18 Juni 2009

Tentang Kemarahan


Efesus 4: 25-32
Tentang Kemarahan (ayat 31)

Bahasa Indonesia (ITB)
Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.

Bahasa Bugis
Patteddénni sininna perasaang mapeddi atié, maélo makkabale sibawa macai. Aja'na mugora-gora sibawa makkarodda-karodda. Aja'na naengka perasaang paccéccé iyaré'ga perasaang laing pada-padaéro.

Bahasa Makassar
Pela'mi sikontu pa'risi' pa'maika, sentimenga, siagang larroa. Tea' mako pole akkio'-kioki sipakka'-pakkanai. Pela'mi sipa' sikabirisia yareka sipa'-sipa' sangkammaya anjo.


Perikop ini merupakan bagian terakhir Ef 4 yang menjadi bahan Penelaahan Alkitab selama Konsultasi Teologi World Alliance of Reformed Church (WARC) mengenai Persekutuan dan Keadilan, yang dilangsungkan tgl 12-16 Juni di Wisma Duta Wacana, KM 23 Kaliurang, Jogyakarta.

Sekitar 30 orang peserta dibagi atas 4 kelompok tetap PA yang berlangsung setiap pagi. Efesus 4 membahas tema persekutuan sebagai tubuh Kristus dengan nilai-nilai etik yang sesuai dengan tuntutan Injil Kristus. Ayat-ayat 25-32 secara khusus menyoroti perbedaan antara sikap-sikap manusia lama dan manusia baru dalam Kristus.

Pdt. Gerrit Singgih pertama-tama tertarik pada kenyataan bahwa pada bagian ini diberikan suatu toleransi terhadap aspek-aspek manusiawi. Berbeda dengan bagian sebelumnya yang tegas membedakan yang lama dan yang baru. Menurutnya ini memperlihatkan perubahan-perubahan khas dalam sastra post-Paulinis (kitab Efesus salah satunya), yang menyambut secara positif nilai-nilai manusia ideal dalam kebudayaan Hellenisme.

Misalnya kemarahan: marah itu manusiawi, jadi boleh marah, asal tidak terjebak berlarut-larut di dalamnya. Dalam ayat 26 dan 27 dinasihatkan: Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu, dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis. Dengan berkelakar Pdt. Singgih menyatakan ayat ini cocok untuk kita dari Makassar (rupanya merujuk pada stereotip masyarakat kita yang dianggap cepat marah, pa’bambangan). Percakapan berlanjut dengan menyebut bahwa dalam tradisi Jawa seorang pendeta tidak boleh marah. Pendeta tidak boleh marah dalam rapat Majelis Jemaat, misalnya. Dalam tradisi feodalisme Jawa, seorang pendeta berada pada tingkat lebih tinggi dari orang kebanyakan, sehingga wajib menampakkan sikap-sikap tertentu, atau tepatnya tidak boleh menampakkan sikap yang dianggap tidak pantas bagi seorang pada tingkat itu. Orang bisa merujuk bahwa Tuhan Yesus juga pernah marah, ketika mengusir para pedagang (kaki lima?) dari Bait Allah (Mrk 11:15 dst), tetapi bukan pembenaran untuk mengumbar kemarahan (dan kekerasan).

Keharusan menahan diri dalam kemarahan merupakan salah satu kebajikan yang tidak hanya berlaku bagi golongan priyayi, melainkan juga bagi setiap orang yang dibaharui dalam Kristus. Tuhan Yesus memberi penekanan pada perdamaian. Dalam Khotbah di Bukit Yesus mengajarkan untuk berdamai sebelum beribadah (Mt 5:22-24); yang terkait erat dengan kesediaan memaafkan (Mrk 11:25; Lk 17:3,4).

Kemarahan merupakan emosi yang terkait dengan relasi dengan sesama. Kemarahan dapat mengakibatkan pembunuhan (ingatlah kisah Kain dan Habel, Kej 4), dapat menimbulkan konflik antar kelompok yang bisa berakhir kerusuhan dan kekerasan berdarah. Juga di dalam rumah tangga orang Kristen perlu mengembangkan “pengendalian kemarahan” untuk mencegah timbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang dewasa ini merupakan suatu pelanggaran hukum.

04 Juni 2009

Pemulihan Umat Tuhan


Rencana Khotbah: Yer 31:7-9

oleh Zakaria Ngelow


Saya mendapat kesempatan mengunjungi Jenewa (Swiss) pada bulan Mei lalu. Dalam rangka perayaan 500 tahun lahirnya Yohanes Calvin, di kota di mana Calvin melakukan reformasi pada abad ke-16 ini, belangsung pameran di museum dengan tema: Sehari dalam Kehidupan Yohanes Calvin. Museum itu terletak di samping gereja St. Pierre, katedral yang direbut kaum reformasi dari gereja Katolik Geneva masa itu. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah patung di sudut halaman depan gedung gereja megah itu, patung seorang tua bungkuk berwajah muram. Itulah patung Yeremia (pahatan Rodo von Niederhäusern) yang menangisi nasib Yerusalem, yang telah dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah raja Nebukadnezar (lihat kisahnya dalam ). Ratapan Yeremia dicatat khusus dalam Kitab Ratapan (dahulu bernama Nudub Yeremia). [Foto patung Yeremia ini dapat dilihat dalam http://jcornuz.wordpress.com/2008/04/25/enfuse-multi-exposure-blending-and-a-proper-hdr/ ]

Membaca kitab Yeremia kita berhadapan dengan kesedihan dan tantangan. Kesedihan mengenai umat Tuhan yang dihukum dengan kehancuran negerinya dan kemudian dibawa sebagai tawanan ke negeri asing. (Bacalah Mazmur 137 mengenai kesedihan mereka di pembuangan Babilonia.) Tetapi juga kesedihan atas nasib Yeremia sendiri, yang selain menubuatkan penderitaan bangsanya, dia sendiri ditolak, hendak dibunuh, dan kemudian dipenjarakan penguasa (pasal 26, 37); keluarganya menentang dan mengkhiatainya (12:6). Ia sampai menyampaikan protesnya kepada Tuhan (12:1-4). Nabi Yeremia mendampingi umat Tuhan, ketika masih aman di Yerusalem, selama pengepungan tentara Babilonia, dalam pengungsian ke Mesir, dan kemudian di pembuangan.

Tetapi Kitab Yeremia juga mengandung harapan bahkan kegembiraan. Yeremia tidak hanya diutus “untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan” melainkan juga “untuk membangun dan menanam” (1:10). Sekali pun di negeri orang sebagai tawanan, umat Tuhan di dorong untuk berpikir dan bertindak positif memajukan kehidupan bersama masyarakat yang menindas mereka. Mereka diminta mendirikan rumah, berkebun, bahkan menikahkan anak-anak mereka. (29: 4 dst). “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Ay 7). “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Ay 10).

Yeremia pasal 30-33 bahkan menubuatkan pemulihan umat Tuhan dengan membawa mereka kembali dari pembuangan (kemudian dilaksanakan oleh Ezra dan Nehemia). Ketiga ayat yang dibaca hari ini, 31: 7-9 menubuatkan penyelamatan Tuhan atas umat-Nya, dengan mengumpulkan mereka dari pembuangan.

Dalam sejarah umat Tuhan yang direkam dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dua peristiwa penyelamatan sangat menentukan identitas dan iman umat-Nya: pembebasan dari perbudakan di Tanah Mesir, dan pemulihan umat dari pembuangan Babilonia. Pembuangan (selama 70 tahun) adalah hukuman atas kejahatan ymat-Nya, namun kasih Tuhan melampaui dosa-pelanggaran umat-Nya, sehingga Ia menyelamatkan mereka. Salah satu ungkapan penting dalam Yer 31: 7 adalah “sisa Israel” (laeør"f.yI tyrI’aev.), yang menunjukkan bahwa masa depan umat Tuhan ada dalam sejumlah kecil orang-orang yang tetap setia kepada Tuhan dan akan diselamatkan Tuhan. Nubuatan mengenai “sisa Israel” dikemukakan oleh Yesaya (10:20-22), Mikha (2:12), Zefanya (3:13), Yehezkiel (9:8, 11:13), yakni sejumlah kecil umat yang tetap setia kepada Tuhan, yang akan dikumpulkan-Nya kelap dari segala penjuru. Nubuatan ini termasuk nubuatan eskatologis, yakni yang berhubungan dengan masa depan.

Penyelamatan Tuhan selalu ditandai dengan kegembiraan, puji-pujian kepada kebaikan Tuhan. Pemulihan Tuhan juga menyangkut mereka yang sering dilupakan dalam persekutuan, yakni “orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung” (ayat 8).

Apakah makna kabar gembira pemulihan Tuhan bagi umat-Nya dalam menyambut Tahun Baru?

**

Catatan mengenai Kain dan Habel


Inspirasi khotbah: Kej 4:1-6
oleh Zakaria Ngelow

Kisah Kain dan Habel dalam Kejadian 4 merupakan awal dari kehidupan manusia setelah jatuh ke dalam dosa dan diusir dari Taman Eden. Ada beberapa hal dalam kisah Kejadian 4 yang merupakan awal mula kehidupan sosial manusia: awal kehidupan rumah tangga, awal kehidupan ekonomi dalam bentuk pertanian dan peternakan, yang kemudian berlanjut dengan pemukiman, seni dan kota. Juga kisah ini mengemukakan awal kehidupan ibadah, awal hubungan antar-pribadi dengan emosi kecemburuan, kemarahan dan ketakutan; dan awal kejahatan, pembunuhan dan hukuman ...

Kehidupan Adam dan Hawa di luar taman Eden dimulai dengan kehidupan yang bahagia: hubungan suami-isteri dan lahirnya seorang putra. Sebagaimana dalam kisah di Eden, juga dalam kehidupan awal di luar Firdaus ini perempuanlah yang ditonjolkan. Dalam ayat 1 dan 2 Hawa yang menjadi subyeknya, yang dengan bangga mengatakan "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." Nama anaknya, Kain, yang berarti “memiliki” (hn"q') atau juga “menciptakan” (hn

Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu."

Menjadi peternak memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Tetapi sebagai petani Kain membutuhkan lebih banyak kemampuan untuk berhasil dibandingkan dengan. Petani perlu menguasai cara mengolah tanah dan mengenai musim yang tepat. Menanam dan memelihara tanaman di tempat dan dengan cara yang tepat. Juga setelah panen, bagaimana menyimpan dan mengolahnya supaya layak menjadi makanan yang sehat. Mungkin karena itu maka keturunan Kainlah yang menjadi perinstis kebudayaan: musik, arsitektur, metalurgi, dsb.

Habel bekerja sebagai peternak. Dalam Kej 1: 26 Tuhan Allah memang merencanakan manusia sebagai penguasa atas binatang-binatang ciptaan Allah. Dalam kehidupan umat Israel selanjutnya, kedua bidang pekerjaan itu tetap menjadi mata pencaharian pokok. Tanah Kanaan dijanjikan sebagai tanah yang berlimpah susu dan madu (peternakan), tetapi juga yang memberi hasil-hasil gandum, zaitun dan kurma (pertanian).

Lalu kedua bersaudara yang bekerja dalam bidang yang berbeda bersama-sama membawa persembahan kepada Tuhan. Mereka memberi persembahan, walaupun tidak ada perintah Allah sebelumnya untuk melakukan hal itu. Persembahan kepada Allah merupakan suatu tindakan yang alami, yang timbul dari kesadaran bahwa semata karena kemurahan dan perkenan-Nya maka tanah memberi hasil panen, dan ternak memiliki susu, daging, bulu domba dan kulit serta tenaga yang diperlukan manusia. Tidak jelas mengapa persembahan Kain ditolak, sedangkan persenbahan Habel diterima Allah. Alkitab tidak menjelaskan – sebagaimana sering salah diceriterakan kepada anaka-anak Sekolah Minggu – bahwa Kain membawa hasil panen yang jelek, sedangkan Habel hasil ternak yang tambun. Juga tidak dikisahkan bahwa asap korban bakaran Habel membumbung lurus ke langit tanda diterima Tuhan, sedangkan asap korban bakaran Kain ditiup angin sehingga tidak naik ke langit, tanda ditolak Tuhan. Bahkan dalam Alkitab tidak disebutkan mereka berdua melakukan persembahan korban bakaran, hanya dikatakan “Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya” (ay 3-4).

Allah menerima dan Allah menolak, tetapi Kain tidak puas lalu membenci, yang berakhir pada pembunuhan Habel adiknya, yang nampaknya lebih lemah, tak berdaya. Kisah dua bersaudara ini memperlihatkan kebencian yang bertolak dari agama, bukan ekonomi. Kain membenci adiknya bukan karena masalah pemilikan harta atau karena alasan ekonomi, melainkan karena agama. Dalam bentuk yang sama mengerikan, konflik dan permusuhan atas nama agama terus menelan korban-korban jiwa dan harta benda. Dan korban-korban adalah mereka yang tak berdaya dan bahkan tak bersalah apa-apa. Apakah yang diperoleh Kain setelah membunuh adiknya? Kemenangan atau kepuasan? Bukan! Ia diusut Allah oleh sendiri: Firman TUHAN kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Kain berusaha berdalih, tetapi Tuhan menegaskan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman:

Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi." (4: 11-12).

Pertama-tama dia terbuang dari tanahnya. Diusir atau diasingkan dari negerinya sendiri. Mungkin ini sama dengan tradisi lama dalam masyarakat Bugis, yakng disebut dipaoppangi tana (ditutupi, ditimbuni tanah), yakni diusir dan dianggap sudah mati. Dan bahkan kutuk pertanian yang dahulu orang tuanya terima karena pelanggaran di taman Eden kini diterimanya lebih berat:

“Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu ...”

Catatan:

Kisah Kain dan Habel terdapat dalam Al-Qur’an (5:27-31). Keduanya tidak disebut namanya. Dalam tradisi Islam mereka dikenal dengan nama Kabil dan Habil.

Isteri Ayub

Inspirasi khotbah: (Ayub 2:1-13)
oleh Zakaria Ngelow

Kitab Ayub adalah diskusi teologis mengenai penderitaan, yang dibingkai dalam kisah penderitaan seorang kaya yang saleh. Dengan persetujuan Allah, Iblis mendatangkan penderitaan atas Ayub: harta bendanya yang banyak musnah, anak-anak dan menantunya sekaligus mati dalam suatu kecelakaan, dan kemudian Ayub sendiri menderita penyakit: “lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya.” (2:7). Diskusi teologis mengenai penderitaan berlangsung antara Ayub dengan ketiga sahabatnya: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama. Mereka bersama-sama datang membezuk Ayub dan bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. Mereka terdiam melihat penderitaan Ayub. Dan setelah “mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam”, mereka bicara kepada Ayub, masing-masing mempertanyakan mengapa Ayub ditimpa penderitaan separah itu. Kesimpulan mereka adalah penderitaan Ayub diakibatkan oleh dosanya kepada Tuhan. Tetapi Ayub menyanggah bahwa dia secara tersembunyi melawan Tuhan. Kemudian seorang sahabat muda juga ikut dalam perdebatan, bernama Elihu bin Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram (fasal 32-36). Diskusi diakhiri dengan jawaban TUHAN dari dalam badai (fasal 38) yang membenarkan Ayub, dan mepersalahkan pandangan ketiga sahabatnya. Ayub dipulihkan dalam kekayaan, keturunan dan kebahagiaan ...

Selain sahabat-sahabatnya, Ayub didampingi isterinya. Sebagaimana kebanyakan perempuan dalam Alkitab, nama isteri Ayub tidak disebutkan. Tradisi Islam mengenalnya dengan nama Liah. Tradisi Yahudi menyatakan bahwa dia adalah Dinah, anak Yakub (Kej 30:1, kisah perkosaannya dalam Kej 34). Di dalam gereja, umumnya isteri Ayub tidak dihormati, dianggap seorang yang tidak setia kepada Tuhan, karena menyarankan kepada Ayub supaya di tengah penderitaannya, jangan lagi Ayub terus bertekun dalam kesalehan, melainkan “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (ay 9). Jadi, dia disamakan dengan Hawa dan para perempuan penggoda yang melawan Allah dan melemahkan iman. Dalam naskah asli Alkitab bahasa Ibrani, isteri Ayub tidak mengatakan “kutukilah” melainkan “pujilah” (%rEïB'), jadi dia berkata “Pujilah Allahmu dan matilah!” Para penerjemah Alkitab sepakat menerjemahkan “terkutuklah” karena “pujilah” bermakna menghaluskan (gaya bahasa eufemisme) ungkapan kutuk. Ayub menegurnya: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).Dalam konteks agama-agama lain pada masanya, orang memuja-muja dewa-dewi kalau mereka mendapat keberuntungan, sebaliknya mereka mengutuk jika mereka ditimpa kemalangan. Ayub menegaskan bahwa dalam relasi dengan Tuhan Allah, maka entah nasib untung atau nasib malang, tetaplah Tuhan harus dimuliakan. Ayub menyebut isterinya “perempuan gila” (tAlb'N>h; Inggeris: foolish woman). Dengan menyebutnya “perempuan gila” suatu cap negatif diberikan kepadanya. Kata Ibrani “nabal, lb'n"” berarti bodoh atau bebal, dalam hubungan dengan agama, yakni tidak mengenal dan menaati Allah (band. Mzr 14: 1), bukan kebodohan secara intelektual atau emosional.

Para penafsir feminis mengikuti pandangan positif di kalangan sebagian rabbi Yahudi yang memandang isteri Ayub sebagai teladan iman. Lebih dari siapapun, dialah yang paling tahu dan turut merasakan penderitaan Ayub. Ketika Ayub kehilangan harta bendanya dalam sekejab, ketika kesepuluh anak-anak dan menantunya tewas secara massal tertimpa bencana, dialah yang mendampingi Ayub, dan sungguh menderita bersamanya. Bukankah harta itu mereka punya? Bukankah anaka-anak dan menantu yang tewas anak-anak dan menantunya juga? Dia senang dan susah bersamanya dan sungguh menanggung penderitaan yang mendalam. Tetapi ketika Ayub menderita penyakit “barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya” sehingga Ayub “mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu” – isteri Ayub tidak bisa menahan diri lagi. Dalam empati yang mendalam dia lebih suka melihat suami tercinta mati saja daripada menderita sesengsara itu. Beberapa rabbi Yahudi berpendapat bahwa usulannya supaya Ayub “menghujat Allah, lalu mati” lebih pada ketakutannya jangan-jangan Ayub tidak tahan lagi lalu menyerah sehingga Iblis menang. Jadi kata-kata isteri Ayub itu bermakna: “Kamu tidak akan tahan semua derita dan tekanan ini, yang lambat laun akan membawamu kehilangan iman. Maka sebaiknya mohonlah pada Tuhan supaya kamu secepatnya mati, sehingga dapat meninggal dunia dalam keadaan setia, benar dan tidak tergoda”.

Jadi manakah yang anda dapat beritakan? Kehidupan beriman menghadapi banyak tantangan, karena setiap kesempatan dipakai oleh Iblis untuk menjatuhkan iman kita. Penting pula solidaritas jka ada sahabat yang susah. Jika anda mengikuti pandangan negatif terhadap isteri Ayub, nasihatilah jemaat untuk tidak mendorong suami jatuh ke dalam dosa. Jika anda mengikuti pandangan positif, nasihatilah jemaat untuk hidup dalam kasih, dan saling menguatkan dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.

***