06 Februari 2008

Lokakarya Penyusunan Kurikulum PWG

Suatu Tim Kerja dari GKSS dan dari Gereja Kristen Sulawesi Barat (GKSB) yang bekerja sama dengan Yayasan Oase Intim menyelenggarakan lokakarya Dasar-dasar Penyusunan Kurikulum Sekolah Minggu dan Katekisasi pada tanggal 3 - 4 Februari 2008 di TC GKSS Makassar. Lokakarya yang dihadiri 16 peserta dari 2 gereja mitra Oase ini difasilitasi oleh ahli Christian Education, Pdt. Dr. H.T. Hutabarat-Lebang, M.A., dari Institut Teologi Gereja Toraja.

04 Februari 2008

Pendeta Jemaat Oikoumene GKSS Kertago Borongloe


Pada Hari Minggu Sengsara I, 3 Feb 2007, Jemaat Oikoumene Kertago Bortongloe, menyelenggarakan penguraian Pdt. Julius Punnawela, STh, dan mengutus Pdt. Ike Ngelow-Joseph, STh, sebagai pendeta jemaat itu. Acara dilaksanakan oleh Pdt. Muhammad Ramli, S.Th, Sekum MPS GKSS. Khotbah oleh Pdt. E. Maays Baura, S.Th, Wakil Ketua MPS GKSS. Turut hadir Pdt. Luciana Sulle-Laoh, M. Theol., dan Drs. Ernst Pinontoan, MBA, dari MPKK Makassar GKSS. Kebaktian dihadiri seluruh warga jemaat dan hadir pula Paduan Suara Biro Wanita PGIW Sulselbara dipimpin Dr. Anna Samperura-Paerunan.
Tuhan memberkati.

24 Januari 2008

Perjamuan Kudus pada Hari Paskah

Oleh: Agus Wiyanto
(*GloriaNet: http://www.glorianet.org/paskah/paskperj.html)

Entah sejak kapan menjadi tradisi, dalam Lingkaran Paskah, Perjamuan Kudus diselenggarakan pada saat Jumat Agung. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah bahwa Perjamuan Kudus diadakan untuk memperingati Perjamuan Terakhir yang Yesus adakan bersama kedua belas murid (Mt 26:26-29; Mk 14:22-25; Lk 22:15-20; 1 Kor 11:23-25). Pada malam itu Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk terus-menerus mengadakan Perjamuan Kudus untuk mengingat-Nya.Jika ini alasannya, maka mengapa harus diadakan pada hari Jumat? Bukankah dalam peristiwa passion, pada hari Jumat itu Yesus sudah disalibkan? Yesus mengadakan perjamuan terakhir justru pada hari Kamis atau malah mungkin sehari sebelumnya. Itu sebabnya hingga kini Gereja Katolik dan bahkan mayoritas Gereja Protestan di Amerika Serikat juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada hari Kamis. Dikatakan juga, karena selain hari itu, mereka juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus, bahkan yang terpenting dari semua Perjamuan Kudus sepanjang tahun, pada Malam Paskah (Easter Vigil) atau Paskah Subuh. [Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam sistem liturgi, Malam Paskah dan Paskah Subuh masih dihitung sebagai satu hari yang sama, karena satu hari dimulai bukan pada pukul 00:01, namun pada pukul 18.00 hari sebelumnya.] Justru itu, agar klimaks Perjamuan Kudus pada Hari Paskah tidak terganggu, maka Perjamuan Kudus pada hari Kamis sering diadakan hanya sebagai Perjamuan Kasih (agape feast).

Pada Hari Paskah itu pulalah, sejak Gereja mula-mula, diadakan Baptisan Kudus, agar mereka yang dibaptis pada hari itu sekaligus menikmati Perjamuan Kudus pertama mereka. Jadi liturgi pada Hari Paskah itu secara umum terdiri atas empat unsur utama: Pelayanan Terang, [Disebut Pelayanan Terang karena pada hari pertama itu, umat mengenang kembali karya penciptaan Allah pada hari pertama, sekaligus bahwa melalui kebangkitan Kristus kegelapan dosa dikalahkan oleh terang kasih Allah.] Pelayanan Sabda, Pelayanan Air (Baptisan Kudus) dan Pelayanan Roti-Anggur (Perjamuan Kudus). [Hoyt L. Hickman (et. all.), The New Handbook of Christian Year; Based on the Revised Common Lectionary, Nashville, Abingdon Press, 1986, h. 192.]Mengapa perlu ditegaskan bahwa Perjamuan Kudus diadakan pada Hari Paskah? Alasan utamanya adalah karena Hari Paska itu adalah hari Minggu! Kata "Minggu" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis (ketika dulu kita dijajah negara itu), "Dominggo" yang berarti "Tuhan". Jadi hari Minggu adalah Hari Tuhan, hari di mana Kristus bangkit. Itu sebabnya saudara-saudara muslim memilih untuk memakai kata Ahad untuk menggantikan kata Minggu.Alkitab dalam banyak catatan yang berserakan menegaskan tradisi Hari Minggu ini sebagai hari merayakan kebangkitan Kristus. Beberapa contoh dapat dipaparkan di sini, di mana penulis Alkitab secara khusus mencantumkannya.Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu. Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya (Mat 28:1-2). Dan pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur (Mrk. 16:2).Tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka. Mereka mendapati batu sudah terguling dari kubur itu, (Luk 24:1-2) Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur. (Yoh. 20:1)Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam. (Kis. 20:7) Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing--sesuai dengan apa yang kamu peroleh--menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang. (1 Kor. 16:2)

Karena itulah dalam tradisi liturgis ekumenis, Perjamuan Kudus diselenggarakan selalu pada hari Minggu, khususnya tentu pada Hari Minggu Paskah. Secara teologis, itu berarti, setiap hari Minggu kita merayakan Paskah Kecil. Tradisi lain menyebutkan bahwa justru Perjamuan Kudus pada Hari Paskah itu menjadi Feast of feasts, "Perjamuan terbesar di antara semua perjamuan." Ironisnya, selama ini kita justru menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada beberapa hari Minggu sepanjang tahun dan malah mengabaikan Perjamuan Kudus terpenting setiap tahunnya, yaitu pada Hari Paskah.Tradisi ekumenis yang merayakan Perjamuan Kudus bukan pada hari Jumat melainkan Minggu memperoleh dasar alkitabiahnya yang paling kuat dari Kisah Perjalanan Emaus. Pada hari kebangkitan itu pulalah Yesus melakukan pemecahan roti,Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem .... Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. (Lk. 24:13, 30-31)Apakah pengubahan tradisi dari hari Minggu Paska menjadi hari Jumat Agung dilakukan oleh para reformator? Ternyata tidak. Justru Calvin dan para pengikutnya sendiri menetapkan dalam Tata Gereja Jenewa 1561 demikian,... Perjamuan itu harus dirayakan empat kali setahun, yaitu pada hari Minggu yang paling dekat dengan Hari Natal, Hari Paska, Hari Pentakosta, dan hari Minggu pertama bulan September pada musim gugur. ["Peraturan Gereja Jenewa, 1561, butir 73", dlm. Th. van den End (ed.), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2000, h. 352.]

Amat jelas bahwa keempat Perjamuan Kudus yang ditetapkan jatuh pada hari Minggu sebagai hari Tuhan, hari di mana Kristus bangkit. Khusus mengenai Perjamuan Kudus kedua, diadakan pada Hari Paskah, bukan Jumat Agung.Kalau demikian, dari mana tradisi penggeseran hari ini muncul. Sebagian orang berpendapat bahwa gereja Belanda yang datang ke Indonesialah yang melakukannya. Pandangan ini keliru, karena dalam Tata Gereja Belanda 1619, hal yang sama dimunculkan. Perjamuan Tuhan harus diadakan sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paska, Hari Pentakosta dan Hari Natal. ["Tata Gereja Belanda, 1619, butir 63", dlm. ibid., h. 392.]

Maka, jelaslah, bahwa tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan tradisi penyelenggarakan Perjamuan Kudus pada Hari Jumat Agung. Rasanya kita perlu mengembalikannya menjadi Perayaan Iman Terbesar, yaitu pada Hari Paskah. Sesuai dengan namanya, eucharist yang berarti pengucapan syukur, kita tidak semata-mata mengingat Kristus yang menderita dan mati pada Jumat Agung, namun justru mengucap syukur atas Kristus yang bangkit dari maut pada Paskah Kemenangan itu.

30 Desember 2007

Hari Ibu

Terima Kasih Ibu
Oleh Prakoso Bhairawa Putera S

Suara Pembaruan (30 Des 2007)


Tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Ibu, sudah lewat, tetapi tentu saja tidak berarti hal yang berkaitan dengan ibu sudah dilewatkan begitu saja. Bahkan seperti kasih ibu yang berlangsung sepanjang masa, demikian pula hendaknya kita memberi perhatian pada ibu sepanjang waktu.
Berbicara mengenai Ibu, kita akan dihadapkan pada sosok perempuan atau wanita. Sejarah telah mencatat begitu banyak kaum perempuan mengambil andil dalam setiap jejak langkah perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari perlawanan menghadapi penjajah Belanda yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan kawan-kawan sampai dengan perlawanan diplomatik oleh RA Kartini, yang berhasil mengangkat derajat kaum perempuan pada tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki, walaupun sampai hari ini masih saja terdapat beberapa kesenjangan dan kekerasan terhadap perempuan.
Dari catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terdapat 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2004. Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya (2003) 7.787 kasus. Jumlah ini adalah kasus yang teridentifikasi. Dari 14.020 kasus tersebut, 4.310 di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 562 kasus trafficking, dan 302 kasus yang dilakukan aparat negara.
Padahal, jika dilihat sesungguhnya negara Indonesia telah memiliki UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sayangnya, pemerintah tampaknya masih "setengah hati" dalam mewujudkan pelaksanaannya.
Meski sudah ada UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, masih saja kekerasan terhadap perempuan terjadi. Kekerasan terhadap perempuan termasuk permasalahan yang cukup rumit. Kita akan berhadapan dengan masalah relasi, baik relasi personal (antarindividu), perempuan dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, maupun relasi sosial, perempuan dengan lingkungan masyarakat atau bahkan dengan negara. Jika memulai membangun relasi dengan konfrontasi, maka pasti reaksi yang muncul kemudian adalah resistensi (penolakan). Fakta di lapangan menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan relasi ini bisa terjadi dalam rumah, misalnya, antara suami dan istri.
Dengan relasi personal yang tidak seimbang ini, sering terjadi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan istri oleh suami, bentakan kasar, caci-maki, penelantaran rumah tangga, ancaman kekerasan, dan pemaksaan yang mengakibatkan kesengsaraan pada diri perempuan.
Pemberdayaan
Di tengah peliknya permasalahan tentang kekerasan terhadap perempuan di negeri ini sudah saatnya kita mengidentifikasikan masalah mendasar, yang menjadi pokok dari setiap hal yang merugikan kaum Ibu. Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasar selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi perempuan.
Dalam konteks hukum, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Hal lain yang jadi masalah, rendahnya kualitas dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak, rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender Related Development Index-GDI) sebesar 59,2 dibandingkan dengan angka HDI 65,8 dan Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement-GEM) 54,6 menempati ranking 33 dari 71 negara yang diukur. Masih banyak hukum dan peraturan perundangan yang bias gender.
Selain itu budaya patriarki yang masih banyak dianut di masyarakat Indonesia sering kali "memposisikan" perempuan pada status subordinat. Seperti, terlihat jika terdapat keterbatasan sumber daya dalam keluarga, maka adik laki- laki yang tetap meneruskan sekolah sedang kakak perempuannya diminta untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah dengan argumen bahwa mereka toh nantinya jika menikah juga akan bekerja di dapur.
Perubahan sosial-budaya masyarakat memerlukan waktu yang sangat lama bahkan mungkin dalam ukuran generasi, sehingga upaya yang berkaitan dengan perubahan sosial- budaya diupayakan melalui pembinaan yang terus-menerus.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Penghapusan Gender dalam Pembangunan. Inpres ini menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor, dan daerah masing-masing.
Dalam hubungan itu, kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan, meningkatkan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak, menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap untuk melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Kemudian, meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Karakteristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada kodrat perempuan hanya untuk mengandung dan melahirkan. Melainkan pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Selain itu, tuntutan dunia modern telah meletakkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Dengan demikian sudah sangatlah jelas bahwa perempuan juga memiliki peran yang tidak kalah dengan laki-laki. Oleh sebab itu, marilah terus berkarya kaum perempuan, tetapi dengan tetap sadar dan mengerti akan kedudukannya dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Saat ini yang perlu disadari bahwa telah begitu banyak pengorbanan dan sumbangsih kaum perempuan, baik yang secara biologis telah "berhak" menyandang predikat ibu maupun yang masih menunggu, tetapi tetap berhak mendapatkannya. Maka dalam memperingati hari pemuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodratnya, yakni hamil, melahirkan, menyusui, serta tugas-tugas dalam mewujudkan kemajuan keluarga, masyarakat, dan bangsa ini. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya, Staf Peneliti FISIP Universitas Sriwijaya, Palembang
Last modified: 28/12/07

22 Desember 2007

Oh, Malam Kudus

(dari: http://www.pemudakristen.com/artikel/o_holy_night.php)

O, Holy Night
Oh Malam Kudus


Malam kudus bintang gemerlap bercahya
Malam ini yesusku lahirlah
Manusia binasa dalam dosa
Ters'lamatkan kar'na kristus datang
Yang susah penat bersukacitalah
Kar'na raja mulia lahirlah

Reff:
Sembah sujud oh dengar suara malak
Malam kudus, kristus yesus lahir
Malam kudus, kudus, malam kudus

Malam kudus di langit bertaburan
Bintang kemilau terang cemerlang
Terpancar kini sinar pengharapan
Yang dinantikan sekarang genap
Dan bangsa yang lelah beroleh harap
Melihat fajar kini merekah

Reff:
Mari sujud dengar kidung malaikat
Malam mulia, malam kristus lahir
Malam mulia, malam, malam mulia

O Holy Night
Minuit, Chrétiens atau Cantique de Noël
Words: Placide Clappeau de Roquemaure, 1847; diterjemahkan dari bahasa Prancis ke Inggris oleh John Sullivan Dwight (1812-1893).
Music: Adolphe-Charles Adam (1803-1856).

O holy night, the stars are brightly shining,
It is the night of the dear Savior's birth;
Long lay the world in sin and error pining,
Till He appeared and the soul felt it's worth.
A thrill of hope the weary soul rejoices,
For yonder breaks a new and glorious morn;

Chorus
Fall on your knees, Oh hear the angel voices!
O night divine, O night when Christ was born!
O night divine, O holy night, O night divine.
Led by the light of Faith serenely beaming
With glowing hearts by His cradle we stand
So led by light of a star sweetly gleaming
Here come the wise men from Orient land
The King of kings lay thus in lowly manger
In all our trials born to be our friend. Chorus
Truly He taught us to love one another
His law is love and His gospel is peace
Chains shall He break for the slave is our brother
And in His name all oppression shall cease
Sweet hymns of joy in grateful chorus raise we,
Let all within us praise His holy name. Chorus

Dalam segala hal, lagu yang indah dan sangat brilian dari Prancis yang berjudul "Cantique de Noël" ini, tampak tanpa cacat dan cela. Liriknya yang religius dan melodinya yang sangat indah, serta suasana yang dibawakan kepada kita mencapai puncaknya dalam setiap penampilan lagu ini. Dalam penerimaan publik pun lagu ini diterima dengan sangat baik. Lagu ini termasuk salah satu lagu natal Prancis yang sangat terkenal dan bahkan di dunia internasional.


Tetapi kenapa kemudian seseorang mau menolak dan melarang keras penerbitan dari karya ini di saat-saat natal? Jawabanya terletak bukan pada karakteristik dari lagu ini sendiri, tetapi pada persepsi beberapa orang terhadap pencipta lagu ini. Kisah ini bermula di tahun 1847. Di Lembah Rhône, Prancis, yang terkenal dengan anggurnya yang berkualitas, perbedaan budaya yang mencolok, serta sejarahnya yang menawan, tinggallah seorang pria yang keberadaannya disentuh oleh seluruh aspek di atas. Placide Cappeau (1808-1877), seorang anggota komunitas kota Roquemaure - beberapa mil utara kota bersejarah Avignon - yang jabatannya adalah seorang komisioner mengurus anggur, yang di waktu senggangnya diisi dengan menuliskan bait-bait puisi dalam bahasa Prancis atau dialek Lang d’oc, dengan tidak sengaja menjadi seorang tokoh kecil dalam sejarah.


Kejadian menarik ini terjadi ketika Cappeau menjadi teman sepasang keluarga dari Paris bernama Laurey. Keluarga ini untuk sementara ditempatkan di Selatan Prancis, agar Laurey dapat melanjutkan kariernya di bidang teknik sipil, dengan membangun jembatan melintasi Sungai Rhône di daerah Roquemaure. Tepat sebelum Cappeau pergi ke Paris untuk urusan bisnis, pendeta dari jemaat di sana meminta penulis paruh waktu ini untuk menuliskan sebuah Puisi Natal dan menyerahkannya kepada seorang komponis terkenal di Prancis bernama Adolphe Adam (1803-1856) untuk aransemen musiknya. Adam adalah seorang teman dekat istri pasangan Laurey, yang adalah seorang penyanyi. Dilaporkan, pada 3 Desember 1847, kira-kira di tengah perjalanan ke Paris, Cappeau mendapatkan inspirasi untuk puisi tersebut, "Minuit, Chretiens."


Cappeau sama sekali tidak terkenal pada saat dia menghubungi Adam di Paris. Komponis tersebut sebaliknya, sedang berada pada puncak masa keemasannya - seorang yang sangat popular dan musisi yang sangat aktif. Adam baru beberapa tahun yang lalu, di tahun 1841, menghasilkan karyanya yang terbaik, balet Giselle. Karya ini biasa disebut sebagai 'Hamlet untuk karya balet', karena kisahnya yang menyedihkan, tantangannya untuk balerina yang membawakan, serta keindahan estetika hasil perpaduan koreografi dan musik. Melodi yang dibuatnya untuk karya puisi dari teman Ny. Laurey hanyalah karya kecil dari reputasinya.


Setelah Cappeau membawa karyanya kepada Adam, lagu ini berhasil diselesaikan dalam beberapa hari. Pemunculan perdana dari lagu ini, seperti yang telah direncanakan, adalah pada misa tengah malam di gereja Roquemaure pada Natal 1847. Sangat mudah dimengerti bahwa para penonton tidak menyangka bahwa musik yang begitu menyentuh jiwa ini sebagian adalah hasil karya seseorang dari tempat itu sendiri. Mereka sangat terkesima. Setelah pemunculan ini, bertahun-tahun kemudian, lagu ini menjadi lagu yang sangat terkenal dinyanyikan pada saat Natal. Pertama kali lagu ini diterbitkan pada tahun 1855 oleh Schott and Company di London, dan dari sanalah, lagu ini mengalami beberapa penyesuaian dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh dunia. Terjemahan yang paling terkenal adalah versi O, Holy Night yang ditulis oleh seorang kritikus musik dan jurnalis dari Amerika bernama John Sullivan Dwight (1818-1893).


Karena lagu ini sangat terkenal dan popular, maka beberapa orang kurang menyenangi lagu ini dan menganggapnya tidak mewakili Natal. Alasan utama serangan terhadap lagu ini bukan pada bagian seninya, tetapi lebih kepada karakteristik negatif latar belakang penulisnya. Seorang bishop dari Prancis bahkan pernah mengatakan bahwa lagu ini tidak memiliki cita rasa musik dan kehilangan (tidak ada) spirit agama di dalamnya. Adam berasal dari latar belakang non-Kristen dan pekerjaannya pun adalah komponis lagu-lagu opera untuk teater, sebuah arena yang sangat jauh dari wilayah religius teologis. Lebih buruk lagi, Cappeau, digambarkan sebagai seorang sosial radikal, pemikir bebas, sosialis, dan seorang non-Kristen. Dalam beberapa hal, pengelompokan seperti ini benar. Pada akhir masa hidupnya, Cappeau mengadopsi beberapa pemikiran politik dan sosial yang sangat ekstrim di masanya, seperti menentang ketidaksetaraan, perbudakan, ketidakadilan, dan segala macam penindasan. Hal ini sangat jelas diindikasikan dalam karya puisinya yang terbit tahun 1876 berjudul "Le Château de Roquemaure", sebuah karya puisi filosofis 4000 baris dimana Cappeau menyangkali lirik yang ditulisnya tahun 1847 dan merevisi seluruh isi dan penampakannya. Seluruh keanehan ini terjadi pada akhir-akhir masa hidupnya, dan ditandai dengan kehidupan eksentrik yang sangat jelas. Ketika dia menulis bait-bait lagunya yang indah dan menyentuh, dia mungkin hanyalah seorang Kristen biasa, kalau tidak pendeta jemaat tersebut tidak akan memintanya untuk menuliskan suatu puisi yang sifatnya religius.


Secara keseluruhan, lagu ini mungkin merupakan lagu solo Natal terindah yang ada sekarang ini. Pengaruh lagu ini pada kebudayaan barat diilustrasikan di sebuah cerita yang konon kabarnya belum diketahui kebenarannya. Ketika terjadi perang antara Prancis dan Prussia (sekarang Jerman) di tahun 1870-1871, tentara Prancis dan Jerman saling berhadapan di parit-parit luar kota Paris. Pada malam Natal, seorang tentara Prancis tidak disangka-sangka melompat keluar parit dan menyanyikan lagu ini. Terpesona akan keindahan lagu ini, para tentara Jerman bukan saja tidak menembak tentara Prancis tersebut, malah mulai menyanyikan lagu Natal yang terkenal di Jerman yang ditulis oleh Martin Luther berjudul "Vom Himmel hoch" ("From Heaven Above to Earth I come"). Benar tidaknya kejadian ini, setidaknya melukiskan betapa lagu ini begitu dicintai. Jika ini sejarah, maka hal ini melukiskan pengaruh budaya dari lagu tersebut. Jika ini hanya cerita, maka hal ini mencerminkan pengaruh yang berkelanjutan dari lagu ini dalam imajinasi manusia.