipandang tidak ideal, ada yang menolaknya sama sekali, ada pula yang realistik menerima kenyataan bahwa perceraian kadang-kadang terpaksa terjadi.
Kesimpulan 5
Hubungan seks hanya boleh berlangsung di dalam perkawinan.
Kesimpulan 6
Kedudukan suami dan isteri terus diperdebatkan antara posisi dominan suami ke posisi kesederajatan suami dan isteri.

Perjanjian Lama
Penciptaan
Laki-laki dan Perempuan diciptakan Allah dalam gambar dan rupa Allah. Perempuan diciptakan dari rusuk Adam. Perkawinan adalah penyatuan laki-laki dan perempuan. Manusia diberkati: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, …”
Torat
Kitab-kitab Torat, khususnya Imamat dan Bilangan dan mengatur berbagai hukum perkawinan dan hubungan seks. Dalam 10 Hukum Allah, hukum ke-7 menyangkut perkawinan: “Janganlah berzinah”. (Kel 20:14; Ul 5: 18).

Kidung Agung
Kitab Kidung Agung mengagungkan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan, dan dalam gereja diterima menjadi simbol kasih Allah terhadap manusia, dan khususnya hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.

Yesus-Paulus
Yesus
Yesus memakai gambaran perkawinan untuk dalam mengajarkan kerajaan Allah (Mt 22:1-14; 25:1-13). Dia mulai pelayanan-Nya dengan mujizat pada perkawinan di Kana (Yo 2: 1 dst)
Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberi ajaran baru mengenai perkawinan: jangan mata keranjang (Mt 5:27-28); dan jangan bercerai kecuali zinah, dan jangan mengawini yang berzinah (Mt 5: 31-32)
Jangan cerai
Kepada orang Farisi, Yesus menekankan keluhuran dan ketetapan perkawinan, karena mereka telah jadi satu dipersatukan Allah, sehingga tidak boleh diceraikan manusia.(Mt. 19:6)
Mk 10. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,
7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, (Kej 2. 24 ) 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Mengapa tidak Kawin?
Yesus mengajar tentang sebab-sebab orang tidak bisa kawin. Mt 19. 12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Demi Kerajaan Allah
Lk18: 29 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya, 30 akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal."

Paulus
1Kor 6:15-17 menentang percabulan. Ef 5:30–32 hubungan perkawinan (suami sebagai kepala atas isteri) adalah gambaran hubungan Yesus dan jemaat. (band Why 19: 7 Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.)
Paulus: 1Kor 7
berbagai pedoman mengenai perkawinan: perlu kawin supaya tidak cabul; suami isteri saling menguasai tubuh; janda-duda sebaiknya membujang kecuali tidak tahan diri, tidak boleh menceraikan, kawin tidak seiman menguduskan pasangan, bersunat, status hamba, waktu darurat- jangan kawin, dst
Sejarah Gereja
Pro-Selibat
Orang Kristen abad-abad pertama tidak mementingkan berkeluarga, dan lebih menyukai selibat dan kebebasan dari perkawinan. Augustinus menerima perkawinan sebagai sakramen, karena dipakai Rasul Paulus sebagai suatu simbol kasih Kristus kepada Gereja. Namun dia memilih selibat. Bapa-bapa Gereja seperti Yerome, Tertullianus atau Siprianus memandang rendah perkawinan.
Protestan
Pada dasarnya semua denominasi Protestan meyakini bahwa perkawinan ditetapkan Allah untuk menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka memandang bahwa penyatuan ini tujuan utamanya adalah memuliakan Allah karena mengasihi dunia. Tujuan lainnya termasuk hubungan intim, membesarkan anak-anak, dan saling mendukung untuk menjalankan panggilan masing-masing.
Umumnya kalangan Protestant mendukung KB dan menganggap kenikmatan hubungan seks dalam perkawinan adalah pemberian Allah.
Protestan Konservatif
Protestant konservatif lebih ketat mengenai perkawinan, sebagai suatu perjanjian suci antara isteri, suami dan Allah. Hubungan seks hanya pantas dalam ikatan perkawinan.
Perceraian
Sekali pun tidak mengizinkan perceraian, kebanyakan gereja Protestan mengizinkan perceraian dan perkawinan ulang. Perceraian dibolehkan hanya dalam kasus khusus, misalnya imoralitas seksual atau ditinggalkan pasangan yang tak beriman.

Kedudukan Suami dan Isteri
Peran dan tanggungjawab suami dan isteri diperdebatkan antara (1) pandangan tradisional dominasi suami / ketundukan isteri, dengan (2) pandangan yang lebih menyukai kesetaraan suami dan isteri.
Dua Pandangan
Pandangan berbeda mengenai kedudukan pasangan dalam perkawinan itu terbagi atas kelompok Complementarians (yang menekankan ke-kepala-an suami dan ketundukan isteri) dan Christian Egalitarians, yang percaya pada kesetaraan dalam kemitraan penuh, di mana pasangan suami isteri dapat menemukan dan merundingkan peran dan tanggungjawab masing-masing dalam perkawinan.
Complementarian
Pandangan Complementarian (dikenal pula sebagai Traditionalist atau Hierarchical) menekankan bahwa kepemimpinan suami dituntut Alkitab dalam perkawinan. Dan walau pun percaya bahwa laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah – karena keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah – tetapi keduanya berbeda fungsi dalam perkawinan.
Suami diberikan Allah tanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan, melindungi dan memimpin keluarganya. Para isteri diharapkan menghormati kekuasaan suaminya dan tunduk kepadanya.
Banyak penganut Complementarian yang juga menafsirkan Alkitab bahwa perempuan dilarang memegang jabatan kekuasaan dalam gereja dan dunia politik.
Christian Egalitarians
Christian Egalitarians yakin pada kemitraan penuh dalam perkawinan yang setara sebagai yang benar menurut Alkitab. Tidak ada yang unggul di atas yang lain. Sebagai pribadi keduanya sama nilainya. Sebenarnya mereka satu adanya.
Kesetaraan ituyang memungkinkan suami dan isteri dapat terikat dalam perkawinan yang paling intim, menyeluruh, dan saling menggenakan.
Mereka yakin bahwa pernyataan Rasul Paulus dalam Galatia 3:28 berlaku pula dalam perkawinan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Isu Pastoral Perkawinan
Pembinaan Pemuda/Remaja; Kecelakaan KM7; Kesetaraan Gender; Perlindungan Anak dan KDRT; Mau Cerai?; Janda dan Duda; …


Terima kasih

Diskusi

1. Istilah kawin atau nikah? Alkitab Terjemahan Baru LAI hanya satu kali memakai nikah (Kid 3:11). Kata kawin, perkawinan dsb lebih sering dipakai, baik dalam arti nikah, maupun bersetubuh. Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari memakai kata kawin tetapi cukup banyak pula kata nikah.
2. Apakah perempuan yang sedang hamil boleh bercadar ketika diberkati nikahnya? Bolehkah janda/duda diberkati nikahnya dengan penumpangan tangan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus diluruskan dengan memahami arti pemberkatan nikah sebagai janji Allah untuk menyertai pasangan itu dalam rumah tangganya. Jadi kalau nikahnya diberkati maka dengan atau tanpa cadar tidak meniadakan janji Tuhan; dan pemberkatan harus dilakukan sebagaimana biasanya tindakan pemberkatan.
3. Bolehkah kawin lagi kalau isteri tidak punya anak? Tidak. Jika perkawinan diberkati dengan anak, pujilah Tuhan; jika tidak ada anak, pujilah Tuhan. Kalau ingin anak, adopsi …
4. Bagaimana dengan cerai dan hukum? Gereja tidak menceraikan. Gereja menggembalakan supaya pasangan yang mau cerai bisa rujuk. Kalau pasangan itu toh mau cerai, gereja menasihati supaya melakukannya di hadapan hukum (melalui pengadilan) supaya hak-hak hukum masing-masing tidak terabaikan.
5. Konflik rumah tangga karena mertua? Dalam penggembalaan perkawinan, pasangan itu diingatkan untuk dekat kepada keluarga, tetapi rumah tngganya jangan dicampuri oleh keluarga.
6. Apakah gereja menerima kawin campur? Mungkin belum. Tetapi fakta adanya kawin campur harus dilayani. Kalau bisa juga diberkati, dalam arti seperti di atas: janji Allah untuk menyertai pasangan itu. Orang tidak beriman dikuduskan oleh pasangannya (1Kor 7:14).
7. Bagaimana kalau ada pasangan yang mau menikah tapi surat-suratnya tidak lengkap? Dalam kasus orang cuma numpang lewat menikah di jemaat anda, hati-hatilah. Jangan nikahkan orang yang sudah ditolak di mana-mana. Sekurang-kurangnya ada keterangan dari fihak pemerintah atau fihak gereja untuk menjadi pegangan menikahkan.
8. Menyangkut kesetaraan gender, perlindungan anak, dan KDRT bisakah majelis dibina? Ya, seharusnya. Kalau perlu panggil orang yang mengenrti hukum memberi penjelasan kepada majelis dan warga gereja.
9. Kalau orang “jajan”, perlukan memakai kondom supaya tidak terjangkit HIV/AIDS? Pertanyaan ini salah alamat. Mungkin cocok untuk penyuluhan nkesehatan. Di dalam gereja bukan soal perlu memekai kondom kalau “jajan” melainkan menegaskan bahwa “jajan” itu zinah, dosa.
10. Bagaimana melayani pasangan yang “kecelakaan di KM 7”? Di gereja tertentu tidak diberkati; bahkan orangtuanya disiasat.
11. Mujizat Yesus di Kana: apakah berarti harus manis terus sampai tua? Ya, tapi bedakan kemesraan pasangan muda dengan pasangan opa-oma …
12. Ada gadis yang mempraktekkan coitus interruptus supaya tidak hamil, bagaimana pastoralnya? Tegaskan bahwa persetubuhan hanya boleh di dalam perkawinan.
13. Bagaimana perkawinan sesama jenis kelamin? Ada gereja di luar negeri yang terima. Tapi sebaiknya gereja kita tegaskan bahwa perkawinan hanya boleh antara laki-laki dan perempuan.
14. Apakah anak di luar nikah haram? Persetubuhan di luar nikah haram, tetapi anak adalah karunia Tuhan: manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
15. Bagaimana dengan orang membujang? Kawin atau membujang adalah pilihan yang sama statusnya di hadapan Tuhan.
16. Apakah boleh menyisipkan acara keluarga, misalnya sungkeman di dalam liturgi? Gereja tidak kaku tetapi juga tidak membakukan liturgi. Perlu dipertimbangkan majelis jemaat. Kalau sisipan menimbulkan masalah, jangan di dalam liturgi, melainkan sebelum atau sesudahnya. Maka di gereja dapat berlangsung 3 acara: sungkeman, pemberkatan, pencatatan sipil. [“Fatwa” Sekum GKSS: jangan menyisipkan acara lain ke dalam liturgi yang sudah ditetapkan persidangan sinode. Kalau mau perubahan, nanti dibahas lagi dalam sidang sinode.]
17. Apa boleh menikah bukan di gedung gereja? Boleh saja, asal dengan persetujuan majelis jemaat, karena pemberkatan dalam kebaktian jemaat yang dipertanggunjawabkan oleh majelis.

Zakaria Ngelow

18 Juni 2009

Tentang Kemarahan


Efesus 4: 25-32
Tentang Kemarahan (ayat 31)

Bahasa Indonesia (ITB)
Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.

Bahasa Bugis
Patteddénni sininna perasaang mapeddi atié, maélo makkabale sibawa macai. Aja'na mugora-gora sibawa makkarodda-karodda. Aja'na naengka perasaang paccéccé iyaré'ga perasaang laing pada-padaéro.

Bahasa Makassar
Pela'mi sikontu pa'risi' pa'maika, sentimenga, siagang larroa. Tea' mako pole akkio'-kioki sipakka'-pakkanai. Pela'mi sipa' sikabirisia yareka sipa'-sipa' sangkammaya anjo.


Perikop ini merupakan bagian terakhir Ef 4 yang menjadi bahan Penelaahan Alkitab selama Konsultasi Teologi World Alliance of Reformed Church (WARC) mengenai Persekutuan dan Keadilan, yang dilangsungkan tgl 12-16 Juni di Wisma Duta Wacana, KM 23 Kaliurang, Jogyakarta.

Sekitar 30 orang peserta dibagi atas 4 kelompok tetap PA yang berlangsung setiap pagi. Efesus 4 membahas tema persekutuan sebagai tubuh Kristus dengan nilai-nilai etik yang sesuai dengan tuntutan Injil Kristus. Ayat-ayat 25-32 secara khusus menyoroti perbedaan antara sikap-sikap manusia lama dan manusia baru dalam Kristus.

Pdt. Gerrit Singgih pertama-tama tertarik pada kenyataan bahwa pada bagian ini diberikan suatu toleransi terhadap aspek-aspek manusiawi. Berbeda dengan bagian sebelumnya yang tegas membedakan yang lama dan yang baru. Menurutnya ini memperlihatkan perubahan-perubahan khas dalam sastra post-Paulinis (kitab Efesus salah satunya), yang menyambut secara positif nilai-nilai manusia ideal dalam kebudayaan Hellenisme.

Misalnya kemarahan: marah itu manusiawi, jadi boleh marah, asal tidak terjebak berlarut-larut di dalamnya. Dalam ayat 26 dan 27 dinasihatkan: Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu, dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis. Dengan berkelakar Pdt. Singgih menyatakan ayat ini cocok untuk kita dari Makassar (rupanya merujuk pada stereotip masyarakat kita yang dianggap cepat marah, pa’bambangan). Percakapan berlanjut dengan menyebut bahwa dalam tradisi Jawa seorang pendeta tidak boleh marah. Pendeta tidak boleh marah dalam rapat Majelis Jemaat, misalnya. Dalam tradisi feodalisme Jawa, seorang pendeta berada pada tingkat lebih tinggi dari orang kebanyakan, sehingga wajib menampakkan sikap-sikap tertentu, atau tepatnya tidak boleh menampakkan sikap yang dianggap tidak pantas bagi seorang pada tingkat itu. Orang bisa merujuk bahwa Tuhan Yesus juga pernah marah, ketika mengusir para pedagang (kaki lima?) dari Bait Allah (Mrk 11:15 dst), tetapi bukan pembenaran untuk mengumbar kemarahan (dan kekerasan).

Keharusan menahan diri dalam kemarahan merupakan salah satu kebajikan yang tidak hanya berlaku bagi golongan priyayi, melainkan juga bagi setiap orang yang dibaharui dalam Kristus. Tuhan Yesus memberi penekanan pada perdamaian. Dalam Khotbah di Bukit Yesus mengajarkan untuk berdamai sebelum beribadah (Mt 5:22-24); yang terkait erat dengan kesediaan memaafkan (Mrk 11:25; Lk 17:3,4).

Kemarahan merupakan emosi yang terkait dengan relasi dengan sesama. Kemarahan dapat mengakibatkan pembunuhan (ingatlah kisah Kain dan Habel, Kej 4), dapat menimbulkan konflik antar kelompok yang bisa berakhir kerusuhan dan kekerasan berdarah. Juga di dalam rumah tangga orang Kristen perlu mengembangkan “pengendalian kemarahan” untuk mencegah timbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang dewasa ini merupakan suatu pelanggaran hukum.

04 Juni 2009

Pemulihan Umat Tuhan


Rencana Khotbah: Yer 31:7-9

oleh Zakaria Ngelow


Saya mendapat kesempatan mengunjungi Jenewa (Swiss) pada bulan Mei lalu. Dalam rangka perayaan 500 tahun lahirnya Yohanes Calvin, di kota di mana Calvin melakukan reformasi pada abad ke-16 ini, belangsung pameran di museum dengan tema: Sehari dalam Kehidupan Yohanes Calvin. Museum itu terletak di samping gereja St. Pierre, katedral yang direbut kaum reformasi dari gereja Katolik Geneva masa itu. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah patung di sudut halaman depan gedung gereja megah itu, patung seorang tua bungkuk berwajah muram. Itulah patung Yeremia (pahatan Rodo von Niederhäusern) yang menangisi nasib Yerusalem, yang telah dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah raja Nebukadnezar (lihat kisahnya dalam ). Ratapan Yeremia dicatat khusus dalam Kitab Ratapan (dahulu bernama Nudub Yeremia). [Foto patung Yeremia ini dapat dilihat dalam http://jcornuz.wordpress.com/2008/04/25/enfuse-multi-exposure-blending-and-a-proper-hdr/ ]

Membaca kitab Yeremia kita berhadapan dengan kesedihan dan tantangan. Kesedihan mengenai umat Tuhan yang dihukum dengan kehancuran negerinya dan kemudian dibawa sebagai tawanan ke negeri asing. (Bacalah Mazmur 137 mengenai kesedihan mereka di pembuangan Babilonia.) Tetapi juga kesedihan atas nasib Yeremia sendiri, yang selain menubuatkan penderitaan bangsanya, dia sendiri ditolak, hendak dibunuh, dan kemudian dipenjarakan penguasa (pasal 26, 37); keluarganya menentang dan mengkhiatainya (12:6). Ia sampai menyampaikan protesnya kepada Tuhan (12:1-4). Nabi Yeremia mendampingi umat Tuhan, ketika masih aman di Yerusalem, selama pengepungan tentara Babilonia, dalam pengungsian ke Mesir, dan kemudian di pembuangan.

Tetapi Kitab Yeremia juga mengandung harapan bahkan kegembiraan. Yeremia tidak hanya diutus “untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan” melainkan juga “untuk membangun dan menanam” (1:10). Sekali pun di negeri orang sebagai tawanan, umat Tuhan di dorong untuk berpikir dan bertindak positif memajukan kehidupan bersama masyarakat yang menindas mereka. Mereka diminta mendirikan rumah, berkebun, bahkan menikahkan anak-anak mereka. (29: 4 dst). “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Ay 7). “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Ay 10).

Yeremia pasal 30-33 bahkan menubuatkan pemulihan umat Tuhan dengan membawa mereka kembali dari pembuangan (kemudian dilaksanakan oleh Ezra dan Nehemia). Ketiga ayat yang dibaca hari ini, 31: 7-9 menubuatkan penyelamatan Tuhan atas umat-Nya, dengan mengumpulkan mereka dari pembuangan.

Dalam sejarah umat Tuhan yang direkam dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dua peristiwa penyelamatan sangat menentukan identitas dan iman umat-Nya: pembebasan dari perbudakan di Tanah Mesir, dan pemulihan umat dari pembuangan Babilonia. Pembuangan (selama 70 tahun) adalah hukuman atas kejahatan ymat-Nya, namun kasih Tuhan melampaui dosa-pelanggaran umat-Nya, sehingga Ia menyelamatkan mereka. Salah satu ungkapan penting dalam Yer 31: 7 adalah “sisa Israel” (laeør"f.yI tyrI’aev.), yang menunjukkan bahwa masa depan umat Tuhan ada dalam sejumlah kecil orang-orang yang tetap setia kepada Tuhan dan akan diselamatkan Tuhan. Nubuatan mengenai “sisa Israel” dikemukakan oleh Yesaya (10:20-22), Mikha (2:12), Zefanya (3:13), Yehezkiel (9:8, 11:13), yakni sejumlah kecil umat yang tetap setia kepada Tuhan, yang akan dikumpulkan-Nya kelap dari segala penjuru. Nubuatan ini termasuk nubuatan eskatologis, yakni yang berhubungan dengan masa depan.

Penyelamatan Tuhan selalu ditandai dengan kegembiraan, puji-pujian kepada kebaikan Tuhan. Pemulihan Tuhan juga menyangkut mereka yang sering dilupakan dalam persekutuan, yakni “orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung” (ayat 8).

Apakah makna kabar gembira pemulihan Tuhan bagi umat-Nya dalam menyambut Tahun Baru?

**

Catatan mengenai Kain dan Habel


Inspirasi khotbah: Kej 4:1-6
oleh Zakaria Ngelow

Kisah Kain dan Habel dalam Kejadian 4 merupakan awal dari kehidupan manusia setelah jatuh ke dalam dosa dan diusir dari Taman Eden. Ada beberapa hal dalam kisah Kejadian 4 yang merupakan awal mula kehidupan sosial manusia: awal kehidupan rumah tangga, awal kehidupan ekonomi dalam bentuk pertanian dan peternakan, yang kemudian berlanjut dengan pemukiman, seni dan kota. Juga kisah ini mengemukakan awal kehidupan ibadah, awal hubungan antar-pribadi dengan emosi kecemburuan, kemarahan dan ketakutan; dan awal kejahatan, pembunuhan dan hukuman ...

Kehidupan Adam dan Hawa di luar taman Eden dimulai dengan kehidupan yang bahagia: hubungan suami-isteri dan lahirnya seorang putra. Sebagaimana dalam kisah di Eden, juga dalam kehidupan awal di luar Firdaus ini perempuanlah yang ditonjolkan. Dalam ayat 1 dan 2 Hawa yang menjadi subyeknya, yang dengan bangga mengatakan "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." Nama anaknya, Kain, yang berarti “memiliki” (hn"q') atau juga “menciptakan” (hn

Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu."

Menjadi peternak memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Tetapi sebagai petani Kain membutuhkan lebih banyak kemampuan untuk berhasil dibandingkan dengan. Petani perlu menguasai cara mengolah tanah dan mengenai musim yang tepat. Menanam dan memelihara tanaman di tempat dan dengan cara yang tepat. Juga setelah panen, bagaimana menyimpan dan mengolahnya supaya layak menjadi makanan yang sehat. Mungkin karena itu maka keturunan Kainlah yang menjadi perinstis kebudayaan: musik, arsitektur, metalurgi, dsb.

Habel bekerja sebagai peternak. Dalam Kej 1: 26 Tuhan Allah memang merencanakan manusia sebagai penguasa atas binatang-binatang ciptaan Allah. Dalam kehidupan umat Israel selanjutnya, kedua bidang pekerjaan itu tetap menjadi mata pencaharian pokok. Tanah Kanaan dijanjikan sebagai tanah yang berlimpah susu dan madu (peternakan), tetapi juga yang memberi hasil-hasil gandum, zaitun dan kurma (pertanian).

Lalu kedua bersaudara yang bekerja dalam bidang yang berbeda bersama-sama membawa persembahan kepada Tuhan. Mereka memberi persembahan, walaupun tidak ada perintah Allah sebelumnya untuk melakukan hal itu. Persembahan kepada Allah merupakan suatu tindakan yang alami, yang timbul dari kesadaran bahwa semata karena kemurahan dan perkenan-Nya maka tanah memberi hasil panen, dan ternak memiliki susu, daging, bulu domba dan kulit serta tenaga yang diperlukan manusia. Tidak jelas mengapa persembahan Kain ditolak, sedangkan persenbahan Habel diterima Allah. Alkitab tidak menjelaskan – sebagaimana sering salah diceriterakan kepada anaka-anak Sekolah Minggu – bahwa Kain membawa hasil panen yang jelek, sedangkan Habel hasil ternak yang tambun. Juga tidak dikisahkan bahwa asap korban bakaran Habel membumbung lurus ke langit tanda diterima Tuhan, sedangkan asap korban bakaran Kain ditiup angin sehingga tidak naik ke langit, tanda ditolak Tuhan. Bahkan dalam Alkitab tidak disebutkan mereka berdua melakukan persembahan korban bakaran, hanya dikatakan “Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya” (ay 3-4).

Allah menerima dan Allah menolak, tetapi Kain tidak puas lalu membenci, yang berakhir pada pembunuhan Habel adiknya, yang nampaknya lebih lemah, tak berdaya. Kisah dua bersaudara ini memperlihatkan kebencian yang bertolak dari agama, bukan ekonomi. Kain membenci adiknya bukan karena masalah pemilikan harta atau karena alasan ekonomi, melainkan karena agama. Dalam bentuk yang sama mengerikan, konflik dan permusuhan atas nama agama terus menelan korban-korban jiwa dan harta benda. Dan korban-korban adalah mereka yang tak berdaya dan bahkan tak bersalah apa-apa. Apakah yang diperoleh Kain setelah membunuh adiknya? Kemenangan atau kepuasan? Bukan! Ia diusut Allah oleh sendiri: Firman TUHAN kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Kain berusaha berdalih, tetapi Tuhan menegaskan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman:

Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi." (4: 11-12).

Pertama-tama dia terbuang dari tanahnya. Diusir atau diasingkan dari negerinya sendiri. Mungkin ini sama dengan tradisi lama dalam masyarakat Bugis, yakng disebut dipaoppangi tana (ditutupi, ditimbuni tanah), yakni diusir dan dianggap sudah mati. Dan bahkan kutuk pertanian yang dahulu orang tuanya terima karena pelanggaran di taman Eden kini diterimanya lebih berat:

“Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu ...”

Catatan:

Kisah Kain dan Habel terdapat dalam Al-Qur’an (5:27-31). Keduanya tidak disebut namanya. Dalam tradisi Islam mereka dikenal dengan nama Kabil dan Habil.

Isteri Ayub

Inspirasi khotbah: (Ayub 2:1-13)
oleh Zakaria Ngelow

Kitab Ayub adalah diskusi teologis mengenai penderitaan, yang dibingkai dalam kisah penderitaan seorang kaya yang saleh. Dengan persetujuan Allah, Iblis mendatangkan penderitaan atas Ayub: harta bendanya yang banyak musnah, anak-anak dan menantunya sekaligus mati dalam suatu kecelakaan, dan kemudian Ayub sendiri menderita penyakit: “lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya.” (2:7). Diskusi teologis mengenai penderitaan berlangsung antara Ayub dengan ketiga sahabatnya: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama. Mereka bersama-sama datang membezuk Ayub dan bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. Mereka terdiam melihat penderitaan Ayub. Dan setelah “mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam”, mereka bicara kepada Ayub, masing-masing mempertanyakan mengapa Ayub ditimpa penderitaan separah itu. Kesimpulan mereka adalah penderitaan Ayub diakibatkan oleh dosanya kepada Tuhan. Tetapi Ayub menyanggah bahwa dia secara tersembunyi melawan Tuhan. Kemudian seorang sahabat muda juga ikut dalam perdebatan, bernama Elihu bin Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram (fasal 32-36). Diskusi diakhiri dengan jawaban TUHAN dari dalam badai (fasal 38) yang membenarkan Ayub, dan mepersalahkan pandangan ketiga sahabatnya. Ayub dipulihkan dalam kekayaan, keturunan dan kebahagiaan ...

Selain sahabat-sahabatnya, Ayub didampingi isterinya. Sebagaimana kebanyakan perempuan dalam Alkitab, nama isteri Ayub tidak disebutkan. Tradisi Islam mengenalnya dengan nama Liah. Tradisi Yahudi menyatakan bahwa dia adalah Dinah, anak Yakub (Kej 30:1, kisah perkosaannya dalam Kej 34). Di dalam gereja, umumnya isteri Ayub tidak dihormati, dianggap seorang yang tidak setia kepada Tuhan, karena menyarankan kepada Ayub supaya di tengah penderitaannya, jangan lagi Ayub terus bertekun dalam kesalehan, melainkan “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (ay 9). Jadi, dia disamakan dengan Hawa dan para perempuan penggoda yang melawan Allah dan melemahkan iman. Dalam naskah asli Alkitab bahasa Ibrani, isteri Ayub tidak mengatakan “kutukilah” melainkan “pujilah” (%rEïB'), jadi dia berkata “Pujilah Allahmu dan matilah!” Para penerjemah Alkitab sepakat menerjemahkan “terkutuklah” karena “pujilah” bermakna menghaluskan (gaya bahasa eufemisme) ungkapan kutuk. Ayub menegurnya: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).Dalam konteks agama-agama lain pada masanya, orang memuja-muja dewa-dewi kalau mereka mendapat keberuntungan, sebaliknya mereka mengutuk jika mereka ditimpa kemalangan. Ayub menegaskan bahwa dalam relasi dengan Tuhan Allah, maka entah nasib untung atau nasib malang, tetaplah Tuhan harus dimuliakan. Ayub menyebut isterinya “perempuan gila” (tAlb'N>h; Inggeris: foolish woman). Dengan menyebutnya “perempuan gila” suatu cap negatif diberikan kepadanya. Kata Ibrani “nabal, lb'n"” berarti bodoh atau bebal, dalam hubungan dengan agama, yakni tidak mengenal dan menaati Allah (band. Mzr 14: 1), bukan kebodohan secara intelektual atau emosional.

Para penafsir feminis mengikuti pandangan positif di kalangan sebagian rabbi Yahudi yang memandang isteri Ayub sebagai teladan iman. Lebih dari siapapun, dialah yang paling tahu dan turut merasakan penderitaan Ayub. Ketika Ayub kehilangan harta bendanya dalam sekejab, ketika kesepuluh anak-anak dan menantunya tewas secara massal tertimpa bencana, dialah yang mendampingi Ayub, dan sungguh menderita bersamanya. Bukankah harta itu mereka punya? Bukankah anaka-anak dan menantu yang tewas anak-anak dan menantunya juga? Dia senang dan susah bersamanya dan sungguh menanggung penderitaan yang mendalam. Tetapi ketika Ayub menderita penyakit “barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya” sehingga Ayub “mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu” – isteri Ayub tidak bisa menahan diri lagi. Dalam empati yang mendalam dia lebih suka melihat suami tercinta mati saja daripada menderita sesengsara itu. Beberapa rabbi Yahudi berpendapat bahwa usulannya supaya Ayub “menghujat Allah, lalu mati” lebih pada ketakutannya jangan-jangan Ayub tidak tahan lagi lalu menyerah sehingga Iblis menang. Jadi kata-kata isteri Ayub itu bermakna: “Kamu tidak akan tahan semua derita dan tekanan ini, yang lambat laun akan membawamu kehilangan iman. Maka sebaiknya mohonlah pada Tuhan supaya kamu secepatnya mati, sehingga dapat meninggal dunia dalam keadaan setia, benar dan tidak tergoda”.

Jadi manakah yang anda dapat beritakan? Kehidupan beriman menghadapi banyak tantangan, karena setiap kesempatan dipakai oleh Iblis untuk menjatuhkan iman kita. Penting pula solidaritas jka ada sahabat yang susah. Jika anda mengikuti pandangan negatif terhadap isteri Ayub, nasihatilah jemaat untuk tidak mendorong suami jatuh ke dalam dosa. Jika anda mengikuti pandangan positif, nasihatilah jemaat untuk hidup dalam kasih, dan saling menguatkan dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.

***