11 Juni 2008

Visi GKSS Klasis Makassar 2015?


Zakaria Ngelow
Yayasan OASE INTIM
http://oaseintim.blogspot.com
Ma’minasa 2015:
Membangun Jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar
dalam Tujuh Tahun Kedepan


Saudara-saudara pimpinan dan warga GKSS Klasis Makassar, salam sejahtera dalam Nama Tuhan Yesus Kristus. Selamat Merayakan Hari Ulang Tahun GKSS, 12 Juni 2008 (sekalipun saya berpendapat GKSS lahir bukan pada persidangan Sinode tahun 1966 melainkan persiapan sinode tahun 1965).

Melalui tulisan singkat ini, saya ingin memperjelas gagasan yang saya mulai kedepankan dalam percakapan di gereja Jemaat Pandang-pandang pada tanggal 10 Juni: Merumuskan Visi Jemaat 2015. Dan sekalipun gagasan ini untuk jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar (yang berlokasi di Makassar dan Sungguminasa – itu makna Ma’minasa sebagai singkatan, di samping makna kata: minasa = cita-cita luhur) para pimpinan dan warga jemaat lainnya, bahkan di luar GKSS bebas mengaplikasikan bagi jemaatnya.

1. Titik Tolak

Merumuskan Visi Jemaat untuk tujuh tahun mendatang bertolak dari dua hal mendasar, yakni (1) panggilan Tuhan atas gereja-Nya yang dijalankan dalam jemaat adalah panggilan mulia yang tidak bisa dikerjakan secara rutin tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang serius; (2) kehidupan jemaat-jemaat masa kini sudah harus diselenggarakan mengikuti pola kerja managemen organisasi moderen untuk dapat berhasil melakukan tugasnya atau mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, misi gereja – yang berakar dalam missi Deo, misi Allah mengasihi-menyelamatkan dunia – perlu dijabarkan ke dalam visi jangka pendek untuk diwujudkan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang efisien dan efektif.

2. Siapa?

Perumusan Visi Jemaat dilakukan oleh seluruh jajaran pimpinan jemaat: pendeta jemaat, Majelis Jemaat, pimpinan OIG, bahkan tua-tua dan para tokoh di dalam jemaat. Perumusan harus berlangsung secara terbuka dan kritis, dan dalam prinsip kebersamaan: bersama-sama menggagas masa depan bersama! Setiap orang wajib memberi dan dipertimbangkan pendapatnya sedemikian rupa bahwa rumusan yang dicapai adalah rumusan bersama, bukan rumusan dari satu orang. Dalam suatu organisasi, kemampuan bersama jauh lebih baik atau lebih besar, dari kemampuan seorang atau beberapa orang saja dalam organisasi itu. Dalam urusan visi, kalau orang bermimpi sendiri maka mimpinya tetap mimpi, tetapi kalau mimpi bersama-sama maka mimpinya akan menjadi kenyataan.

3. Data

Perumusan Visi Jemaat harus didasarkan pada data jemaat yang jelas dan akurat, karena visi harus bertolak dari kenyataan aktual. Karena itu pimpinan jemaat harus memiliki data yang selengkap mungkin. Suatu isian sederhana saya sudah minta sebelumnya supaya ada basic data yang akurat. Perumusan visi tidak bisa dikerjakan dengan bertolak dari perkiraan-perkiraan saja. Data itu terutama harus mencerminkan potensi di dalam jemaat, yang menjadi modal atau kekuatan dalam penyelenggaraan tugas atau pencapaian tujuan jemaat.

4. Visi dan Citra

Bertolak dari kenyataan jemaat saat ini, apa yang anda yakin – dengan perkenan Tuhan -- dapat diwujudkan tahun 2015 melalui upaya-upaya bersama secara serius dan terencana memajukan jemaat. Pilihlah berdasarkan visi tadi, aspek yang mendapat tekanan utama -- koinonia, martyria, diakonia -- apa “citra diri jemaat” yang anda anggap paling tepat bagi jemaat anda? Rumuskan secara konrit dalam kalimat slogan, misalnya “Jemaat Yang Memuji”; atau “Jemaat Yang Peduli.” Dapat pula dengan tambahan logo.

Visi Jemaat terkait dengan aspek-aspek panggilan gereja (koinonia, martyria, diakonia). Dalam hal ini perlu memilih aspek yang paling cocok menjadi penekanan dalam jemaat, yakni sesuai potensi yang ada. Rumusan Visi Jemaat dalam bentuk kalimat pendek yang mengungkapkan “mimpi” apa yang anda bersama-sama. Rumusan visi haruslah menggetarkan hati, atau membakar semangat untuk mewujudkannya. Sebagaimana dinyatakan di atas, visi haruslah urusan bersama, mimpi bersama yang menggetarkan-menggerakkan seluruh jemaat.

Dalam pencintraan dirinya, jemaat Pandang-pandang bermimpi “menjadi jemaat yang beribadah”, yakni mengandalkan potensi menyanyi warganya untuk melayani melalui paduan suara dan nyanyian jemaat. Terkait dengan itu adalah pembaruan liturgi yang memungkinkan potensi diaktualisasikan (bakat-bakat yang ada tersalurkan), dan juga dapat berlangsung “ibadah yang menggetarkan hati”. Jemaat Makkio Baji bermimpi “menjadi jemaat diakonia”, yang mampu menyediakan bantuan materil – melalui usaha pengembangan sumber dana – untuk membantu secara karitatif maupun transformatif warga gereja dan warga masyarakat; termasuk layanan kesehatan,, pengembangan SDM, dsb. Jemaat Kertago Borongloe masih mencari-cari yang relevan bagi potensinya. Wakil-wakil jemaat ini mengedepankan berbagai kebutuhan sarana/prasarana (renovasi gedung gereja, ruangan pastoral, dsb) dan rupanya belum sampai pada suatu kejelasan apa mimpinya untuk tujuh tahun ke depan.

5. Layanan Unggulan

Pencitraan diri secara ideal, seperti Jemaat Makkio Baji “menjadi jemaat diakonia” atau “jemaat yang peduli kaum miskin” [ini contoh saja, yang masih dapat dikembangkan lebih lanjut] menyiratkan bahwa layanan unggulan jemaat ini adalah di bidang diakonia sosial. Jemaat Pandang-pandang mengedepankan koinonia-liturgis (kebaktian yang menggetarkan hati). Layanan-layanan unggulan macam ini, akan berdampak terhadap aspek-aspek lain kehidupan jemaat: menjadi kesaksian yang menarik orang-orang untuk bergabung (sehingga menambah jumlah warga), mendorong pengambangan diri warga sehingga aspek kemajuan kwalitas iman, kasih, pengharapan meningkat pula, termasuk segi-segi persaudaraan yang menguat.


6. Jemaat Ideal

Saya telah menyampaikan gambaran umum jemaat yang ideal, yakni menonjol salah satu atau beberapa hal berikut [biasanya yang satu mendukung terwujudnya yang lain]:

* Ibadah jemaat menggetarkan: entah tenang teduh, entah hingar-bingar dengan musik dan nyanyian, tetapi orang mengikuti dengan penuh perasaan dan konsentrasi.

*Adanya pelayanan pastoral yang dirasakan orang sebagai dukungan menghadapi berbagai pergumulan pribadi dan keluarga; bahkan dalam bentuk program trauma healing.

*Adanya persaudaraan yang akrab dalam jemaat dan jaringan ekumenis antar jemaat/gereja: orang mengalami kehidupan sebagai sesama warga gereja sebagai satu keluarga besar yang saling peduli dan terikat. Dalam pertemuan ibadah berlangsung pula percakapan-percakapan, bahkan sharing pergumulan (curhat); terbuka saling bantu melayani dalam keperluan. Bergairah bersama mendukung kegiatan-kegiatan yang diprogramkan jemaat, dsb. Terdapat pula hubungan-gubungan ekumenis antar jemaat/gereja karena orang termotivasi dan bergairah dalam setiap kegiatan bersama.

* Angka pertambahan warga yang bermakna: jemaat yang hidup dengan persekutuan yang akrab diminati orang (band. Kis 2:42-47). Sebaliknya, orang malas dan pelan-pelan mengundurkan diri dari persekutuan yang suam; orang kehilangan gairah dan motivasi untuk mendukung kegiatan jemaat.

*Aktivitas diakonia dan/atau pastoral: jemaat yang hidup memang memberi perhatian pada kebutuhan warganya, juga kebutuhan sosial-ekonomi. Dan bukan sekadar bikisan Natal atau Paskah (model BLT?), melainkan suatu program rutin yang berbentuk diakonia karitatif maupun transformatif, bahkan bisa dalam bentuk crisis center.

*Partisipasi warga sebagai SDM bertalenta: jemaat yang hidup mendorong dan memberi kesempatan pada setiap warga untuk memanfaatkan talentanya dalam pelayanan jemaat. Entah apa, tetapi setiap warga dilengkapi Tuhan dengan talenta (1 Kor 12: 4 dst), yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau setelah melalui program-program pemberdayaan.

*Jaringan dialog antar-iman: penting pula bahwa jemaat sadar akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat umum, yang dalam konteks kita adalah masyarakat majemuk juga dalam agama. Sebab itu hubungan-hubungan antar-penganut agama (interfaith) yang harmonis perlu dikembangkan. Ada sedikitnya tiga alasan teologis untuk itu: (1) Allah adalah Tuhan atas semua orang dan semesta ciptaan, yang juga mengasihi semua orang; (2) dalam panggilam misioner jemaat, kesaksian Injil hanya dapat dinyatakan melalui pergaulan yang baik dengan semua orang; dan (3) panggilan gereja mendukung kehidupan bersama yang rukun selaku satu bangsa Indonesia.

*Pengembangan sarana teknologi informasi / komunikasi. Di setiap jemaat dapat dikembangkan pusat data, informasi dan pelayanan, misalnya melalui internet dalam bentuk mailing list atau website dan weblog [lihat contoh sederhana layanan melalui internet dalam http://gkss-pembinaan.blogspot.com/ ]. Siaran radio juga merupakan sarana layanan yang dapat dipertimbangkan diselenggarakan jemaat.

8. Pilihan Culture

Gereja diikat oleh nilai-nilai Kristen yang dijabarkan dari Firman Tuhan. Culture suatu jemaat adalah nilai yang dipromosikan sebagai nilai andalan yang membentuk karakter suatu jemaat. Rasul Paulus menyebut tiga nilai utama: iman, pengharapan dan kasih (1 Kor 13:13). Tetapi ada pula nilai-nilai kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22,23). Nilai mana paling cocok untuk jemaat anda? Sebaiknya pilihan nilai untuk menjadi karakter culture suatu jemaat dihubungkan dengan citra diri ideal dan program layanan unggulannya. Karena Makkio Baji, misalnya, mengidealkan citra diri sebagai jemaat diakonia, maka culture-nya cocok dengan kemurahan.

9. Visi dan Kepemimpinan

Percakapan di Pandang-pandang menyinggung aspek leadership, management dan pendeta jemaat. Pimpinan Jemaat (dalam hal ini Majelis dan Pendeta Jemaat) adalah sekaligus leader dan manager. Kedua fungsi itu dapat dibandingkan sbb:


LEADER
MANAGER
Ber-inovasi
Mengembangkan
Meng-inspirasi
Berpandangan jangka-panjang
Mempersoalkan apa dan mengapa
Memulai yang baru
Menantang status quo
Do the right things
Meng-administrasikan
Memelihara
Mengontrol
Berpandangan jangka-pendek
Mempersoalkan bagaimana dan kapan
Mem-formal-kan
Menerima status quo
Do things right


Visi dimulai oleh pemimpin, namun harus menjadi visi bersama seluruh jemaat. Jadi, dalam prakteknya, perumusan visi dilakukan dalam kapasitas sebagai leader, namun dalam pelaksanaannya lebih sebagai manager. Karena itu Pimpinan Jemaat harus sungguh-sungguh memahami konsepsi visi jemaat dan mengetahui berbagai aspek operasional aplikasinya sesuai prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi managemen organisasi moderen. Pimpinan jemaat harus memulai memantapkan dalam kalangannya. Pendeta dan seluruh Majelis jemaat harus sungguh-sungguh sefaham mengenai visi dan langkah-langkah aplikasinya. Tidak boleh ada perbedaan pemahaman yang akan membingungkan jemaat. Dalam hal ini penting dokumen-dokumen rumusan tertulis sebagai acuan bersama.

10. SWOT dan Aksi

Visi yang telah dirumuskan secara lengkap perlu dijabarkan ke dalam aksi, atau program-program pelaksanaannya. Untuk suatu visi tujuh tahun, perlu program per tahun yang sedemikian rupa berangsung-angsur mewujudkan. Program-program aksi tahunan itu akan bergantung pada hasil analisis SWOT, yang merupakan kegiatan pertama setelah perumusan visi. Dengan perumusan Visi telah ditetapkan suatu tujuan. Maka berdasarkan tujuan itu suatu analisis SWOT dikerjakan secara saksama untuk menemukan kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) di dalam jemaat, dan peluang-peluang (Opportunities) serta tantangan-tantangan (Threats) dari luar.

12. Status jemaat ekumene?

Status “jemaat oikoumene” membuka kemungkinan warga jemaat menjadi anggota rangkap di jemaat GKSS dan di jemaat gereja lain. Saya menghimbau pimpinan jemaat dan pimpinan Klasis/Sinode GKSS meninjau lagi status keanggotaan rangkap itu, karena lebih menjadi beban daripada pendukung pelayanan. Jemaat ekumene [ini ejaan yang baku dalam bahasa Indonesia daripada bentuk kata bahasa Latin: oikoumene] sebaiknya bukan status keanggotaan warga jemaat, melainkan status kelembagaan jemaat, yakni sebagai jemaat yang terbentuk dari latar warga gereja yang berbeda-beda di bawah tanggungjawab PGIW, yang diserahkan kepada pelayanan GKSS. Dengan tidak adanya keanggotaan rangkap, warga jemaat dapat berkonsentrasi untuk hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam jemaat.

13. Bagaimana mulai?

Suatu pemanasan telah dilakukan dalam pertemuan kemarin di Pandang-pandang. Harapan saya adalah masing-masing jemaat mulai mengembangkan wacana visi jemaat untuk tujuh tahun mendatang, sehingga tiba pada suatu momen yang tepat untuk merumuskan dan menetapkannya. Mudah-mudahan dengan tuntunan Roh Tuhan mimpi ini menjadi kenyataan.


Salam,


Zakaria Ngelow


09 Juni 2008

PERANAN PADUAN SUARA DALAM KEBAKTIAN


http://yohanesbm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=33
PDF Print E-mail
Written by Yohanes B. M.
Wednesday, 12 December 2007

A. Dasar Untuk Memuji Tuhan

Setiap orang percaya pada hakikatnya dipanggil untuk memuji Tuhan melalui nyanyian atau madah iman. Dalam hal ini tindakan iman atau sikap percaya diekspresikan melalui nyanyian pujian untuk memuliakan atau memasyurkan nama Tuhan. Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai beberapa istilah untuk menunjuk tindakan memuji Tuhan seperti: halal/hallelu (Ibr.) yang artinya: puji Tuhan; yadah (Ibr.) yang artinya: bersyukur, menyanjung, menyembah; tehillah (Ibr.) yang artinya: memuliakan, memuji, nyanyian pujian; epainos (Yun.) yang artinya: pujian, penghargaan; aineo (Yun.) yang artinya: berkata-kata dalam bentuk pujian; humneo (Yun.) yang artinya: menyanyi, menyanjung dan memuji dengan sikap khidmat. Karena itu dasar untuk memuji Tuhan adalah:
1. Allah membentuk dan menciptakan umat manusia agar mereka dengan rasa syukur memberitakan kemasyhuran namaNya. Di Yes. 43:21, Allah berfirman: “umat yang telah Kubentuk bagiKu akan memberitakan kemasyhuranKu”. Tindakan memuliakan nama Allah perlu dinyatakan dalam perbuatan dan tindakan yang nyata. Namun tindakan yang nyata itu tidak berarti mengabaikan tindakan ibadah dari umatNya, yaitu berupa nyanyian pujian kepadaNya.

2. Segala mahluk dan kuasa-kuasa alam dipanggil untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan. Itu sebabnya di Mzm. 150:1-6, secara rinci penulis kitab Mazmur mengajak umat untuk memuji nama Tuhan dalam cakrawalaNya, memuji Tuhan karena segala keperkasaanNya, dan memuji Tuhan karena keagunganNya. Di Mzm. 150:3-5 pemazmur mengajak umat Tuhan untuk memuliakan namaNya dengan segala jenis alat-alat musik seperti: sangkakala (terompet), gambus, kecapi, rebana, tari-tarian, seruling, dan ceracap. Kemudian pada akhir ucapannya pemazmur mengajak: “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! Haleluya!” (Mzm. 150:6).

3. Kita layak memuji Tuhan karena karya keselamatanNya. Di I Taw. 16:23 dinyatakan: “Bernyanyilah bagi Tuhan, hai segenap bumi, kabarkanlah keselamatan yang dari padaNya dari hari ke hari. Ceritakanlah kemuliaanNya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatanNya yang ajaib di antara segala suku bangsa”. Sebagai umat percaya, kita tidak dapat bersikap pasif dan bungkam terhadap karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Allah. Karya keselamatan Allah wajib kita agungkan dengan menyaksikan dan mengabarkannya kepada segenap umat manusia. Dengan demikian nyanyian pujian tentang karya keselamatan Allah bukan sekedar untuk menggembirkan dan memuaskan kebutuhan rohani diri kita sendiri, tetapi kita memuji Tuhan sebagai kesaksian iman kita kepada dunia dan sesama kita.


B. Tujuan Nyanyian Yang Dinyanyikan oleh Paduan Suara
Dalam melaksanakan kebaktian, peran Paduan Suara dalam perjalanan sejarah gereja tidak pernah lapuk. Paduan Suara tetap dipandang sebagai kelompok pujian yang sangat penting dan integral dalam suatu ibadah. Tetapi di manakah letak dan peran Paduan Suara dalam arti yang sesungguhnya? Dalam berbagai kasus, sering Paduan Suara dipahami secara salah, misalnya:
- Paduan Suara sekedar sebagai pelengkap/suplemen dalam kebaktian.
- Paduan Suara sekedar untuk memeriahkan suasana kebaktian.
- Paduan Suara berfungsi untuk mengangkat suatu pujian jemaat.
- Paduan Suara berfungsi untuk memberi hiburan (entertainment).
- Paduan Suara sebagai suatu kelompok minat untuk menyalurkan hobi dan kemampuan vokal.

Padahal Paduan Suara yang hadir dan menyanyian berbagai pujian dalam suatu kebaktian, pada hakikatnya untuk memuliakan nama Tuhan, yang mana mereka ekspresikan melalui persembahan pujian yang mencerminkan kasih, iman dan pengharapan jemaat Tuhan yang sedang berziarah dalam kehidupan ini. Untuk itu puji-pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara di dalam suatu kebaktian bertujuan:
a. Puji-pujian yang dinyanyikan itu untuk membina hubungan yang personal dengan Tuhan: sebagai bagian dari jemaat, kelompok Paduan Suara bukanlah kelompok elit dan eksklusif. Sehingga melalui puji-pujian yang mereka nyanyikan itu mereka sedang mengkomunikasikan imannya secara pribadi dengan Allah.
b. Puji-pujian yang dinyanyikan itu untuk membina hubungan yang personal dengan anggota jemaat pada umumnya. Dalam hal ini Paduan Suara merupakan bagian yang integral dengan jemaat. Mereka memuji Tuhan untuk menguatkan persekutuan dengan jemaat. Melalui puji-pujian yang mereka nyanyikan, mereka sedang merajut bersama persekutuan sebagai tubuh Kristus.
c. Melalui puji-pujian yang dinyanyikan, Paduan Suara sedang memerankan tugas gereja Tuhan yang menyampaikan firman Tuhan dan pengajaran gereja. Apabila seorang Pendeta memberitakan firman Tuhan secara verbal, maka melalui nyanyian puji-pujian dari Paduan Suara, gereja sedang menyampaikan firman Tuhan melalui nyanyian agar jemaat terpanggil untuk melaksanakan firman Tuhan dengan setia.


C. Nyanyian Paduan Suara Perlu Selektif
Sebagaimana dipahami bahwa nyanyian pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara yang salah satu tujuannya adalah menyampaikan pengajaran gereja, maka puji-pujian yang akan dinyanyikan oleh Paduan Suara perlu dipilih secara selektif. Paduan Suara yang hadir dan memuji Tuhan di tengah suatu ibadah, pada prinsipnya berfungsi untuk:
1. Mengekspresikan iman jemaat kepada Tuhan. Puji-pujian yang dinyanyikan bukanlah sekedar suatu untuk menampilkan nyanyian yang bagus, indah, dan menarik. Tetapi apakah dalam nyanyian itu mencerminkan sikap iman kepada Kristus.
2. Puji-pujian yang dinyanyikan dihayati oleh iman Kristen sebagai suatu doa. Artinya melalui puji-pujian itu Paduan Suara mengajak jemaat untuk meresapinya sebagai suatu doa, sehingga jemaat merasakan perjumpaan dengan Allah secara pribadi dalam kehidupan mereka.
3. Puji-pujian yang dinyanyikan adalah untuk menyatakan kesaksian iman kepada dunia. Selaku gereja Tuhan, kita dipanggil untuk bersaksi kepada dunia ini bahwa Allah di dalam Kristus adalah Allah yang mengasihi dan menyelamatkan seluruh umat manusia. Sehingga melalui puji-pujian yang dinyanyikan itu kita memanggil seluruh umat manusia untuk datang kepada Kristus dan menyambut kasihNya.


D. Cara Menyanyikan Dalam Kebaktian
Puji-pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara dalam kebaktian sama sekali tidak bermaksud menggantikan tugas dan ekspresi jemaat untuk memuji Tuhan. Karena itu Paduan Suara dalam menyanyikan puji-pujian perlu berusaha untuk senantiasa mengikutsertakan jemaat secara sadar, bersengaja dan komunikatif. Untuk itu ada beberapa saran dalam menyanyikan puji-pujian, yaitu:
a. Antifonal: nyanyian berbalasan di antara kelompok Paduan Suara, misal dari kiri ke kanan, atau antara pria dan wanita.
b. Responsori: nyanyian berbalasan antara pemimpin liturgi/pengkhotbah dengan umat (termasuk pula Paduan Suara).
c. Alternatim: nyanyian berbalasan antara dua atau beberapa kelompok Paduan Suara (misal antara Paduan Suara Nafiri dengan Paduan Suara Maranatha).
d. Solis: pujian yang dinyanyikan oleh pemimpin liturgi, atau oleh sekelompok penyanyi.

E. Cara Untuk Mempersiapkan Nyanyian Pujian
Walau Paduan Suara merupakan bagian yang integral dengan jemaat, tidak berarti Paduan Suara boleh mengabaikan persiapan dan latihan yang sungguh-sungguh. Bahkan Paduan Suara mempunyai tugas yang lebih serius dari pada sekedar latihan vokal, sebab Paduan Suara juga mempunyai tugas untuk ambil bagian memimpin suatu kebaktian. Untuk melaksanakan tugas tersebut Paduan Suara perlu:
1. Mempelajari nyanyian yang akan dinyanyikan sehingga dapat dinyanyikan secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan oleh pengarangnya.
2. Perlu bersikap kritis dengan menganalisa lagu dan syair, sehingga para anggota Paduan Suara dapat mengerti makna atau interpretasi “teologis” dari lagu yang sedang mereka nyanyikan.
3. Mampu mempraktekkan hasil interpretasi terhadap lagu tersebut, sehingga mereka dengan sikap mantap dan penuh iman menyajikan pujian tersebut dalam kelompok Paduan Suaranya.

F. Cara Untuk Menganalisa Lagu Pujian
Pemimpin Paduan Suara yang baik, tidak akan sekedar melatih kelompok Paduan Suaranya hanya agar mereka dapat menyanyi dengan teknik yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara musikal saja. Tetapi pemimpin Paduan Suara gerejawi bertanggungjawab terhadap:
a. Isi syair dari lagu yang akan dinyanyikan, yaitu apakah lagu tersebut telah sesuai dengan pengajaran firman Tuhan, ajaran gereja, tidak bertentangan dengan ekklesiologi dari jemaatnya dan mampu untuk mengungkapkan iman dari umat/jemaat.
b. Pemimpin Paduan Suara dan para anggotanya sungguh-sungguh yakin bahwa pujian tersebut dapat dipercaya, sehingga mereka meyakini pesan atau pengajaran yang dinyatakan oleh pujian tersebut.
c. Mampu menyajikan puji-pujian itu sebagai suatu kesaksikan iman, dan dapat menjadi bagian yang mendukung pengajaran firman Tuhan yang disampaikan. Sehingga jemaat yang mendengar puji-pujian itu merasa dikuatkan dan dimotivasi untuk memberitakan firman Tuhan. Karena itu dalam menyanyikan pujian sebaiknya Paduan Suara memperhatikan:
1. tema dan perikop khotbah
2. jenis kebaktian yang sedang diselenggarakan: kebaktian Minggu, kebaktian penahbisan/peneguhan Pendeta, kebaktian pelembagaan jemaat, kebaktian remaja, kebaktian pemuda, dan sebagainya.

d. Waktu yang tersedia: Paduan Suara perlu bijaksana dan tidak perlu memaksakan diri untuk menyanyikan sekian banyak lagu ketika menyadari bahwa kebaktian tersebut telah padat, misalnya dalam kebaktian itu sedang dilayani sakramen Baptis dan sakramen Perjamuan Kudus.

MENJADI GEREJA YANG ESA, UTUH DAN KUKUH DEMI PEMANTAPAN PERAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA

http://www.pgi.or.id/artikel.php?news_id=74



Andreas A. Yewangoe


Pendahuluan

Sidang MPL-PGI kali ini kita selenggarakan bertepatan dengan peringatan 60 tahun Dewan Gereja-gereja Sedunia (WCC). Sebagaimana diketahui WCC dibentuk pada tahun 1948 di Amsterdam, segera setelah Perang Dunia II berakhir. Kita menyebutkan hal ini di sini bukan semata-mata karena banyak dari anggota-anggota PGI yang merupakan anggota WCC, tetapi terutama karena keprihatinan yang sama terhadap pertanyaan, bagaimana menjadi gereja dalam dunia yang berubah cepat, dunia yang mengglobal yang penuh dengan berbagai tantangan-tantangan (baru) tetapi juga penuh dengan harapan-harapan. Berkaitan dengan itu, timbul juga pertanyaan bagaimana seharusnya keesaan gereja diwujudnyatakan, ketika sekian banyak persekutuan-persekutuan Kristen tampil sebagai yang juga ingin menyatakan diri sebagai wujud keesaan gereja. Prof Dr. Walter Altmann, Moderator WCC dalam Sidang Central Committe, 13-20 Februari 2008 lalu di Geneva mengangkat (kembali) semboyan General Assembly (Sidang Raya) WCC Amsterdam, “We intend to stay together” . Gereja-gereja Kristen diserukan untuk bertekun mencari keesaan itu. Pada satu pihak WCC tidaklah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya gerakan oikoumenis (the ecumenical movement), tetapi memahami dirinya sebagai bahagian gerakan oikoumenis yang lebih luas. Pada pihak lain, WCC tidak melihat dirinya sebagai yang melayani dirinya sendiri melainkan untuk (melayani) gerakan oikoumene. Maka pertanyaan yang mesti diajukan dengan memperhatikan sejarah perkembangan WCC, kata Altmann, bukan betapa dan berapa kuatnya WCC, tetapi bagaimana ia (WCC) melayani dan terus melayani gerakan oikoumenis. Maka komitmen bersama terhadap gerakan oikomene tetap dimintakan dari setiap gereja (umat Kristen), yang, kendati mempunyai matra (dimensi) yang berbeda-beda, namun semua dipanggil untuk memperlihatkan kesatuan yang nyata (visible unity) yang dapat diungkapkan dalam cara yang beranekaragam, seperti “panggilan bersama”, “kehidupan bersama di dalam Kristus”, “kesaksian bersama”, “satu iman”, “ikut serta dalam persekutuan perjamuan”, dan seterusnya. Pendeknya, tujuan utama WCC adalah menerima anugerah dari Allah dan meresponnya di dalam persekutuan (koinonia) saudara-saudara seiman di dalam satu gereja.
Apa yang dilukiskan di atas, sesungguhnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja kita yang tergabung di dalam PGI selama 58 tahun terakhir ini. Kita bergumul dengan pertanyaan bagaimanakah kesatuan gereja itu diwujud-nyatakan di tengah keberbagaian yang cukup besar, dan bagaimanakah hidup bergereja diungkapkan dalam masyarakat majemuk Indonesia? Menarik untuk dicatat, bahwa pertanyaan ini ternyata tidak saja dijawab oleh gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, tetapi juga oleh gereja-gereja lainnya. Munculnya berbagai persekutuan-persekutuan lain yang ingin mengungkapkan keesaan gereja, barangkali bisa diinterpretasikan sebagai adanya keinginan ikut-serta dalam gerakan oikoumenis yang lebih luas itu. Sebagai gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, kita menegaskan (kembali) komitmen kita untuk mewujudkan keesaan gereja bukan sebagai tujuan akhir tetapi sebagai “saluran” bagi pelayanan yang lebih baik lagi kepada dunia. Sesungguhnya inilah penegasan ulang para pendiri DGI (PGI sekarang), bahwa gereja-gereja di Indonesia haruslah bersatu apabila mereka ingin sungguh-sungguh menjadi berkat bagi dunia dan bangsa ini. Sidang Raya XIV PGI menegaskan keesaan kita sebagai “Keesaan in Action”. Itulah tekad bersama, bahwa kendati keberagaman kita, kita tetap mempunyai panggilan bersama untuk melayani sebaik-baiknya.

I. Satu Tahun Sesudah Sidang MPL-PGI Manado 2008

Setelah satu tahun Sidang MPL-PGI Manado, kita berusaha untuk melihat kembali ke belakang apakah komitmen kita yang dituangkan dalam “Pikiran Pokok” sungguh-sungguh terwujud di dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan bermasyarakat. Pikiran Pokok MPL-PGI Manado berbunyi: “Meneguhkan Ulang Komitmen Kebangsaan Demi Mempertahankan Keutuhan NKRI.” Dengan perumusan pikiran pokok tersebut kita menggarisbawahi pentingnya komitmen kebangsaan kita yang, dalam penglihatan dan pengalaman telah mengalami erosi. Kecenderungan itu terlihat misalnya dalam sikap dan perilaku sektarian atas dasar suku, agama, ras, dan golongan. Pada waktu itu kita mencatat, bahwa orang cenderung mementingkan dirinya sendiri. Rasa solidaritas makin memudar. Wajah kemiskinan sangat mengerikan. Ternyata sinyalemen tersebut masih tetap terbukti dalam kenyataan hidup kita sampai saat ini. Hal itu nampak misalnya dalam kecenderungan mementingkan kepentingan daerah masing-masing, tanpa mempertimbangkan bahwa daerah yang bersangkutan berada dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Kurangnya solidaritas juga terlihat dalam wajah kemiskinan yang makin mengerikan, sementara mereka yang diberi amanat untuk mewakili kepentingan rakyat berlomba-lomba untuk memperkokoh kepentingan dan kekuasaannya. Umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka keteladanan untuk memperlihatkan solidaritas terhadap bangsa ini makin memperoleh relevansinya.

II. Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008

Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008 ini kita meletakkan pergumulan-pergumulan kita dengan memfokuskan diri pada kehidupan bergereja. Pikiran Pokok sidang ini berbunyi: “Menjadi Gereja Yang Esa, Utuh dan Kukuh Demi Pemantapan Peran Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Ada berbagai pertimbangan-pertimbangan mengapa kita memfokuskan perhatian pada kehidupan bergereja. Dari sekian banyak alasan-alasan kita menyebutkan beberapa: pertama, masih terdapat di dalam gereja-gereja kita (kendati tidak semuanya) ketegangan-ketegangan internal dengan berbagai alasan. Memang ketegangan-ketegangan itu belum sampai kepada perpecahan, tetapi setidak-tidaknya akan mengganggu kehidupan beroikoumene kita. Ada yang merupakan residu dari persoalan-persoalan masa lampau, ada yang karena persoalan kepemimpinan, persoalan kepentingan, dan seterusnya. Kedua, ada ketegangan-ketegangan antar-gereja karena belum semua menaati “Piagam Saling Mengakui Dan Saling Menerima”. Apa yang disebut “curi domba” masih tetap merupakan pengeluhan dari beberapa gereja. Ketiga, tetap maraknya penutupan paksa gedung-gedung gereja di banyak tempat di Tanah Air kita oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut catatan dari Bidang Diakonia PGI (yang juga telah disampaikan kepada Komnas HAM), sejak 2004-2007 tidak kurang dari 108 gedung gereja yang ditutup paksa. Kenyataan ini membuat umat Kristen limbung apakah mereka masih merupakan bahagian integral bangsa ini, ataukah dengan sengaja dan sistimatis hendak dikucilkan. Catatan ini penting, sebab justru penutupan-penutupan itu terjadi pasca Perber Mendagri dan Menag No.9 dan 8/2006. Keempat, makin beranekaragamnya pemahaman dan penghayatan tentang hidup bergereja di tengah-tengah umat kita. Ada yang cenderung melihat gereja sebagai identik dengan sebuah LSM yang mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya untuk menolong mereka yang berada dalam kesulitan. Kabar Baik Kerajaan Allah ditafsirkan sangat bersifat horizontal. Dalam kaitan ini saya mencatat yang dikatakan Philip Quarles von Ufford, seorang dosen pada Vrije Universiteit di Amsterdam tentang kehidupan bergereja di Negeri Belanda khususnya ketika ketiga gereja besar (Nederlandse Hervormde Kerk, de Gereformeerde Kerken in Nederland, dan de Lutherische Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) bersatu dalam Protestantse Kerk in Nederland (PKN) sejak 2004 lalu. Menurut von Ufford terdapat kecenderungan kuat untuk makin mengLSMkan gereja-gereja. Agenda gereja makin ditentukan oleh pemerintah (Belanda) sebagaimana tergambar dari dipersatukannya ICCO dan Kerk in Actie. Akibatnya Sinode dan semua badan-badan pembantunya makin teralienasi dari jemaat-jemaat, dan relasi dengan mitra-mitra di Indonesia (misalnya) hanyalah sekadar relasi berdasarkan proposal. Diperkembangkan di dalamnya apa yang ia sebut ideologi manajemen. Hubungan itu makin menjadi lugas (zakelijk) dengan mengabaikan segi-segi emosi yang selama ini telah terjalin selama beberapa generasi. Pada pihak lain, ada pula kecenderungan, yang saya sebut mengkapitalisasikan gereja. Gereja makin lama makin dilihat sebagai komoditas yang bisa dijual dengan kemasan-kemasan indah. Gereja dilihat sebagai tempat berlindung dari “serangan-serangan” luar. Siapa berada di dalamnya akan beroleh keuntungan, bukan saja secara rohani tetapi juga secara jasmani. Kadang-kadang gereja dilihat tidak lebih sebagai usaha Kentucky Fried Chicken yang dapat memberikan kenikmatan-kenikmatan. Kelima, keterlibatan warga gereja dalam apa yang disebut “politik praktis” kadang-kadang juga menyeret gereja sebagai institusi untuk terlibat di dalamnya. Gereja dilihat sebagai wahana yang secara potensial menyediakan konstituen bagi partai-partai politik yang dibentuk. Maraknya partai-partai politik (dengan asas Kristen) yang lumayan banyak dewasa ini membuat warga kita bingung. Ada kecenderungan untuk mengartikan hal keterlibatan dalam politik secara berat sebelah. Gereja tentu saja mempunyai tanggungjawab politik, tetapi itu tidak berarti bahwa gereja secara mudah diidentikkan dengan partai-partai politik.
Kelima alasan ini kelihatannya cukup kuat untuk mendorong kita memberi perhatian serius kepada kehidupan bergereja kita dewasa ini. Sidang Raya XIV PGI (2004) dengan tegas merumuskan bahwa gereja adalah “Gereja Bagi Orang Lain”. Dengan jelas hendak dikatakan di sini bahwa gereja mestinya tidak berorientasi kepada dirinya sendiri, tetapi ke luar, kepada dunia. Dalam derajad tertentu dapat dikatakan bahwa gereja bukanlah tempat “berlindung” (sebab dengan demikian orang Kristen akan dengan gampang masuk ke dalam ghetto), tetapi justru yang persis berada di tengah-tengah berbagai pergolakan dan krisis.
Pikiran Pokok ini dimulai dengan kata “menjadi”. Inilah isyarat bahwa gereja sesungguhnya terus bergerak dalam proses menjadi. Gereja tidak pernah menjadi sesuatu yang mapan (established), yang terpaku pada satu kejadian dan tempat. Gereja adalah laksana peziarah yang selalu siap untuk membongkar (kembali) kemahnya dan terus lagi berjalan. Karl Barth berbicara tentang gereja sebagai peristiwa (Ereignis) , yaitu gereja yang bersifat dinamis, tidak ditawan oleh sikap institusionalistik dan legalistik. Sebaliknya gereja selalu bergerak ke depan.
“Esa” menunjuk kepada komitmen gereja-gereja kita yang sejak semula ditekadkan yaitu mewujudkan GKYE. Komitmen ini tidak pernah berubah. Yang terjadi adalah penekanan-penekanan tertentu dengan memperhatikan hal-hal yang hidup di dalam gereja-gereja kita. Sidang Raya XIV menegaskan bahwa keesaan kita adalah keesaan in action. Artinya kalau setiap gereja anggota PGI menjalankan secara konsisten apa yang dituangkan dalam Dokumen Keesaan Gereja, maka keesaan kita makin lama akan makin nyata. “Utuh” artinya tidak terbagi-bagi. Juga tidak retak. Namun keutuhannya bukanlah keutuhan masip seperti batu di mana tidak terdapat ruang sedikitpun di dalamnya. Keutuhan ini masih memungkinkan setiap yang melekat padanya bernafas dengan bebas, namun kebebasan itu demi menghidupkan semuanya. Dengan kata-kata lain, keutuhannya itu justru adalah yang memberi ruang kepada pihak lain untuk juga bisa bergerak dengan bebas. “Kukuh” mengindikasikan adanya kekuatan. Tetapi kekuatan itu tidak dimaksudkan untuk “menyerang” pihak lain, tetapi sebaliknya menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan demikianlah gereja-gereja dapat menjalankan perannya dalam masyarakat majemuk Indonesia yang dewasa ini sedang berjuang untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Kalau gereja-gereja masih terpecah-belah, maka dunia tidak akan percaya (Yoh. 17: 21). Bahkan bukan tidak mungkin gereja dilecehkan saja oleh dunia. Salah satu pertayaan yang mungkin dapat diajukan dalam kaitan ini adalah, sampai berapa jauhkah kemajemukan masyarakat Indonesia ikut mewarnai bahkan menentukan bagi kemajemukan gereja-gereja? Pertanyaan ini pada gilirannya mempunyai sangkut-paut dengan persoalan relasi kesukuan dan kegerejaan kita.

III. Gereja Menurut Dokumen Keesaan Gereja (DKG)

Di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang diterima oleh Sidang Raya PGI kita menemukan gambaran tentang gereja. Gambaran ini penting dikemukakan di sini sebab inilah kesepakatan gereja-gereja yang dalam banyak hal tidak selalu sama ekklesiologinya. Di dalam “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK) yang merupakan salah satu dokumen penting dari DKG itu dinyatakan hal-hal sebagai berikut: (1) gereja ada sebagai akibat Roh Kudus yang menghimpunnya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala. Roh Kudus yang sama ini pula memberi kuasa kepada gereja untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang zaman; (2) gereja berada dalam dunia sebagai arak-arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Gereja selalu dituntut untuk terbuka kepada dunia, agar dunia terbuka kepada undangan Allah turut serta di dalam arak-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan kerajaan-Nya di dalam Yesus Kristus; (3) gereja ditempatkan Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya. Demikian juga halnya gereja-gereja di Indonesia; (4) gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan bertujuan menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Ada hubungan koordinatif antara gereja dan negara; (5) gereja membutuhkan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus. Maka selalu diharapkan kehadiran dan bimbingan Roh Kudus; (6) Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu Tubuh, satu Roh dalam ikatan damai-sejahtera, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Maka keesaan, dengan demikian didasarkan atas persekutuan kasih, bukan kekuasaan duniawi; (7) persekutuan itu dikuduskan dalam kebenaran. Dengan demikian, gereja itu kudus; (8) persekutuan itu mencakupi semua orang percaya dari segala tempat dan di sepanjang zaman. Maka gereja adalah am; (9) persekutuan ini bertekun dalam dan dibangun di atas pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus. Sebagai demikian, gereja adalah rasuli; (10) oleh karena itu gereja dan orang-orang percaya laki-laki dan perempuan di segala tempat dan di sepanjang zaman terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan dan kerasulannya, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama.
PBIK itu dengan jelas memperlihatkan hakekat gereja (sebagai bukan buatan manusia tetapi oleh Roh Kudus), sifat gereja (sebagai yang terdiri dari segala bangsa, suku, etnis, dan seterusnya), serta bagaimana memahami relasinya dengan dunia (dengan berbagai persoalan sosial-politik, ekonomi, budaya dan sebagainya), yang terus bergerak ke depan (sebagai arak-arakan), dan yang tetap setia kepada panggilannya (yang rasuli).
Selanjutnya di dalam dokumen “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) ditegaskan bahwa yang mengimplementasikan tugas ini adalah gereja-gereja. PTPB itu adalah jabaran dari tugas gereja di bidang koinonia, marturia, dan diakonia. Tiap gereja, demikian dikatakan adalah ungkapan dari gereja yang kudus dan am. Dengan demikian, setiap gereja dipanggil untuk menampakkan keesaan (koinonia), memberitakan Injil (marturia) dan menjalankan pelayanan kasih (diakonia). Dalam Bab III (dari PTPB) ditegaskan perlunya membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja. Diinspirasikan oleh tema Sidang Raya XIV, maka pembaruan itu diyakini akan terjadi apabila telah terjadi pembaruan budi sebagai karya Roh Kudus. Khusus dalam masa bhakti 2004-2009, hal membaharui, membangun dan mempersatukan gereja dilakukan dengan mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana. Dalam Bab IV ditegaskan hal bersaksi dan memberitakan Injil kepada segala makhluk. Bagaimanapun gereja harus memberitakan Injil kepada segala makhluk. Injil itu adalah untuk seluruh dunia. Peran serta gereja yang mengabarkan Injil dalam masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju masyarakat yang berkeadaban (civil society) menuntut gereja memberi perhatian khusus kepada korban-korban ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia serta orang-orang miskin dan tertindas, berhubung inilah masalah-masalah sosial yang peka dan mendesak untuk diatasi. Rumusan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa peran sosial gereja sangat melekat dengan berbagai persoalan-persoalan sosial yang muncul di dalam masyarakat. “Prediksi” SR bahwa kemiskinan akan tetap menjadi persoalan akut kita sebagai bangsa kelihatannya tepat sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Tentu saja ada perbedaan tafsiran mengenai jumlah orang miskin sebagaimana terlihat dalam “debat” antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto (karena keduanya memakai hasil survey yang berbeda). Namun hal itu tidak mengurangi makna, bahwa kemiskinan memang tetap merupakan persoalan besar kita yang memicu berbagai persoalan-persoalan lainnya.
Tentang Injil sebagai Kabar Baik yang disampaikan kepada semua makhluk, PTPB ini menyadari bahwa semua agama mempunyai berita bagi semua orang (par.42). Keberadaan gereja tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain. Maka pemberitaan harus dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai pula dengan keluhuran agama sendiri. Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja (par.52), tetapi bagaimana menjalankan mandat ini di tengah-tengah masyarakat majemuk dibutuhkan pedoman umum. Ini punya kaitan dengan kebebasan beragama. Kebebasan beragama dan kerukunan perlu makin diperkembangkan. Kebebasan beragama jangan dikorbankan demi kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan demi kebebasan beragama.
Demikianlah beberapa cuplikan dari DKG yang mestinya telah dihayati dan dilaksanakan oleh semua gereja-gereja anggota PGI. Tugas gereja dalam dunia yang sedang berubah telah dirumuskan dengan cukup jelas di sana. Barangkali baik apabila kita menilai berbagai persepsi kita mengenai gereja dengan bertolak dari rumusan-rumusan itu.

IV. Gereja Yang Hidup

Tentu kita tidak bermaksud untuk membahas sebuah ekklesiologi lengkap pada kesempatan ini. Bahasan-bahasan lengkap itu telah dilakukan dalam banyak buku-buku teologi. Namun demikian, dalam rangka menyoroti kembali kehidupan bergereja kita, ada baiknya kita menekankan beberapa hal yang, menurut saya penting. Pertama-tama, perlu ditegaskan (lagi) bahwa gereja mestilah merupakan gereja yang hidup. Kehidupannya tidak semata-mata terletak dalam kehebatan kita mengelolanya, tetapi pada karunia Roh Kudus. Ini bukan pandangan baru, namun perlu ditegaskan lagi agar gereja terhindar dari kecenderungan menjadi beku di dalam institusi dan berbagai aturan-aturan yang diciptakannya. Atau menjadi bingung karena adanya “serangan” dari luar. Para reformator menegaskan, gereja reformasi haruslah dibarui terus-menerus (ecclesia reformata semper reformanda est). John Stott, seorang pendeta emeritus dari Gereja Anglikan Inggris mengemukakan empat ciri dari gereja yang hidup itu. Ciri itu dijabarkannya dari Kisah Rasul 2: 42-47,

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Inilah yang disebut Stott visi Allah bagi gereja-Nya. Ciri pertama, gereja adalah gereja yang belajar (a learning church). Jemaat pertama secara teratur bertemu untuk mendengar para rasul-rasul mengajar. Tentu saja Roh Kudus penting sebagai yang menginspirasikan dan menguatkan, namun belajar tetap merupakan ciri penting bagi gereja. Belajar tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah-sekolah teologi, tetapi merupakan kewajiban setiap anggota jemaat. Ciri kedua, gereja adalah gereja yang memelihara (a caring church). Di sini diperlihatkan dengan sungguh-sungguh apa yang dimaksud dengan persekutuan itu. Ciri ketiga adalah gereja yang beribadah (a worshipping church). Hal itu terlihat ketika mereka memecahkan roti dan berdoa bersama. Ciri keempat adalah gereja yang mengabarkan Injil (an evangelizing church). Bagaimanapun gereja tidak dapat mengabaikan tugas pekabaran Injil itu. Namun perlu pula diinterpretasi secara baru bagaimana melakukannya dalam sebuah masyarakat mejemuk seperti Indonesia ini.
Dengan mengemukakan ciri-ciri ini (yang dalam banyak hal sudah kita tahu dan jalankan) kita ingin menghindarkan gereja tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, pada satu pihak, dan pada pihak lain, menciptakan “pulau” tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Gereja tidak boleh beku di dalam lembaga, tetapi juga tidak boleh cair begitu saja tanpa bentuk dan identitas yang jelas.
“Gereja Bagi Orang Lain”, gereja yang terbuka, yang mampu melayani, hanya dapat terjadi apabila ia sendiri kokoh dan kuat di dalamnya oleh persekutuannya yang terus-menerus disuburkan oleh Roh Kudus.
Tantangan-tantangan bagi gereja-gereja adalah apakah persekutuannya yang secara sangat kasat mata terlihat di dalam lingkungan sendiri, juga tercermin dalam persekutuan lintas gereja? Mungkin persekutuan itu ada, tetapi jangan-jangan hanyalah sekadar sebuah persekuatuan formal, bukan karena sehati-sejiwa sebagaimana dikatakan di dalam kitab Kisah Para Rasul. Kalau di dalam diri kita sendiri persekutuan sulit diwujudkan, maka tentu tidak mudah juga menjalin persatuan dengan mereka yang tidak tergabung di dalam gereja kita.
Keprihatinan kita terhadap persoalan kemiskinan, hak-hak asasi manusia, ketidakdilan yang makin merajalela, ketidaktaatan terhadap hukum yang berkeadilan, menjalin relasi dengan umat beragama lain, keterlibatan dalam politik, dan sebagainya hanya dapat dijalankan dengan baik dan penuh optimisme apabila kita benar-benar menjadi gereja yang hidup yang tidak henti-hentinya belajar (learning), memelihara (caring), beribadah (worshipping) dan mengabarkan (evangelizing).


___________________

*) Disampaikan Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol, 26 Februari 2008.
**) Ketua Umum PGI.
↑ atas


Copyright © 2007. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia)

Tiga Model Pelayanan Gereja

SUARA PEMBARUAN DAILY
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/13/Editor/edit01.htm

Agus Wiyanto

Bicara tentang kiprah pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kua- litas kehidupan manusia yang le-bih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transfor-matif.

Pelayanan diakonia sebenarnya tidak hanya dilakukan institusi gereja. Lembaga Swadaya Masyarakata (LSM) sudah amat akrab dengan pemberdayaan masyarakat, tanpa membedakan agama, golongan, suku. Bagi institusi gereja praktik berdiakonia dilakukan sebagai suatu "panggilan iman" untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik, damai sejahtera dapat dialami umat manusia, dibebaskan dari penderitaan, kelaparan dan mereka mendapatkan hak hidup yang layak.

Pelayanan karitatif adalah model tertua dari bentuk pelayanan gereja yang dilakukan, dan sampai saat ini masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam.

Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang. Di masyarakat bentuknya pasar murah, pembagian sembako, pengobatan masal, posko kesehatan di daerah bencana. Tentu saja kalau dipraktikkan, maksudnya bukan untuk menjaring anggota luar masuk menjadi anggota gereja, tapi kita ingin berbagi cinta kasih yang tulus kepada mereka.

Pelayanan Reformatif

Model kedua merupakan pengembangan diakonia karitatif yang dirasakan tidak dapat menjawab persoalan untuk jangka panjang. Setelah banjir berlalu, dan persediaan sembako habis, lalu subyek yang dilayani mau apa? Apakah mereka hanya makan dan cukup gizi pada bulan Desember ketika ada pasar murah untuk mereka?

Pertanyaan ini mengusik perhatian banyak orang dan para tokoh dalam gereja yang berpikir kritis untuk memandirikan subyek yang dilayani dan dapat menghidupi di- rinya sendiri. Seiring keprihatinan tersebut, munculnya suatu konsep "ideologi pembangunan" yang dipromosikan negara maju, terutama oleh Amerika pada pertengahan tahun 1960.

Model diakonia ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan kharitas- amal kasih semata-mata. Pendekatan yang dilakukan memakai pola Community Development (CD) dengan pengembangan masyarakat seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan.

Perlu dicatat, Konferensi Gereja dan Masyarakat di Jenewa tahun 1966 dan Sidang Raya Dewan Gereja sedunia IV di Upsala-Swedia tahun 1968 telah meletakkan dasar pijakan teologis tentang partisipasi gereja dalam pembangunan dan masalah sosial masyarakat.

Akibatnya, muncul kesadaran gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan persoalan kemasyarakatan lainnya. Gereja tidak lagi mau menjadi menara gading untuk dirinya sendiri. Ada masalah-masalah sosial yang muncul dipermukaan, yang harus diatasi seperti terjadinya diskriminasi, ketidakadilan internasional, dan tugas-tugas politik gereja membangun kesejahteraan umat manusia.

Maka diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk Gereja-gereja di Indonesia melalui DGI dengan didirikannya Yayasan Darma Cipta (development centre) pada Sidang Raya DGI pada Tahun 1971 di Pematang Siantar. Tentu saja pelayanan reformatif ini membantu masyarakat dalam menaikkan pendapatan termasuk pendapatan perkapita.

Pemerintah di seluruh dunia, terutama di dunia ketiga mulai mengintrodusir program pembangunan yang berorientasi pada model barat yaitu pertumbuhan ekonomi dengan bertumpu pada pembangunan teknologi tinggi. Pembangunan industri dengan teknologi canggih, penggunaan pestisida dalam pertanian, penyediaan bibit hibrida dan menciptakan pasar yang berorientasi ekspor.

Akibatnya dari ideologi ini banyak kota-kota modern dan pabrik megah yang dibangun. Tapi hasil panen yang menumpuk tetapi tidak dimiliki atau dinikmati oleh masyarakat luas. petani malah terjebak dalam kemiskinan.

Bahkan kenyataannya di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang.

Pelayanan transformatif muncul sebagai alternatif ke tiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.

Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); Juga tidak cukup, kalau kita memberinya pancing atau pacul untuk mencangkul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dimiliki kaum pemilik modal yang mempunyai kapital?

Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri.

Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan Nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia.

Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal. Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis.

Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan insti- tusi sosial yang ada, dan melaku-kan monitoring dan evaluasi partisipatif.

Pelayanan transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.

Penulis adalah Rohaniwan


Last modified: 13/1/07

Gereja (Ekklesiologi)

http://bkputrawan.blogspot.com/2007/12/gereja-ekklesiologi.html

GEREJA (EKKLESIOLOGI)

Pengajaran tentang Gereja (Ekklesiologi) merupakan hal penting dalam melandasi pelayanan berjemaat. Siapaun umat Kristen yang tidak memahami tentang pengajaran tentang gereja, maka bagaimana ia dapat melayani dan mengajar dengan benar. Dalam tulisan ini, penulis memaparkan wacana pemahaman tentang doktrin Gereja menurut perspektif Donald Guthrie, yang ditulisnya dalam buku Teologi Perjanjian Baru.'

1. Kitab-kitab Injil Sinoptik.


Penyelidikaii sepintas terhadap kitab-kitab Injil ini akan membawa penyelidik pada kesimpulan bahwa Yesus tidak tertarik terhadap Jemaat. Memang, jika kita hanya meniperhatikan penggunaan kata ekklesia (Jemaat) saja, maka kita akan terkejut karena istilah ini jarang terdapat dan bahkan hanya muncul dalam satu kitab Injil saja (Mat 16:18 dst.; 18:17-18). Meskipun demikian, untuk memperlihatkan baliwa pandangan Yesus tentang Jemaat tidak semata-mata tergantung pada kedua ucapan dalam Injil Matius tersebut, pertama-tama kita akan memikirkan bukti mengenai gagasan adanya suatu Jemaat Kristen, dan kemudian kita akan menyelidiki secara teliti arti yang khusus dari Matius 16:18. Sebagai langkah awal dalam penyelidikan, kita akan membahas hubungan antara Kerajaan Allah dengan Jemaat.
Guthrie mengatakan, menurut pengajaran Yesus, Kerajaan Allah bersifat "masa sekarang" dan juga "masa yang akan datang". Hubungan antara Jemaat dengan Kerajaan Allah, Pertama-tama kita harus memperhatikan bahwa tidak semua pernyataan mengenai Kerajaan Allah dapat ditujukan pada Jemaat. Kerajaan Allah berpusat pada Kristus dan bukan pada niurid-murid. Jemaat memperoleh dasarnya dalam Kerajaan Allah. Karena itu keadaan Kerajaan Allah yang sekarang tidak dapat disamakan dengan Jemaat yang murni, tetapi jelas bahwa jemaat murni itu berasal dari Kerajaan Allah. Paling baik bila menganggap bahwa semua yang tennasuk dalam Kerajaan Allah tennasuk dalam Jemaat yang sempurna, tetapi bahwa semua yang termasuk dalam Jemaat yang kelihatan belum tentu termasuk dalam Kerajaan Allah.
Jemaat merupakan perwujudan yang tidak lengkap dari Kerajaan Allah, Kita harus menyimpulkan bahwa Kerajaan Allah tidak ditetapkan secara penuh dalam pelayanan Yesus di dunia, atau pun secara penuh akan ditetapkan nanti pada akhir zaman. Jemaat masa kini mempunyai tugas untuk membenkan kesaksian mengenai Kerajaan Allah, tetapi perwujudannya yang sepenuhnya tidak akan terjadi pada zaman ini. Pengaruh teori-teori yang bersifat eskatologis;
(1) Pandangan bahwa Kerajaan Allah merupakan pemerintahan Allah yang diwujudkan dalam kehidupan pribadi; pandangan ini mengesampingkan semua gagasan tentang jemaat dari pengajaran Yesus.
(2) Pandangan baliwa Kerajaan Allah dimaksudkan untuk memulai tata kemasyarakatan yang baru dan Jemaat akan melebur ke dalam masyarakat secara terpadu, dengan berftingsi sebagai katalisator untuk pembaruan masyarakat itu.
(3) Pandangan bahwa Kerajaan Allah bersifat "akan" saja dan sepenuhnya merupakan pekerjaan Allah, karena itu Kerajaan dan Jemaat tidak berhubungan dan Kerajaan hadir hanya dalam pikiran Yesus.
(4) Pandangan bahwa Kerajaan Allah adalah urusan masa yang akan datang saja dan tidak hadir dalam pengalaman Yesus; dengan demikian jemaat tidak memiliki dasar dalam pemikiran maupun pengajaran Yesus.
(5) Pandangan bahwa Kerajaan Allah betul-betul termasuk perkara-perkara masa yang akan datang, tetapi telah meluap ke dalam masa sekarang dalam bentuk Jemaat Kristen.
(6) Pandangan bahwa Kerajaan Allah sudah terwujud pada masa sekarang (atau sedang dalam proses untuk perwujudan), yang sebenamya menyamakan Kerajaan Allah dengan Jemaat, tetapi mengesampingkan atau menghilangkan segi-segi keakanannya.
(7) Pandangan bahwa Kerajaan Kristus, yang ada sekarang ini berbeda dengan Kerajaan Allah, yang berhubungan dengan masa yang akan datang.
Pengertian yang benar dari pengajaran Yesus mengenai Kerajaan Allah tidaklah menghilangkan kemungkinan bahwa la memikirkan adanya sebuah perhimpunan yang terdiri dari pengikut-pengikut-Nya yang akan hidup selama masa antara kebangkitan-Nya dan kedatangan-Nya yang kedua kali.

Gagasan mengenai jemaat dalam pengajaran Yesus.
Oleh karena misi Yesus diperhadapkan dengan latar belakang pemikiran PL, maka terdapat beberapa pertimbangan penting yang timbul dari adanya kesinambungan antara nusi itu dan hubungan Allah dengan umat-Nya, Israel. Jemaat Kristen sebagai umat Israel yang sejati, murid-murid sebagai inti jemaat yang baru, tuntutan etis terhadap murid-mund mengisyaratkan suatu Jemaat.

Ucapan-ucapan ekklesia dalam Injil Matius.
Karena hanya ada dua pemyataan dalam seluruh kitab Injil yang menggunakan kata ekklesia dan keduanya terdapat dalam Injil Matius (Mat 16:18; 18:17). Mengingat penggunaan yang tuas dari kata itii dalam LXX untuk Jemaat Israel, haruslah diperhatikan bahwa ekklesia menerjemahkan kata Ibrani qahal, bukan eda. Kedua kata ini digunakan untuk "perhimpunan umat Allah". Jika kata yang Yesus pakai mempunyai arti dari gahai dalam LXX, maka ekklesia berarti umat Allah dengan pengertian suatu himpunan yang baru yang secara khusus memiliki hubungan dengan Mesias (karena itu Yesus berkata "JemaatKu").
Pendapat lain tnengatakan bahwa ekklesia menerjemahkan kata Aram kenisyta, dan bahwa Yesus mengarah pada suatu rumah sembahyang (sinagoge) Karena itu, kits menarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus dengan ekklesia bukanlah suatu organisasi, tetapi sekelompok orang yang dianggap-Nya sebagai milik-Nya dan yang diwakili oleh murid-murid-Nya. Ini merupakan suatu gagasan yang lebih longgar daripada perkembangan yang muncul kemudian dalam sejarah Kristen mula-mula. Tidak ada alasan untuk menduga bahwa ekklesia yang dimaksudkan Yesus tidak membentuk inti dari Jemaat yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul dan dalam surat-surat PB. Haruslah diperhatikan lebih lanjut bahwa kata ekklesia dapat berani suatu kelompok orang-orang tertentu, selain seluruh umat Allah secara umum. Dengan demikian istilah itu akan mudah dikenal sebagai istilah yang sesuai untuk perhimpunan mula-mula dalam Kisah Para Rasul yang menjadi dasar dari jemaat PB.

Sakramen Baptisan.
Pada masa Yesus hidup di dunia, terdapat tiga segi baptisan yang perlu diperhatikan: baptisan yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis dan hubungannya dengan Yesus sendiri; baptisan yang dilakukan oleh Yesus sendiri melalui murid-murid-Nya; dan perintah Yesus kepada muridmurid-Nya untuk membaptiskan. Kita akan memeriksa segj-segi ini secara terpisah untuk memperoleh suatu gambaran yang benar mengenai pentingnya upacara ini dalam pemikiran Yesus.


Sakramen Perjamuan Kudus.
Tidak satu pun dari kitab-kitab Injil Sinoptik menjelaskan bahwa Tuhan Yesus memberikan perintah khusus tentang pengulangan upacara perjamuan pada masa depan. Hanya dalam catatan Paulus mengenai sakramen ini ditulis, "Perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku" (1 Kor 11:25). Agaknya setelah Pentakosta murid-murid mengakui kepentingan teologis dari kata-kata penetapan itu dan bukan hanya mencatat kata-kata yang sudah dipakai Tuhan Yesus, tetapi juga mengulangi perjamuan karena kata-kata itu tclah diucapkan dengan bobot dan kekuasaan yang khusus. Ada satu pertimbangan lain yang tidak boleh diabaikan. Menurut Lukas 24:30, Kristus yang bangkit memecahmecahkan roti, lalu mengucap berkat dan memberikannya kepada kedua orang yang telah berjalan bersama deiigan-Nya menuju ke Emaus. Peristiwa ini mungkin sekali mendorong murid-murid untuk terus mengulangi perbuatan itu. Tentu saja tidak pasti bahwa perbuatan Kristus yang bangkit ini dapat dihubungkan dengan Perjamuan Kudus. Tetapi mengingat penggunaan istilah "memecah¬mecahkan roti" dalam Kisah Para Rasul 2:42,46; 20:7, ada kemungkinan besar bahwa Perjamuan Kudus sekurang-kurangnya sedang dipikirkan, khususnya karena di Emaus hal pemecahan roti itu dimengerti dalam suasana persekutuan dengan Yesus dan kesadaran akan kehadiran-Nya.

2. Injil Yohanes.
Gagasan tentang perhimpunan ini didukung lebih lanjut oleh dua kiasan yang terdapat dalam Injil Yohanes. Kiasan tentang gembala dalam Yohanes 10 didasarkan alas penggambaran umat Allah, Israel, yang terkenal dalam PL (bnd. Yer 23:1; Yen 34:11; Yes 40:11; Man 23). Kiasan tentang pokok anggur secara lebih jelas lagi memberi kesan tentang sifat Jemaat yang akan datang sebrfgai satu lembaga.

3. Surat-surat Yohanes.
Dalam Surai I Yohanes Jemaat hampir tidak disebut dari sudut pandang ciri-cirinya maupun pemerintahannya. Kelihatannya surat ini ditujukan kepada pribadi-pribadi Kristen yang kemungkinan tertarik, dan bukan ditujukan, pada suatu Jemaat Kristen. Walaupun surat ini tidak dialamatkan secara khusus serta tidak menyebutkan nama atau jabatan tertentu, namun dengan jelas penulis memikirkan sekelompok orang yang mungkin dipengaruni oleh dosetisme. Tentu saja dapat dikatakan bahwa Surat I Yohanes membangkitkan semangat perhimpunan. Para pembaca sering didorong untuk saling mengasihi dan berulang-ulang dinasihatkan untuk tinggal di dalam Kristus; kedua terra ini menyumbangkan rasa kesatuan yang erat dan teguh. Hal ini didukung oleh penggunaan istilah "saudara-saudara" yang serirjg dipakai dalam surat ini.
Apabila Surat II Yohanes ditujukan pada scbuah Jemaat, maka surat ini mungkin memberikan beberapa petunjuk mengenai sikap yang harus diambil oleh Jemaat-jemaat Kristen terhadap orang-orang yang diketahui telah mengajarkan ajaran yang menyesatkan. Dalam Surat III Yohanes kita dihadapkan dengan apa yang kelihatannya merupakan suatu perselisihan pribadi di dalam Jemaat atau antara dua Jemaat.

4. Kisah Para Rasul
Kitab Kisah Para Rasul merupakan pcnghubung yang penting antara kitab-kitab Injil dan surat-surat rasuli bila kita membahas ajaran tentang Jemaat dalam PB. Dalam surat-surat itu terdapat bermacam-macam contoh mengenai cara orang-orang Kristen mula-mula menafsirkan Jemaat yang telah mulai ada, terutama dengan menggunakan kiasan-kiasan yang memberikan kesan tertentu. Dalam menyelidiki bukti dalam Kisah Para Rasul kita akan mempertimbangkan tiga segi berikut ini: timbulnya. Jemaat, misi Jemaat, dan kepemimpinan Jemaat. Dalam tahap-tahap awal ini kita hanya akan menemukan beberapa kecenderungan, yang dijelaskan khususnya dalam surat-surat Paulus.

JEMAAT YANG BERKEMBANG : PAULUS.
Guthrie mengatakan, karena itu jelaslah bahwa kata "jemaat" digunakan dalam pengertian sekelompok orang-orang percaya dalam suatu daerah setempat. Suatu bentuk organisasi tidak disebut. Ternyata, hanya dalam Filipi 1:1 disebutkan pejabat-pejabat gerejawi, dan mereka pun hanya disebutkan setelah menyebutkan "orang-orang kudus". Pengertian kedua yang dimaksudkan Paulus ialah Jemaat yang bersifat universal. Pengertian ini dinyatakan secara tidak langsung dalam beberapa kiasan yang dipakainya, tetapi baru menjadi jelas dalam surat Efesus dan Kolose, yang menguraikan kedudukan Kristus sebagai Kepala Jemaat (Ef 1:22; Kol 1:18). Dalam surat-surat Paulus terdapat petunjuk-petunjuk tertentu mengenai ciri dari perhimpunan-perhimpunan lokal tersebut. Istilah en ekklesia (dalam atau sebagai Jemaat) digunakan beberapa kali dalam Surat I Korintus (1 Kor 11:18; 14:19,28,35) dengan arti suatu perhim punan orang-orang percaya, Sifat ini didukung dengan kuat oleh kiasan kiasan yang dipakai Paulus, misalnya Jemaat sebagai satu tuhuh, pengantin perempuan, bangunan, umat Allah yang sejati. Sakramen yang Paulus bahas antara lain: Ibadah yang berupa nyanyian pujian, pelayanan firman, pengakuan iman dan Doa; Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus; Paulus juga membahas; Pemimpin-pemimpin Jemaat juga peranan perempuan dalam Jemaat.

JEMAAT YANG BERKEMBANG II BAGIAN-BAGIAN LAIN DARI PERJANJIAN BARU

1. Surat Ibrani

Dalam Surat Ibrani, Jemaat Kristen hampir seluruhnya dipandang sebagai umat Allah yang sedang mengembara. Dalam Ibrani 3:6 penulis mengidentifikasikan para pembacanya sebagai rumah Allah.1 Karena itu temanya ini diterapkan kepada sekelompok orang, bukan kepada perseorangan.

2. Surat Yakobus

Surat ini dialamatkan "kepada kedua belas suku di peranta (Yak 1:1), hal ini langsung memperlihatkan ciri Yahudi dalam pandangan pengarang tentang Jemaat. Sebutan kedua belas suku itu memberi kesan bahwa yang dimaksudkan ialah orang-orang Kristen Yahudi. Dalam hal itu, istilah "perantauan" (diaspora) yang digunakan di agaknya dipahami dalam pengertian yang sama dengan perant orang-orang Yahudi, yaitu suatu istilah yang mengarah pada orangYahudi yang tinggal di daerah orang-orang bukan Yahudi. Dalam surat ini terdapat dua gagasan tentang Jemaat. Istilah "kumpulan" (sunagoge) disebutkan dalam Yakobus 2:2, dan para penatua "jemaat" (ekklesia) disebutkan dalam Yakobus 5:14. Adanya gabungan kala Yahudi untuk "kumpulan" dengan istilah yang nanti digunakan untuk perhimpunan orang Yahudi maupun bukan Yahudi, menunjukkan bahwa surat Yakobus barasal dari tingkat perkembangan gereja yang paling awal.

3. Surat-surat Petrus
Karena kata "jemaat" tidak terdapat dalam kedua Surat Petnis, pembahasan kita terbatas pada beberapa keterangan saja. Surat I Petrus ini ditujukan kepada "orang-orang pendatang", hal ini langsung me berikan petunjuk bahwa orang-orang Kristen dianggap sebagai sekelompok orang yang tidak mempunyai tempat berlabuh yang tetap dal dunia ini. Kiasan tentang bangunan juga terdapat dalam I Petrus 2:4-8, d' dikatakan bahwa orang-orang percaya seumpama batu-batu hidup dipergunakan untuk pembangunan suatu rumah rohani.
Gagasan lain yang menonjol ialah gagasan umat Allah. Mereka yang dahulu "bukan umat Allah" sekarang telah menjadi umat Allah (I Ptr 2:10). Dari gambaran-gambaran yang dikemukakan di atas diperoleh pengertian Jemaat Kristen sebagai umat Israel yang rohani.

4. Kitab Wahyu
Kitab Wahyu ditujukan kepada sekelompok Jemaat di Asia. Walaupun pesan yang ditujukan kepada Jemaat-jem itu disampaikan secara terpisah-pisah dalam Wahyu 2 dan 3, Jemaat-jemaat tersebut dianggap sebagai satu tubuh. Tangan kanan Kristus yang dimuliakan memegang bintang-bintang yang melamban Jemaat-jemaat itu (Why 1:16). Dikatakan juga bahwa Kristus berada di tengah-tengah tujuh kaki dian yang merupakan lambang lain untuk kelompok jemaat-jemaat tersebut, walaupun keadaan masing-masing Jemaat itu berbeda-beda, namun mereka dipersatukan menjadi tubuh Ktristus oleh beberapa hal. Kiasan lain yang digunakan - untuk Jemaat ialah "pengantin perempuan". Kiasan ini pertama-tama terdapat dalam Wahyu 19:7-8, dihubungkan dengan • perjamuan kawin Anak Domba.

Doktrin Gereja

http://dennytan.blogspot.com/2007/03/doktrin-gerejaekklesiologi-denny-teguh.html

DOKTRIN GEREJA/EKKLESIOLOGI (Denny Teguh Sutandio)


Sekarang, kita beralih untuk mengerti makna gereja sejati. Di dalam poin ini, kita akan mengerti definisi gereja, pembedaan gereja, tugas gereja, jabatan (dan pemerintahan) gereja, panggilan gereja yang sejati.

7.1 Definisi dan Hakekat Gereja
Apakah gereja itu ? Banyak orang mengatakan bahwa gereja itu bangunannya yang megah, besar, di atasnya ada tanda salib. Itukah gereja ? Tidak. Saya akan membagi 3 macam definisi gereja, yaitu :
Pertama, gereja adalah tubuh Kristus. Gereja disebut gereja karena gereja adalah tubuh Kristus di mana di dalam tubuh Kristus terdapat beragam anggota yang bersatu padu mengerjakan tugas dan panggilan yang Kristus percayakan. Meskipun masing-masing anggota mendapatkan karunia berbeda-beda dalam mengerjakan panggilan Kristus, mereka harus bersatu di dalam pengajaran para rasul dan para nabi (yaitu Alkitab). Efesus 2:20 memberikan pengajaran kepada kita bahwa dasar gereja sebagai tubuh Kristus yaitu pembangunan doktrin yang diturunkan dari para rasul dan nabi (apostolic faith/iman rasuli). Pdt. Dr. Stephen Tong memaparkan prinsip penting yaitu banyak gereja Karismatik/Pentakosta mengerti apostolic faith sebagai 4 tindakan, yaitu menyembuhkan penyakit, mengusir setan, baptisan Roh Kudus dan berbahasa lidah, padahal itu bukan iman rasuli, tetapi tindakan rasuli. Beliau membedakan antara apostolic faith (iman rasuli) dengan apostolic phenomenon (fenomena rasuli). Apostolic faith adalah iman yang diajarkan oleh para rasul di sepanjang Alkitab dan apostolic phenomenon bisa terjadi, tetapi itu tidak perlu karena sepanjang Alkitab khususnya setelah kitab Kisah Para Rasul, tanda-tanda supranatural tidak lagi dibicarakan. Hal ini telah dijelaskan pada poin Doktrin Roh Kudus di atas. Selain bersatu di dalam pengajaran Alkitab, gereja sebagai tubuh Kristus juga harus bersatu di dalam melayani Tuhan, seperti yang Paulus nyatakan di dalam 1 Korintus 12:20, “Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh.” Kata “tubuh” di dalam bahasa Yunani mewakili tubuh secara keseluruhan. Berarti ada unsur persekutuan di dalamnya. Hal ini akan dijelaskan pada definisi gereja ketiga.

Kedua, gereja adalah bait Roh Kudus. Sebagai bait Roh Kudus, gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus. Hal ini jangan disalahmengerti. Gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus tidak berarti gereja itu memutlakkannya seperti yang terjadi pada banyak gereja Karismatik/Pentakosta. Gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus adalah gereja yang masing-masing anggotanya melayani Tuhan sesuai dengan karunia-karunia Roh Kudus yang dipercayakan kepada mereka. Daftar karunia-karunia Roh Kudus dapat dilihat di dalam 1 Korintus 12:8-11 dan telah dijelaskan pada poin Doktrin Roh Kudus.

Ketiga, gereja adalah persekutuan orang-orang percaya. Definisi terakhir, gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju ke terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9). Itulah yang dimaksud gereja yang dalam bahasa Yunani : ekklesia. Kata ekklesia dibagi menjadi dua, yaitu kata ek yang artinya keluar dan kaleo berarti dipanggil, sehingga ekklesia berarti dipanggil keluar. Oleh karena dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib, maka gereja tidak berisi orang-orang suci 100% (hanya kurang 2 sayap). Gereja sejati adalah gereja yang berisi persekutuan orang-orang pilihan Allah yang berdosa tetapi sudah mendapatkan panggilan Allah sehingga mereka dapat melihat terang Allah yang ajaib dan memberitakan terang-Nya kepada orang lain. Dengan kata lain, di dalam gereja sejati, ada persekutuan (fellowship). Persekutuan ini meliputi ada saling keterikatan hubungan satu sama lain. Misalnya, sesama jemaat dapat menguatkan iman, menegur, menasehati, mengajar atau bahkan menghibur mereka yang bersedih. Gereja yang tidak menjalankan persekutuan adalah gereja yang patut diwaspadai.


7.2 Pembagian Gereja
Setelah mengerti definisi gereja, marilah kita mengerti pembagian gereja di dalam theologia Reformed. Di dalam theologia Reformed, gereja dibagi menjadi dua yaitu gereja yang kelihatan (visible church) yang meliputi gereja yang dapat dilihat dengan mata yang meliputi bangunan, organisasi, dll (seperti : GRII, GKT, GKA, GKI, GBI, GKJW, dll) dan gereja yang tidak kelihatan (invisible church) yang meliputi seluruh gereja Tuhan dari segala tempat, waktu dan masa yang tidak dapat dilihat oleh mata dan disebut satu per satu. Di dalam pengakuan iman rasuli (Apostles’ Creed), gereja yang tidak kelihatan ini disebut gereja yang kudus dan am. Pdt. Dr. Stephen Tong menguraikan hal ini menjadi dua prinsip, yaitu : gereja yang kudus itu berarti gereja ini secara status kudus (dikuduskan) dan gereja yang am berarti secara ruang lingkupnya menyeluruh (universal). Gereja yang kelihatan adalah gereja yang berwadah organisasi, tetapi gereja yang tidak kelihatan adalah gereja yang tidak berorganisasi tetapi organis (bersifat hidup). Gereja yang kelihatan harus memenuhi syarat gereja yang tidak kelihatan yaitu meliputi pengajaran iman dari zaman ke zaman, bersifat universal dan kudus, sedangkan gereja yang tidak kelihatan belum tentu termasuk gereja yang kelihatan, mungkin karena alasan di suatu negara gereja yang tidak kelihatan itu tidak diizinkan membangun gedung gereja. Meskipun gereja yang tidak kelihatan tidak diizinkan membangun gedung gereja, gereja tersebut tetap disebut gereja, karena inti gereja bukan bangunan, gedung, organisasi, tiang pancang, dll, tetapi orang-orangnya/persekutuan orang-orang percaya. Gedung gereja boleh dihancurkan, tetapi persekutuan orang-orang percaya tak mungkin bisa dihancurkan.


7.3 Tugas Gereja
Lalu, apa tugas gereja ? Ada tiga tugas gereja yang harus dimengerti, yaitu
Pertama, marturia (=bersaksi). Gereja yang sehat harus bersaksi. Saya membagikan dua macam bersaksi, yaitu, pertama, bersaksi secara internal. Artinya di dalam gereja yang sehat, ada suatu pengajaran yang menyaksikan inti berita Alkitab kepada jemaat dan sesamanya. Ini yang Pdt. Dr. Stephen Tong sebut sebagai “berakar ke bawah”. Mengapa harus berakar ke bawah ? Karena gereja yang tidak berakar ke bawah akan hanyut diterpa badai dengan mudahnya, tetapi gereja yang berakar ke bawah akan tetap kokoh dan teguh ketika badai menghantam bahkan gereja tersebut mampu menantang badai tersebut. Untuk hal ini, Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan seorang hamba Tuhan lain bahwa ikan yang terus ikut arus adalah ikan yang mati. Demikian juga, gereja yang tidak berakar ke bawah adalah gereja yang mati yang selalu ikut arus filsafat dunia. Bersaksi macam kedua adalah bersaksi eksternal. Gereja yang sehat bukan hanya menekankan doktrin, tetapi juga harurs menekankan aspek penginjilan yaitu menyaksikan Injil Kristus kepada orang-orang lain khususnya yang belum menerima Kristus (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai “berbuah ke atas”). Penginjilan yang sehat harus bersumber dan berdasar pada doktrin yang sehat. Jangan menginjili tanpa memiliki akar dan kerangka doktrin Kristen yang solid, seperti kalau kita ingin berperang melawan musuh, kita harus mempersiapkan rancangan dan peralatannya.

Kedua, koinonia (=bersekutu). Gereja jika hanya menekankan kesaksian internal dan eksternal belum memenuhi kriteria gereja sehat. Gereja sehat juga adalah gereja yang bersekutu. Gereja yang bersekutu adalah gereja yang saling mengenal masing-masing jemaat dan sesamanya. Ketika ada salah seorang anggota gereja yang sakit, jemaat gereja lain harus mengetahui, menjenguk dan menguatkannya. Tetapi sebaliknya, gereja yang hanya gemar bersekutu, tetapi tidak menekankan doktrin, juga belum termasuk gereja yang sehat. Kedua-duanya harus seimbang.

Ketiga, diakonia (=melayani). Gereja harus melayani dan mengajarkan konsep menjadi hamba. Ketika orang dunia sedang menekankan konsep superioritas manusia dan konsep “bos”, maka sudah seharusnya gereja harus menekankan konsep menjadi hamba/budak Allah. Bos-bos yang sehari-harinya memimpin perusahaan ketika datang ke gereja, harus tetap diperlakukan sebagai jemaat gereja biasa dan kalau perlu mereka harus diajarkan bahwa mereka tetap sebagai hamba/budak di hadapan Tuhan. Gereja yang terlalu memanjakan orang-orang kaya (seperti yang dilakukan pada mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta) harus segera bertobat, karena gereja bukan didirikan oleh orang-orang kaya, tetapi didirikan oleh Kristus, Kepala Gereja. Menjadi hamba di dalam gereja berarti harus melayani dengan rendah hati, bukan minta dilayani atau bahkan memerintah orang lain.


7.4 Pemerintahan dan Jabatan Gerejawi
Setelah kita mengerti tri tugas gereja, marilah kita mengerti tentang jabatan (dan pemerintahan gereja). Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam buku Teologi Sistematika : Doktrin Gereja membagi 7 macam pemerintahan gereja, yaitu (6 yang salah, dan terakhir yang benar) :
Pertama, pandangan kelompok Quaker dan Darbyte yang menolak semua pemerintahan gereja. Bagi mereka (ada miripnya dengan banyak kelompok Karismatik/Pentakosta), pemerintahan gereja dapat mengakibatkan kemerosotan, “mengurangi/membatasi karya ‘roh kudus’”. Meninggikan elemen manusiawi, bahkan pemerintahan gereja dianggap berdosa. Yang lebih parah lagi, Berkhof mengungkapkan, “... menurut mereka, jabatan-jabatan dalam Gereja tidak perlu, dan dalam ibadah umum mereka hanya mengikuti dorongan Roh Kudus begitu saja.” (Berkhof, 1997, p. 53) Dr. Berkhof dalam bukunya kembali menyoroti kelompok ini memiliki kecenderungan mistisisme di dalam ajarannya karena terlalu menekankan aspek “Roh Kudus”. Ternyata, Berkhof mengungkapkan fakta bahwa kelompok ini merupakan reaksi dari kelompok Established Church di Inggris yang terlalu menekankan hirarkis dan formalisme.

Kedua, sistem Erastian yang diberi nama sesuai dengan Erastus (1524-1583) yang menganggap Gereja sebagai masyarakat yang memiliki eksistensi dan bentuknya berdasarkan peraturan negara. Bagi mereka, para pejabat Gereja hanya bertugas memberitakan Firman Tuhan, sedangkan yang mengurusi masalah disiplin gereja, pengaturan, dll adalah tugas negara. Sistem ini dipakai di Inggris, Skotlandia dan Jerman (Gereja Lutheran). Bagi Berkhof, prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip Alkitab bahwa pertama, Kristus adalah Kepala Gereja dan kedua, gereja dan negara adalah dua hal yang berbeda dalam : asal usulnya, tujuan utama, kekuasaan yang mereka laksanakan dan pengaturan kekuasaannya. (Berkhof, 1997, p. 54)

Ketiga, sistem Episkopal yang berpendapat bahwa Kristus sebagai Kepala Gereja telah mempercayakan pemerintahan Gereja secara langsung dan eksklusif kepada suatu ordo pejabat gereja atau uskup (sebagai penerus para rasul) dan Kristus, menurut mereka, telah memberikan kepada para pejabat gereja tersebut suatu urutan/ordo yang terpisah bebas dan dapat menentukan diri sendiri. Dengan kata lain, di dalam sistem ini, bagi Berkhof, komunitas orang-orang percaya tidak memiliki bagian sama sekali dalam pemerintahan Gereja. Sistem ini pada abad-abad permulaan dipakai oleh gereja Roma Katolik dan di Inggris sistem ini digabungkan dengan sistem Erastian. Dr. Berkhof menyatakan bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan adanya satu kelas orang-orang tertentu sebagai pejabat gereja yang superior. Sebaliknya, Gereja sejati memiliki tiga jabatan yang masih berlaku, yaitu penginjil, gembala dan pengajar (Efesus 4:11), sedangkan rasul dan nabi sudah tidak ada lagi secara jabatan, karena Alkitab sudah selesai ditulis !

Keempat, sistem Roma Katolik atau identik dengan sistem Episkopal yang percaya bahwa mereka adalah penerus para rasul (khususnya Petrus yang mereka anggap lebih utama dari para rasul lainnya), sehingga tidak heran, mereka mempercayai sistem monarki absolut di bawah pemerintahan Paus karena Paus yang tidak bersalah (infallibility of the Pope) adalah wakil Kristus. Di bawah Paus, ada ordo-ordo/kelas-kelas yang lebih rendah untuk memerintah Gereja secara ketat (seperti Kardinal, Pastur, dll). Di dalam sistem ini, jemaat sama sekali tidak memiliki suara dalam pemerintahan Gereja dan lebih celaka lagi, apa yang Paus katakan adalah apa yang “Allah” katakan jadi harus ditaati oleh semua jemaat. Dr. Berkhof mengajarkan bahwa sistem ini bertentangan dengan Alkitab, karena Alkitab sama sekali tidak menyebut Petrus sebagai rasul paling utama di antara rasul-rasul lainnya.

Kelima, sistem Kongregasional atau sistem independen yang mengajarkan bahwa gereja atau jemaat adalah gereja yang lengkap, berdiri sendiri atau tidak bergantung pada gereja lain. Sehingga tidak heran, kuasa pimpinan sepenuhnya diserahkan pada anggota gereja yang diperkenankan mengatur segala urusan mereka sendiri. Di dalam sistem ini, para pejabatan gereja hanya sekedar pejabat fungsional dari gereja lokal yang dipilih untuk mengajar dan melaksanakan segala urusan gerejani. Bagi Dr. Berkhof, sistem ini sangat kacau karena Alkitab tidak mengajarkan bahwa gereja tidak perlu bergantung pada gereja lain dan juga sistem ini tidak menghasilkan keputusan apapun. Sebagai tambahan, saya juga menyoroti bahwa kelemahan sistem ini adalah jemaat yang tidak tentu semuanya berpendidikan akan mengakibatkan gereja dengan sistem pemerintahan ini (yaitu banyak gereja Karismatik/Pentakosta) menjadi kacau apalagi kacau di dalam hal doktrin.

Keenam, sistem Gereja Nasional (National-Church) yang disebut juga sistem Kolegial (menggantikan sistem Teritorial yang mengajarkan bahwa hak negara adalah untuk memperbaharui ibadah umum, menyelesaikan sengketa mengenai doktrin dan tingkah laku, dan menentukan sinode) yang dikembangkan di Jerman terutama oleh C. M. Pfaff (1686-1780) dan kemudian diperkenalkan di Belanda yang mengajarkan bahwa Gereja adalah perkumpulan suka rela yang setara dengan negara. Di dalam sistem ini, jemaat-jemaat hanya sub-divisi dari satu gereja nasional dan kekuatan yang sesungguhnya berada pada suatu organisasi nasional yang memiliki kekuatan hukum atas gereja lokal. Bagi Dr. Berkhof, sistem ini mirip dengan sistem Erastian, persis seperti apa yang sekarang ini disebut sebagai negara totaliter.

Ketujuh (terakhir), sistem Reformed/Presbyterian yang dipegang oleh gereja-gereja yang bertheologia Reformed. Berikut penuturan Prof. Dr. Louis Berkhof tentang prinsip-prinsip sistem pemerintahan Presbyterial ini di dalam bukunya tersebut,
Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh pertimbangan kebijaksanaan manusia...
Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :
1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas
...Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja...
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adala hTuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi jjuga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Mat 28:18 ; Ef 1:20-22 ; Flp 2:10,11 ; Why 17:14 ; 19:16. Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana Gereja adalah tubuh-Nya...Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai Legislator dan Raja. Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama, walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak nampak yang membentuk tubuh-Nya secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang nampak bukan hanya dalam pengertian organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan memerintah atasnya, Mat 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yoh 13:13 ; 1 Kor 12:5 ; Ef 1:20-23 ; 4:4,5,11,12 ; 5:23,24...
2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.
Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas... Karena Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis tidak boleh ada dalam Gereja...
3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.
...sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai pelaksana atau delegasi dari jemaat...
4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Hal-hal Khusus.
Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus. Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. Para pejabat Gereja adalah wakil bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya mereka harus bertanggungjawab...
5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.
... (Berkhof, 1997, pp. 57-63)

Mengenai jabatan gereja, John Calvin menetapkan empat jabatan gerejani, yaitu :
· Doctors held an office of theological scholarship and teaching for the edification of the people and the training of other ministers. (Doktor mengurusi masalah beasiswa theologis dan pengajaran untuk pendidikan bagi orang-orang dan pelatihan bagi para hamba Tuhan.)
· Ministers of the Word were to preach, to administer the sacraments, and to exercise pastoral discipline, teaching and admonishing the people. (Pelayan Firman adalah untuk berkhotbah, menjalankan sakramen, dan untuk melatih disiplin pastoral/gerejawi, mengajar dan menegur/menasehati orang.)
· Deacons oversaw institutional charity, including hospitals and anti-poverty programs. (Diaken mengurusi masalah sumbangan institusi termasuk untuk rumah-rumah sakit dan program-program anti kemiskinan.)
· Elders were 12 laymen whose task was to serve as a kind of moral police force, mostly issuing warnings, but referring offenders to the Consistory when necessary. (Tua-tua adalah kelompok 12 orang awam yang tugasnya untuk melayani semacam kuasa polisi moral, yang paling banyak mengeluarkan peringatan-peringatan, tetapi menunjuk orang-orang yang melanggar hukum menuju ke Konsistori/Pengadilan kalau perlu.)
(sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin)


7.5 Panggilan Gereja yang Sejati
Terakhir, kita akan mengerti lebih dalam lagi tentang panggilan gereja yang sejati. Di dalam perspektif theologia Reformed, gereja memiliki dua macam panggilan, yaitu :
Pertama, panggilan ke dalam (inner atau internal calling). Artinya, gereja sejati harus menjalankan panggilan Allah untuk melakukan dua hal : pertama, mengajar doktrin. Rasul Paulus mengajarkan prinsip ini, “…sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Efesus 4:13-15) Gereja yang mengabaikan pengajaran doktrin secara ketat adalah gereja yang amat sangat perlu diwaspadai, karena ingatlah : gereja bukan hanya sekedar kumpul-kumpul. Seorang gembala sidang GBI Rehobot, Jakarta, Pdt. Erastus Sabdono, M.Th. menyatakan, “Gereja adalah Sekolah Alkitab.” Hal ini benar, karena di dalam gereja, kita harus belajar Alkitab untuk lebih mengenal Allah dan Firman-Nya. Hal kedua, menjalankan sakramen. Berarti, gereja yang sehat harus menjalankan sakramen yang telah ditetapkan oleh Kristus sendiri. Dalam hal ini, gereja Roma Katolik menjalankan 7 macam sakramen, sedangkan gereja Protestan menjalankan dua macam sakramen, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Mana yang benar ? Kristus sendiri mengajarkan dua macam sakramen, yaitu baptisan (Matius 28:19) dan Perjamuan Kudus (Matius 26:26-29 ; Lukas 22:16-20). Mengenai baptisan, di dalam tradisi gereja dari gereja mula-mula, baptisan dijalankan dengan cara menyiramkan air dari atas kepala orang yang dibaptis (baptisan siram). Tetapi entah mengapa tradisi ini digeser oleh kaum Anabaptis (Radical Reformation/Reformasi Radikal) dengan cara baptisan selam. Lalu, tradisi baptisan selam dipakai dan bahkan dimutlakkan di banyak gereja Karismatik/Pentakosta dengan mengklaim bahwa kalau tidak dibaptis selam, berarti tidak selamat, karena baptisan selam itu diajarkan oleh Tuhan Yesus. Di seluruh Alkitab, baptisan tidak pernah diselam. Yohanes Pembaptis ketika membaptis Tuhan Yesus tentu tidak menyelamkannya. Mengapa ? Karena Yohanes Pembaptis adalah anak seorang imam (Zakharia) di mana imam pada zaman Perjanjian Lama terbiasa dengan kebiasaan mengurapi orang (raja/nabi) dengan menuangkan minyak ke atas kepalanya. Meskipun hanya sekedar ungkapan puisi, Raja Daud mengajarkan konsep ini secara tidak langsung, “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya.” (Mazmur 133:2) Oleh karena itu, gereja-gereja Reformed yang setia mengikuti tradisi gereja Katolik yaitu membaptis orang dengan baptisan siram sebagai lambang Roh Kudus yang dicurahkan dari atas ke bawah, bukan manusia yang menginjak Roh Kudus ! Selain itu, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism). Meskipun istilah “baptisan anak” tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Reformed melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan Yesus. Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus), nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Reformed dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu dibaptis tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan kelompok Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip Alkitab tentang perjanjian (covenant).


Mengenai Perjamuan Kudus, gereja-gereja Reformed mengikuti tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini berbeda dengan konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma : transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang membedakan antara form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) Paham Katolik Roma akan Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh seorang “pendeta” bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu Perjamuan Kudus berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, panggilan ke luar (external atau spreading calling). Di dalam panggilan ini, gereja harus memberitakan Injil kepada semua orang (Matius 28:19-20). Gereja yang sehat adalah gereja yang menyeimbangkan antara mengajar doktrin, menjalankan sakramen dan memberitakan Injil. Kalau di antara ketiga panggilan gereja ini ada yang tak terpenuhi atau kurang terpenuhi, gereja harus bertobat ! Khususnya banyak gereja Protestan mainline (arus utama) harus bertobat dan belajar untuk memberitakan Injil. Sedangkan, banyak gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang sudah gemar memberitakan Injil (meskipun ada yang memberitakan Injil sejati dan ada yang memberitakan “injil” sukses) harus meningkatkan kualitas pengajaran doktrinnya sehingga mereka yang menginjili memiliki konsep Injil yang benar dan menyeluruh. Oleh karena itu, theologia Reformed yang kokoh dan konsisten harus disertai dengan semangat Injili yang memberitakan Injil. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa gereja yang tidak menginjili adalah gereja yang mati, statis, dan suam-suam kuku. Dan beliau juga mengatakan bahwa itulah kondisi gereja-gereja Reformed di Barat. Oleh karena itu, Tuhan memberikan visi kepada beliau untuk menegakkan Gerakan Reformed Injili (Reformed yang menginjili).
Posted by Denny Teguh Sutandio, S.S. at 11:48 AM
Labels: Theologia Sistematika
1 comments:
roby said...
Ilah Calvinis penipu dan barbar dan sadis krn mengajarkan kesesatan bahwa: 1)manusia berdosa tidak bisa percaya Yesus; 2) kesesatan yaitu ilah calvinis menentukan sebagian org masuk neraka; 3) ilah calvinis melahirkan kembali org yg tidak percaya dng irresistible grace; dan 4) Yesus hanya mati untuk orang2 yg dipilih ilah calvinis itu untuk diberi lahir baru dan diberi iman. Sisanya ditentukan untuk dijerumuskan ke neraka untuk dinikmatinya.


John Calvin menyesatkan dengan ajaran palsu yg tidak diajarkan Alkitab, bhw ilahnya mendekrit dan mengatur supaya Adam berdosa: ". . . whence does it happen that Adam's fall irremediably involved so many peoples, together with their infant offspring, in eternal death unless because it so pleased God? . . . The decree is dreadful indeed, I confess. Yet no one can deny that God foreknew what end man was to have before he created him, and consequently foreknew because HE SO ORDAINED BY HIS DECREE . . . God not only foresaw the fall of the first man, and in him the ruin of his descendants, but also METED IT OUT IN ACCORDANCE WITH HIS OWN DECISION. (Institutes of the Christian Religion, III, 23, 7).

Calvin mengajarkan tentang illah barbar yg menikmati rancangan untuk mencelakakan orang banyak: "Those therefore whom God passes by he reprobates, and that for no other cause but because he is pleased to exclude them..." (Institutes, III, xxiii, 1)

Ilah Calvin punya kesenangan untuk menyiksa orang banyak: "...the divine will... is itself, and justly ought to be, the cause of all that exists ... God, whose pleasure it is to inflict punishment ... no other cause can be adduced... than the secret counsel of God..." (Institutes III, xxiii, 4)


Ilah Calvin mencipta banyak orang untuk binasa: "Paul teaches us that the ruin of the wicked is not only foreseen by the Lord, but also ordained by his counsel and his will... not only the destruction of the wicked is foreknown, but that the wicked themselves have been created for this very end -- that they may perish" (Commentaries Romans 9:18)


R.C. Sproul menganggap Allah kelihatan tidak mengasihi sebagian orang: "If some people are not elected unto salvation than it would seem that God is not at all that loving to them. Further, it seems that it would have been more loving of God not to have allowed them to be born. That may indeed be the case." (Chosen by God, 32)

Firman Allah berkata lain dr calvinis TULIP: "Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!" (Yes 55:6).Dan "Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." (Ibr 11:6). Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga dikaruniakanNya AnakNya yg tunggal itu supaya barangsiapa yg percaya kepadaNya memperoleh hidup yg kekal (Yh 3:16).

Para calvinis mengorbankan ajaran firman yg jelas untuk mengimani ajaran Calvin ttg ilah yg sadis dan barbar.

11 March, 2007 12:33