10 Desember 2008

Tema Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2008




Hiduplah Dalam Pedamaian Dengan Semua Orang bdk Roma 12:18)

Kepada segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada.
Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.
1. Di tengah sukacita Natal, perayaan kelahiran Yesus Kristus, marilah kita melantunkan mazmur syukur ke hadirat Allah. Ia datang ke dalam dunia untuk membawa damai bagi seluruh umat manusia. Kedatangan-Nya mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia telah merubuhkan tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kukuh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.). Peristiwa Natal, sebab itu dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri.
Umat Kristiani memahami dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Selama ini kita telah tinggal dalam rumah bersama, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam kerukunan dan kedamaian. Namun, akhir-akhir ini rumah kita dipenuhi dengan berbagai ketegangan, bahkan krisis. Keberadaan negara sebagai rumah bersama tidak lagi dipahami dengan baik oleh para warga bangsa. Berbagai benturan antarkelompok dalam masyarakat membuat warga tidak lagi dapat hidup damai.
Berbagai kelompok berusaha menunjukkan kekuatan mereka di hadapan kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman. Dalam usaha untuk memberi rasa aman kepada seluruh warga negara, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengambil langkah-langkah nyata menuju kebersamaan yang rukun dan damai.
Kita merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman bagi warga negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Memang banyak usaha positif untuk menciptakan perdamaian telah dilakukan oleh seluruh komponen bangsa. Namun, usaha ini belum mencapai hasil yang diharapkan secara maksimal dan masih harus terus dilakukan secara terarah, berencana dan berkualitas.

2. Dalam suasana hari raya Natal, kelahiran Yesus, Sang Raja Damai, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk mendengarkan nasihat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma. Ia menasihati Jemaat untuk hidup dalam damai dengan semua orang. Untuk itu Rasul Paulus mengajak mereka untuk memberkati sesama, termasuk orang yang menganiaya mereka (Rm. 12:14). Memberkati berarti memohon agar Allah melimpahkan kasih karunia, damai sejahtera dan perlindungan (bdk. Kej. 27:27-29; Ul. 33; 1Sam. 2:20). Nasihat Rasul Paulus ini menggemakan kembali ajaran Yesus: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Luk. 6:27-28; Mat. 5:44). Agar Jemaat dapat hidup dalam damai dengan sesama, Rasul Paulus mengajak Jemaat untuk bersukacita dengan orang yang besukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:14; bdk. Mat. 5:3; Luk. 6:20; Mat. 25:31-46).
Ia juga menasihati Jemaat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12:17). “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm. 12:21). Ketika orang membalas kejahatan dengan kejahatan, sebenarnya orang itu telah dikalahkan oleh kejahatan. Siapa yang melakukan kejahatan, ia telah dikendalikan oleh kejahatan itu sendiri dan telah melakukan kejahatan yang ia lawan. Ketika orang mengalami perlakuan jahat dari orang lain, tidak perlu membenci pelakunya dan menolak berhubungan dengannya, tetapi tetap ramah terhadapnya, bahkan terbuka untuk menolong orang itu bila ia mengalami kesulitan. Selayaknya umat Kristiani memperlakukan orang lain dengan kemurahan hati (bdk.Rm. 12:20a).

3. Semangat yang diajarkan oleh Rasul Paulus kepada Jemaat Roma itu kiranya juga menjadi semangat umat Kristiani di Indonesia, yang hidup dalam masyarakat majemuk yang terus berubah. Dinafasi oleh semangat Natal, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk:
a. melibatkan diri secara proaktif dalam berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum dalam mewujudkan Indonesia sebagai rumah bersama. Berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat perlu dihadapi secara bersama-sama dan diselesaikan dengan cara-cara dialog.
b. ikut mengambil bagian secara sungguh-sungguh dalam usaha-usaha menciptakan persaudaraan sejati di antara anak-anak bangsa dengan membangun kehidupan bersama di komunitas masing-masing, serta peka dan tetap berusaha ramah terhadap lingkungan sekitar.
c. mengalahkan kejahatan dengan kebaikan dan jangan sampai dikalahkan oleh kejahatan. Kita perlu menyadari bahwa musuh kita bukanlah sesama warga, melainkan kejahatan yang bisa menggerakkan orang untuk berlaku jahat dan menyakiti sesama. Maka, marilah kita melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya supaya jangan ada ruang dimana kejahatan dapat merajalela.

Demikianlah pesan kami, Selamat Natal 2008 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2009. Tuhan memberkati.

Atas nama


Majelis Pekerja Harian
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Pdt. Dr. A.A. Yewangoe
Ketua Umum

Pdt. Dr.Richard M. Daulay
Sekretaris Umum

Konferensi Waligereja Indonesia

Mgr. Martinus D. Situmorang, O.F.M.Cap
Ketua

Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, M.S.F.
Sekretaris Jenderal

Perayaan Natal

Waktu: Perayaan Natal berlangsung antara malam 24 Desember dan berakhir pada malam 6 Januari.
24 Desember malam: perayaan Natal;
25 Desember kebaktian Natal;
1 Januari sunat dan pemberian nama Yesus;
6 Januari hari Tiga Raja (kunjungan Orang Majus)
Warna: Putih

Kata “natal” dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir). Dahulu juga dipakai istilah Melayu-Arab, maulid. Dalam bahasa Inggeris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggeris purba Cristes Maesse (1038)atau Cristes-messe (1131), yang berarti Misa Kristus. Christmas biasa pula ditulis Xmas, suatu penyingkatan yang cocok dengan tradisi Kristen, karena huruf X dalam bahasa Yunani merupakan singkatan dari Christus.

Perayaan Natal baru dimulai pada sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir). Para teolog Mesir menunjuktanggal 20 Mei tetapi ada pula pada 19 atau 20 April. Di tempat-tempat lain perayaan dilakukan pada tangal 5 atau 6 Januari; ada pulapada bulan Desember. Perayaan pada tanggal 25 Desember dimulai pada tahun 221 oleh Sextus Julius Africanus, dan baru diterima secara luas pada abad ke-5. Ada berbagai perayaan keagamaan dalam masyarakat non-Kristen pada bulan Desember. Dewasa ini umum diterima bahwa perayaan Natal pada tanggal 25 Desember adalah penerimaan ke dalam gereja tradisi perayaan non-Kristen terhadap (dewa) matahari: Solar Invicti (=Surya tak Terkalahkan), dengan menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Surya Agung itu sesuai berita Alkitab (lihat Mal. 4:2; Luk 1:78; dan juga Kid 6:10). Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember; dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Beberapa gereja Ortodoks merayakan Natal pada tanggal 6 Januari. Perayaan-perayaan malam Natal dewasa ini oleh berbagai persekutuan Kristen di dalam dan di luar gereja menjadikan bulan Desember bulan perayaan Natal, sehingga perayaan minggu-minggu Advent kehillangan tempat dan maknanya.

Banyak tradisi perayaan Natal yang merupakan pengembangan kemudian dengan menyerap unsur berbagai kebudayaan. Pohon natal di gereja atau di rumah-rumah mungkin berhubungann dengan tradisi Mesir, Cina atau Ibrani kuno. Ada pula yang menghubungkannya dengan pohon khusus di taman Eden (lihat Kej 2:9). Tetapi dalam kehidupan pra-Kristen Eropa memang ada tradisi menghias pohon dan menempatkannya dalam rumah pada perayaan tertentu. Tradisi “Pohon Terang” dewasa ini berkembang dari Jerman pada abad ke 18.

Terdapat pula tradisi mengiri Kartu Natal, yang dimulai pada tahun 1843 oleh John Callcott Horsley di Inggeris. Biasanya dengan gambar yang berhubungan dengan kisah kelahiran Yesus Kristus dan disertai tulisan: Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. Dewasa ini orang memakai teknologi informasi (email) berkirim kartu Natal elektronik.

Juga dalam rangka perayaan Natal dikenal di Indonesia tradisi Sinterklaas, yang berasal dari Belanda. Tradisi yang dirayakan pada tanggal 6 Desember ini, berhubungan dengan St. Claus (Santa Nikolas), seorang tokoh legenda, yang mengunjungi rumah anak-anak pada malam dengan kereta salju terbang ditarik beberapa ekor rusa kutub (termasuk Rudolf yang berhudung merah) membagi-bagi hadiah. Dalam dunia moderen, perayaan Natal secara sekuler lebih menekankan aspek saling memberi hadiah Natal, sehingga ada yang beranggapan Santa Nikolas makin lebih penting daripada Yesus Kristus. Dalam tradisi Sinterklass Belanda – tokoh yang digambarkan oleh suatu iklan minuman Amerika sejak tahun 1931 sebagai seorang tua gendut, bercambangbauk putih dan berpakain merah dengan sepatu bot, ikat pinggang hitam, dan topi runcing lembut ini – menjadi bagian dari acara keluarga (untuk mendisiplin anak-anak) dengan mengunjungi rumah-rumah disertai pembantu berkulit hitam (Zwarte Pit) yang memikul karung berisi hadiah untuk anak yang baik; tetapi karung itu juga tempat anak-anak nakal dimasukkan untuk dibawa pergi.

Aspek lain perayaan Natal adalah lagu Natal. Kisah Kitab Suci tentang kelahiran Yesus memang menyebutkan adanya pujiaan malaekat sorga (Luk 2: 143-14). Di dalam gereja sejak abad pertengahan berkembang lagu-lagu Natal. Tetapi dewasa ini banyak lagu Natal tidak lagi terkait dengan berita Alkitab. Salah satu lagu Natal paling populer adalah Malam Kudus oleh Franz Joseph Gruber, syairnya digubah dalam bahasa Jerman oleh Pastor Joseph Mohr. Lagu ini pertama kali dinyanyikan pada malam Natal, 24 Desember 1818 di gereja Santo Nikolas di Oberndorf, Austria. Lagu ini sudah diterjemahkan ke dalam ribuan bahasa termasuk beberapa versi bahasa Indonesia, dan beberapa bahasa daerah. Rupanya belum ada terjemahannya dalam bahasa Bugis, maka warga Kristen dari etnis Bugis perlu mengupayakan secepatnya. Berikut beberapa terjemahan:

(Bahasa Makassar)

Bangngi lebang, sino sino
Linoa tinromi
Rua mami tena natinro
Mangge amma' sannang nyawana
Ana' tinro sannang
Ana' tinro sannang.


(Bahasa Toraja)

Makarorrong, bongi maindan
Parrangmo, bintoen
Jurus’lama’na to lino,
Dadi lan kapadangan-Na
Kristus anak Daud
Kristus anak Daud


(Bahasa Indonesia)

Malam kudus sunyi senyap siapa yang b'lum lelap
ayah bunda yang tinggallah t'rus, jaga Anak yang Maha Kudus
Anak dalam malaf, Anak di dalam malaf.

Hai, lihatlah! di Efrata t'rang besar turunlah
waktu tentra surgawi megah puji Allah sebab nikmatnya
ingat dunia yang g'lap, ingatlah dunia yang g'lap.

Karna salam amat besar patutlah bergema
bagi dunia yang t'lah tercerai dari Allah di b'ri Almasih
jadi pohon khalas, jadi k'lak pohon khalas.


(Bahasa Inggeris)

Silent night, Holy night
All is calm, all is bright
Round yon virgin Mother and Child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace

Silent night, holy night
Shepherds quake at the sight
Glories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing Hallelujah
Christ the Saviour is born
Christ the Saviour is born

Silent night, holy night
Son of God, love's pure light
Radiant beams from Thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus, Lord at Thy birth
Jesus, Lord at Thy birth

(Disarikan dari berbagai sumber oleh Zakaria Ngelow)

07 Desember 2008

Perayaan Masa Advent

Perayaan Masa Advent

Masa Advent adalah 4 minggu sebelum Hari Natal. Dalam Minggu-minggu Advent dirayakan mulai hari Minggu antara 27 November - 3 Desember.

Warna liturgis: Ungu, tetapi pada hari Minggu Advent ke-3 (Minggu Gaudete) bisa warna merah. Warna ungu menunjuk sekaligus pada aspek pengakuan dosa dari umat yang bersiap menyambut kedatangan Tuhan, namun juga keanggunan Dia yang dinantikan kedatangannya itu.

Makna: menyambut kedatangan Yesus (baik kedatangan yang pertama maupun yang kedua)

Referensi Alkitab: Yes 2:1-5,7:10-14, Yer 33:14-16, Zef 3:14-18, Mik 5:2-5a, Mat 24:37-44, Rom 13:11-14

Kata “advent” dari bahasa Latin adventus (Yunani: parousia) berarti “kedatangan” atau “tiba”, yang dihubungkan dengan kedatangan Yesus sebagai Mesias. Doa, ibadah dan perayaan masa ini mengacu pada kedatangan Yesus yang lahir di Betlehem, dan mempersiapkan kita pada kedatangannya sebagai Raja yang mulia kelak.

Sebab itu bacaan Alkitab Perjanjian Lama mengenai nubuatan-nubuatan kelahiran-Nya, maupun dari Perjanjian Baru mengenai kedatangan-Nya sebagai Hakim seluruh umat manusia. Juga dibaca perikop mengenai Yohanes Pembaptis, yang menjadi bentara bagi kedatangan Mesias.

Salah satu dokumen gerejawi mengenai Advent menyatakan:

Ketika gereja merayakan liturgi Advent setiap tahun, maka gereja memperhadapkan pengharapan kedatangan Mesias dahulu kala, sebab dengan turut dalam pengharapan umat Allah silam itu akan kedatangan-Nya yang pertama, umat beriman membaharui kerinduannya yang bernyala-nyala pada kedatangan-Nya yang kedua.

Pengharapan Mesianis umat Allah menjelang kelahiran Yesus bersifat politik. Mereka yang dijajah bangsa Romawi waktu itu mengharapkan seorang Mesias (Juruselamat) yang bisa membebaskan umat itu dari kekuasaan politik bangsa kafir. Tetapi gereja memahami bahwa memang Yesus adalah Raja dalam Kerajaan Allah yang melampaui bentuk-bentuk kekuasaan politik duniawi. Mereka menantikan kedatangan-Nya yang kedua untuk mewujudkan secara penuh statusnya sebagai “pemegang segala kuasa di sorga dan di bumi” (lihat Mat 28: 19).

Sifat perayaan Advent adalah pengakuan dosa, supaya membaharui hidup menyambut kedatangan Tuhan, dan karena itu liturgnya lebih tenang, tidak bercorak kegembiraan. Lagu-lagu gereja yang gembira tidak dinyanyikan. Perayaan Advent cocok untuk pembinaan keluarga, misalnya dengan menjadikan masa Advent sebagai Pekan Keluarga. Sayangnya di Indonesia masa ini sudah diisi dengan perayaan-perayaan Natal.

Perayaan Advent sudah berlangsung sejak abad ke-4, dalam bentuk persiapan menyambut perayaan Natal atau perayaan Epifani. Tradisi itu kemudian diperkembangkan menjadi masa 4 minggu menjelang perayaan Natal yang berdiri sendiri; bukan bagian dari perayaan Natal, lengkap dengan bacaan, liturgi dan nyanyian-nyanyiannya sendiri. Para Reformator Protestan kurang memberi perhatian terhadap kalender gerejawi, termasuk perayaan Advent, namun dengan makin sekulernya perayaan Natal, banyak gereja menekankan perayaan Advent untuk mempersiapkan umat menyambut Natal secara lebih rohani.

Baik bangun dan bersedia, berjaga dan nantilah

Sep’ri jamu yang setia, merindukan waktunya

Panggilanmu yang mulia, sekarang t’lah hampirlah

Lengkapkan dirimu seg’ra, sebentar b’ri jawab

Supaya jangan adalah halangan dan sebab.

Jaga dan nanti, tukarlah p’ri

Sedia hati, hidup yang bersih

Buang dan ganti, perangai yang keji.


Disarikan dari berbagai sumber oleh Zakaria Ngelow

Perayaan Hari Pentakosta

Warna Liturgis: Merah

Jenis Hari Raya: Pesta

Waktu: 50 hari sesudah Paskah

Lama perayaan: satu hari (dahulu seminggu penuh)

Pokok Perayaan: Ketuangan Roh Kudus dan lahirnya Gereja

Nama Lain: Minggu Putih

Referensi Alkitab: Kis 2:1-11

Perayaan Pentakosta: tanggal 31 Mei 2009; 23 Mei 2010; 12 Juni 2011; 27 Mei 2012.

Dalam setiap tahunnya, gereja secara liturgis berjalan dari minggu ke minggu mengikuti kehidupan Yesus Kristus. Perjalanan liturgis kalender gerejawi ini dimulai dengan Minggu Advent I (4 minggu sebelum Natal, dihitung mulai dari hari Minggu terdekat ke tanggal 30 November) menantikan kedatangan-Nya (hari Natal, 25 Desember), dan sunat/ penyerahan-Nya di Bait Allah (Luk 2:21 dst; 1 Januari) dan perkunjungan orang Majus (6 Januari). Kemudian masuk minggu-minggu sengsara (7 minggu) penyaliban dan kematian-Nya (Jumat Agung), lalu kebangkitan-Nya (Paskah, yang tepat pada hari Minggu). Setelah 40 hari penampakan-penampakan-Nya kepada para murid di Yerusalem dan Galilea, Yesus nasik ke sorga (pada hari Kenaikan); dan 10 hari kemudian Roh Kudus dicurahkan (pada hari Pentakosta). Dalam perjalanan liturgis ini gereja merayakan hidup Tuhan Yesus Kristus dengan ibadah, doa, pemberitaan firman, sakramen, hiasan gereja, lambang-lambang, pergantian warna kain mimbar dan pakaian pejabat gereja (termasuk stola), dsb. Perayaan hari Pentakosta mulai populer dalam gereja sejak abad ke-4.

Pada waktu Tuhan Yesus

Dengan murid-Nya di Bukit Zaitun

Datanglah awan yang khabus

Tuhan Yesus pun terangkatlah

Ke dalam t’rang.

Reff

Tuhan Yesus sabdalah:

Hai, janganlah kamu cerai

Dari negeri Yerusalem

Nantikanlah, nantikan janjian Bapamu.

Kemudian s’puluh hari

Datanglah Roh yang dijanjikan-Nya

Hinggap di kepala rasul

Dialah pemimpin, satu orang berkuasa penuh

Demikianlah dalam penanggalan gereja hari Pentakosta dihubungkan dengan hari pencurahan Roh Kudus kepada para rasul (Kis 2: 1 dst). Hari Pentakosta disebut juga hari Minggu Putih (Whitsunday) karena dahulu di Barat orang-orang yang dibaptis pada malam menjelang hari perayaan itu memakai pakaian putih. Tetapi pejabat gereja memakai pakaian warna merah, karena merujuk pada api Roh Kudus. Hari Pentakosta juga dihubungkan dengan lahirnya gereja. Umumnya perayaan Pentakosta dikaitkan dengan peran pembaharuan, persekutuan dan karunia-karunia Roh Kudus bagi orang percaya. [Sebagai aliran gereja, nama Pentakosta pada mulanya muncul pada awal abad lalu di Amerika Serikat, dan merupakan gerakan pembaharuan yang menekankan kuasa dan karunia-karunia Roh Kudus, khususnya penyembuhan ilahi dan bahasa lidah.]


Latar Belakang Yahudi

Latar belakang perayaan Pentakosta adalah suatu perayaan Yahudi, salah satu dari tiga perayaan utama: Paskah, Tujuh Minggu, dan Pondok Daun. Perayaan-perayaan dalam agama Yahudi terhubung dengan pesta-pesta kebudayaan agraris kuno, dan sebagai peringatan peristiwa-peristiwa sejarah bangsa itu. Paskah yang diperingati dalam rangka peristiwa keluaran dari Mesir adalah perayaan awal panen, dengan mempersembahkan berkas jelai (persembahan unjukan Bil 23:15), yang diakhiri dengan perayaan Tujuh Minggu (lazim disebut Shavuot), yaitu hari kelima puluh setelah Paskah, dengan mempersembahkan dua roti yang dibuat dari panen hulu hasil gandum. Hari raya Pondok Daun dirayakan seminggu setelah panen buah-buahan (anggur, zaitun, kurma dsb Ul 16: 9 dst). Di Palestina dikenal hasil bumi utama: gandum, jelai, pohon anggur, pohon ara, pohon delima, pohon zaitun, dan pohon kurma (band Ul 8:8). Tema dasar seluruh perayaan panen itu dirangkum dalam Mzr 65:10-11

Engkau mengindahkan tanah itu, mengaruniainya kelimpahan, dan membuatnya sangat kaya. Batang air Allah penuh air; Engkau menyediakan gandum bagi mereka. Ya, demikianlah Engkau menyediakannya: Engkau mengairi alur bajaknya, Engkau membasahi gumpalan-gumpalan tanahnya, dengan dirus hujan Engkau menggemburkannya; Engkau memberkati tumbuh-tumbuhannya.

Tetapi istilah Pentakosta tidak terdapat dalam Perjanjian Lama; penamaan Pentakosta (Yunani: lima puluh) berasal dari kalangan Yahudi yang tinggal di wilayah berbahasa Yunani. Dalam Perjanjian Baru nama hari raya Pentakosta disebutkan tiga kali (Kis 2:1; 20:16 dan 1Kor 16:8), semuanya menunjuk pada perayaan orang Yahudi. Dalam Perjanjian Lama, perayaan ini dikenal dengan banyak nama: Perayaan Panen (Kel. 23: 16) dan Perayaan Tujuh Minggu (Kel 34: 22; Ul 41: 10; II Taw 8: 13); Juga hari Buah Bungaran (Buah Sulung, Bil. 28: 26;). Kemudian disebut pula Perayaan Penutup atau Penutupan Masa Paskah. Di Palestina panen berlangsung tujuh minggu dan merupakan masa sukaria (Yer 5: 24; Ul 41: 9; Yes 9: 2). Masa panen dimulai dengan panen jelai selama Paskah, dan berakhir dengan panen gandum pada Pentakosta. Jadi Pentakosta adalah pesta terakhir perayaan panen, yang dirayakan selain dalam peribadahan bersama, juga dalam perayaan sosial makan bersama para undangan (band. Paskah yang lebih dirayakan dalam lingkup terbatas keluarga).

Menurut Kel 34: 18-26 (band 33: 10-17), perayaan Tujuh Minggu ini adalah yang kedua dari tiga perayaan yang dirayakan dengan tarian altar kaum pria di tempat suci. Mereka harus membawa buah sulung dari panen gandum (Ul 16:9-12), yang dilaksanakan dalam suatu upacara penyembahan yang menggabungkan tradisi pertanian dengan sejarah Israel. Kitab Ulangan 26:1-11 memuat petunjuk penyembahan dengan liturgi yang berisi “Pengakuan Iman Israel” berdasarkan sejarahnya. Pengakuan itu adalah pemilihan leluhur, pembebasan dari Mesir, pemeliharaan di padang gurun, dan pemberian Tanah Kanaan. Salah satu pokok yang tidak tercantum adalah pemberian Hukum Torat (band. Rangkuman sejarah Israel dalam Neh 9).

Dalam Im 23: 15-22 juga diatur persembahan pada perayaan ini, berupa 2 roti beragi dari tepung gandum panen perdana. Bentuknya berombak sehingga disebut “roti berombak”. Dan karena roti itu beragi tidak dapat diletakkan di mezbah (Im 2:11). Kedua ketul roti diserahkan masing-masing satu kepada Imam Besar dan satu kepada para imam lainnya. Mereka memakannya dalam kompleks tempat suci. Di samping itu, terdapat pula kewajiban memberi persembahan korban hewan (lihat Bil 28:26-31; Im 23:15-22).

Dalam tradisi Yahudi kemudian hari, perayaan Pentakosta juga dihubungkan dengan hari lahir Torat (pemberian hukum-hukum Tuhan di Sinai), yang dirayakan dengan membaca Torat semalam suntuk atau sampai tengah malam. Bagian-bagian bacaan Kitab Suci adalah sbb:

* Hari-hari Penciptaan (Kej 1:1 - 2:3);

* Keluaran dan Nyanyian di Laut Merah (Kel 14:1 - 15:27)

* Pemberian 1o Hukum di Sinai (Kel 18: 1 - 20:26; 24:1-18; 34: 27-35; Ul 5: 1 - 6:9)

* Sejarah dan bagian dari “Dengarlah” (Ul 10:12 - 11:25)

* Kkitab nabi-nabi: Yehezkiel fasal 1; Hos 1:1-3; Hab 2:20-3:19; dan Mal 3:22-24.

* Kitab Rut dibaca seluruhnya;

* Mazmur: 1, 19, 68, 119, 150.

Karena Torat dikaruniakan pada hari Pentakosta, para Rabbi Yahudi menjadikannya hari raya gembira. Seorang rabbi terkemuka menetapkan supaya dihidangkan anak lembu terbaik, karena sekiranya Torat tidak dikaruniakan Tuhan maka tidak akan muncul para rabbi terpelajar di kalangan umat itu. Perayaan Paskah dan Pentakosta, yang merupakan satu rangkaian, kemudian menjadi salah satu alasan tradisi mudik orang Yahudi diaspora ke Yerusalem setiap tahun (band Kis 2:5).

Kemudian hari berkembang kebiasaan memakan makanan olahan dan kue keju dari susu sapi untuk menghormati Torat, yang rasanya seperti “madu dan susu” (band Kid 4:11). Setelah itu baru makan daging.

Di sinagoge gulungan kitab Rut dibaca karena berisi kisah Rut sebagai orang asing yang menerima agama Yahudi, dan adanya ceritera mengenai panen, yang cocok menghubungkan Pentakosta sebagai perayaan Torat dan perayaan panen. Juga dipercaya bahwa Raja Daud, yang adalah keturunan Rut, wafat pada hari Pentakosta.

Pada perayaan Pentakosta orang Yahudi menghiasi rumah dan sinagoge dengan daun-daunan, dan pohon-pohonan, yang berhubungan baik dengan dunia pertanian maupun dengan pengalaman perjalanan keluaran di padang tiah.

Pada perayaan Pentakosta dilakukan konfirmasi (=sidi) bagi para pemuda Yahudi; suatu tradisi dari kalangan pembaru agama Yahudi. Hari Pentakosta sebagai hari lahir Torat, juga dirayakan sebagai hari lahir agama Yahudi.

Demikianlah perayaan Pentakosta Yahudi meliputi:

• Sidi bagi para pemuda (khusus komunitas Yahudi reformis)

• Pembacaan puisi liturgis pada ibadah pagi di sinagoge

• Makan makanan olahan dari susu, seperti keju dan mentega

• Pembacaan kitab Rut pada ibadah pagi

• dekorasi rumah dan sinagoge dengan daun-daunan

• Melakukan studi Torah sepanjang malam.

Beberapa Tradisi Pentakosta dalam Gereja:

* Di Italia terdapat tradisi menghambur kelopak-kelopak bunga mawar merah dari langit-langit gereja sebagai peringatan mujizat keturunan Roh Kudus. Sebab itu hari Pentakosta disebut pula Pasqua rosatum atau Pascha rossa (Paskah Merah).

* Di Perancis orang meniup terompet untuk mengingat suara angin gemuruh ketika keturunan Roh Kudus.

* Di Rusia orang membawa mawar dan ranting-ranting pohon ke gereja.

* Dalam Gereja Ortodoks Timur berlangsung doa puitis dan pembacaan Mazmur serta ibadah khususk sepanjang malam menjelang Pentakosta. Pada kebaktian Pentakosta biasanya berlangsung baptisan, dan hari Minggu Pentakosta itu disebut Hari Minggu Tritunggal.

* Di Libanon, hari Pentakosta menandai berakhirnya musim dingin. Sesudah kebaktiasn keluarga-keluarga pergi ke hutan berpiknik menikmati musim semi. Anak-anak bermain ayunan, yang digantung di cabang-cabang pohon (pinus, zaitun, araz).

* Di Polandia, Pentakosta disebut “Hari Raya Hijau”. Orang menghias rumah mereka dengan cabang-cabang hijau, sebagai tanda berkat Tuhan bagi penghuninya. Dahulu ada arak-arakan ke padang pertanian untuk memberkati tanaman.

* Di Ukraina, Pentakosta disebut Hari Minggu Hijau. Bagian dalam gereja dihiasi daun-daun yang gugur, dan pada pintu dan tangga ditaruh ranting-ranting. Pejabat gereja dan anak-anak altar memakai pakaian hijau; demikian juga sejumlah warga gereja. Hal ini untuk memperingati tiga ribu orang yang dibaptis pada hari Pentakosta; mereka memasuki kehidupan baru yang ditandai dengan warna hijau. Warna hijau juga menunjuk pada pengaruh perayaan dan pemahaman Yahudi.

* Di Negeri Belanda, Pentakosta disebut "Pinksteren", dan hari Senin besoknya adalah hari libur nasional. Karena satu-satunya hari libur sebelum hari Natal, dan yang umumnya dengan maka

di musim yang cerah, maka dilakukan bazar dan festival, terutama Pinkpop , sesuai nama Pentakosta dalam bahasa Belanda, Pinksteren.

Kesimpulan

Tradisi perayaan hari Pentakosta mengandung nilai-nilai dari latar belakang perayaan panen dan penerimaan Torat Yahudi, maupun tradisi Kristen mengenai Roh Kudus dan lahirnya Gereja. Para pemimpin gereja perlu memikirkan bagaimana pada masa kini perayaan ini (demikian juga perayaan lainnya) diberi pemaknaan dan bentuk-bentuk yang menggairahkan penghayatan serta komitmen iman. Pentakosta dapat dihubungkan dengan panen dan pemeliharaan alam, tetapi juga dengan pembaharuan hidup dan ketaatan. Kegembiraan dan fungsi sosialnya memang tidakisa menyamai perayaan Natal, namun di pedesaan dapat digabung dengan syukuran panen.

Disarikan dari berbagai sumber

oleh Zakaria J. Ngelow

05 Juli 2008

Pemberdayaan Perempuan Dalam Pelayanan Gereja Dewasa Ini

oleh Pdt. Mindawati Perangin-angin, PhD.

http://mindawatiperanginangin.wordpress.com/

Judul di atas adalah yang diberikan oleh panitia penerbitan buku Jubileum 50tahun CCA kepada saya. Pilihan judul,mungkin karena gabungan bahwa saya perempuan dan yang sekarang mengemban sebagai Kepala Bidang Personalia dan sumber Daya Manusia (SDM) GBKP. Ruang lingkup perempuan dalam judul, acap akan saya persempit menjadi pendeta perempuan. Berbicara tentang pendeta perempuan, haruslah juga berbicara tentang pendeta lelaki, seperti ketika berbicara tentang perempuan dalam pengertian umum, haruslah juga membicarakan laki-laki. Karena keduanya adalah satu keutuhan yang saling melengkapi.
Pemberdayaan pendeta perempuan (dan lelaki) dalam pelayanan gereja dewasa ini diawali dari penggodokan di sekolah teologi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dan yang paling ampuh untuk memberdayakan manusia adalah melalui pendidikan. Sehingga pemberdayaan pendeta baik perempuan ataupun lelaki dalam pelayanan gereja dewasa ini dimulai dari pendidikan di sekolah Teologia. Sayang bahwa sekolah teologia, tidak hanya di Amerika tapi juga di Indonesia, kurikulum dan aktivitas di luar sekolah tidak terlalu berhubungan dengan kebutuhan gereja kini dan nanti.[i][ii]
Sebenarnya saya pikir gereja dan sekolah teologia di Indonesia belum menyadari sepenuhnya akan dimana dan mau kemana ia. Sehingga bentuk dan isinya masih didominasi warisan lama, padahal zaman sudah berubah.[iii]
Dalam berteologia kontekstual, dimana mayoritas gereja di Indonesia adalah gereja suku, gereja masih sangat gamang dalam menempatkan inkulturasi[iv] di dalam konteks Pancasila sebagai civil religion.[v] Penekanan muatan lokal sangat dominan, sehingga warna dan rasa nasional menjadi samar, padahal yang ditawarkan dalam kehidupan sehari-hari sarat dengan pengaruh global (hybrid complexity). Mendialogkan ketiga konteks sehingga menghasilkan ciri kas Indonesia, gereja dan sekolah teologia masih terbata. Bisa dikatakan bahwa kemampuan menganalisa konteks kini dan memprediksi konteks nanti, untuk mempersiapkan masa transisi kepemimpinan ataupun/dan generasi, belum membudaya.
Ketika gereja dan sekolah teologia belum menyadari sepenuhnya akan siapa, dimana dan mau kemana ia, bagaimana ia bisa diharapkan untuk menciptakan pengkaderan dengan sengaja? apalagi untuk melakukan pemberdayaan khusus pendeta perempuan untuk trampil melayani di konteks kini dan nanti?
Konsep gereja, struktur dan teologianya yang sudah mem-patriakhal.[vi]
Gereja dalam keadaan seperti ini cenderung tidak memihak ke program pemberdayaan perempuan/pendeta perempuan. Jelas apa dan bagaimana struktur gereja adalah didasarkan dari teologianya, atau bisa saya katakan adalah dari konfesinya.[vii] Jadi adalah tidak mendasar jika pemberdayaan perempuan dan pendeta perempuan di gereja hanya melalui lokakarya,diskusi dan seminar, tanpa merubah dalil-dalil teologia yang mendominasi sesama ciptaan (theological will), dan tindakan nyata dalam meningkatkan pendidikan, ketrampilan dan peran mereka dalam kepemimpinan di semua level (political will).[viii]
Begitu juga dengan pendidikan di sekolah teologia, jika pemberdayaan perempuan (siswi) tidak dilakukan dengan sengaja dan comprehensive (kurikulum, beasiswa, komposisi kepemimpinan senat dll), maka ia akan menjadi tindakan yang politically correct, atau sebagai bahan yang layak jual dalam mencari bantuan.
Realita pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan gereja dewasa ini.
Seperti yang saya ungkapkan di catatan kaki no.7 bahwa diantara gereja-gereja di [ix]Sumatera Utara baru GBKP-lah yang memiliki dua (2) perempuan dari lima ketua Moderamen dan satu ketua-umum. Sehingga kita sendiri bisa menjawab apakah kini pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) telah maksimal dilakukan (political will). Dalam kepemimpinan sinode GMIM yang memiliki pendeta perempuan terbanyak di Indonesia, perempuan ada tapi diposisi wakil sekretaris umum; GPM di posisi wakil ketua sinode; GKSS diposisi ketua sinode; PGI setelah almarhumah Ibu Tina Lumentut, perempuan belum tampil kembali. Bagaimana di gereja lainnya seperti GKJ, GKJW, GKI-Papua, GKPB, GMIH, GPIB, Gereja Toraja, GMIT, KGPM dll? Sehingga setelah hampir sepuluh (10) tahun kita melalui Dasawarsa solidaritas gereja dengan perempuan DGD (1988-199 dalam hal ini bisa saya garis bawahi bahwa di gereja-gereja Indonesia secara keseluruhan, ternyata theological will sudah mendahului political will.[x] Progress pemberdayaan perempuan di gereja-gereja dan PGI di Indonesia tidak jauh beda saya pikir dengan gereja-gereja anggota CCA. CCA sendiri belum pernah memiliki general secretary perempuan, kecuali associate general secretary yang adalah dari Indonesia, Dr. Ery Lebang. General secretary National Council of Churches di Filipina kini adalah perempuan dan dinilai sangat berhasil dalam kepemimpinannya.
Berdasarkan penampakan yang ada di atas baiklah kita menyimak apa yang dituliskan oleh Elisabeth“Authority within the church as the discipleship community of equals must not be realized as “power over” as domination and submission, but as the enabling, energizing, creative authority of orthopraxis that not only preaches the gospel of salvation but also has the power to liberate the oppressed and to make people whole and happy. Jesus commissioned his disciples not only to preach but also to heal and to set free those dominated and dehumanized by evil powers.”[xi]
5. Sehingga untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan dewasa ini maka adalah keharusan:a. Gereja tidak perlu membatasi (apalagi berdasarkan gender) dan juga melakukan test-sinodal bagi orang yang hendak masuk sekolah teologia, biarlah proses penyaringan awal dilakukan oleh sekolah teologiab. Sekolah teologia harus mengajarkan ajaran yang berintikan integration of creation, di dalam kurikulumnya, kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (lihat catatan kaki no.1), dan menyediakan beasiswa yang cukup untuk para siswi yang berbakat dan menetapkan dengan sengaja balance gender dalam setiap kepemimpinan, pelatihan dll.c. Pengajaran gereja (kategorial, kotbah, kebaktian rumah tangga, dll) hendaklah menekankan ajaran yang berintikan integration of creation -kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (theological will)d. Gereja haruslah dengan sengaja menekankan balance gender dalam semua level kepemimpinannya (political will).e. Gereja haruslah dengan sengaja memberikan porsi beasiswa yang lebih/ atau sedikitnya seimbang- kepada siswi teologia /atau pendeta perempuan untuk S1,S2 dan S3. Juga kesempatan untuk menghadiri dan berperan dalam pertemuan tingkat lokal, nasional dan internasional (political will).f. Gereja harus mampu mentransformsikan pola pikir dan tindak warganya yang tidak menunjang pemberdayaan perempuan yang sudah membudaya (faktor sosial-budaya).
6. Bagi para perempuan dan pendeta perempuan,“Female friendship reminds feminists that our political activity consists in more than just conflict and struggle with men and male supremacy. Its end is to bring women together with our Selves and with each other.”[xii]Let’s do it!
[ii] Saya setuju dengan pikirian Judo Purwowidagdo yang menekankan bahwa pendidikan teologia di abad ke 21 haruslah mengarah kepada kepentingan umat, gereja dan masyarakat pada umumnya, lihat Judo Purwowidagdo, Towards the 21st Century, Challenges and Opportunities for Theological Education. Geneva: WCC, 1994. Disitu ia memperlihatkan pergeseran 13 paradigma:old paradigms new paradigms1. Education for ordinate ministers Education for leaders-empower in Christian ministry, both ordinate and non-ordinate2. Dominated by men Inclusive, men-women balance3. Standard and fixed curriculum flexible curriculum, module system4. Based in campus and classroom Based in campus, local community and society5. Up-Bottom learning process Group learning process6. Academic, intellectual and scholarly Academic excellence covered dynamic praxis of doingorientation theology7. Content, knowledge approach Methodological and skills approach8. Dominated by compulsory subjects Dominated by elective subjects9. Dogmatic confessionals orientation. Ecumenical, inter-denominational orientation10. Motivated to submit and loyal to Motivated to critical, reflective and creative innovationchurch doctrines and traditions to church doctrines11. Biblical-historical orientation Biblical-contextual orientation12. Metaphysical-ontological orientation existential-phenomenological orientation13. Biblical-analysis, texts critic Social-anthropological analysis
[iii] Saya tidak mengatakan bahwa gereja dan sekolah teologia kita ada dalam kondisi krisis identitas, tapi apa yang saya sarankan adalah we have to find our own identity, dengan menggunakan metode dekonstruksi dan rekonstruksi.
[iv] Pengertian inkulturasi dengan sangat manis ditempatkan James Haire sebagai acuan untuk mengamini ekumenikal katolik teologi (yang saya bisa mengerti sejajar dengan pengertian Bhinneka Tunggal Ika, semboyan negara kita). —,“It is perhaps because the Christ event can never be exclusively identified either with one culture or one type of culture that Paul employs the ambiguous term he akoe to describe the action by which the Christ event enters a person’s or a community’s life that is, the crucial step that leads to faith…..the authentic gospel or Christ-event-for us is not prepackaged by cultural particularity but is living. The church in the acceptance of the Christ event within its particular culture in each place and yet in the wrestling with that which stands against its own particular acceptance in each place is called to be both catholic and ecumenical, reformed and yet reforming.” Lihat James Haire, Trends of the Ecumenical Movement in the Era of Globalization,” in CTC Bulletin vol. XXI, no.3, 2005, 40.
[v] Melihat penampakan yang ada akhir-akhir ini di Indonesia dimana semangat kebangsaan mulai memudar ditindih oleh semangat ke”agamaan” saya mempertanyakan kekuatan “tali pengikat” senasib sepenangungan yang ada pada bangsa in. Kekuatan tali pengikat ini juga yang saya pertanyakan pada gereja-gereja suku di Indonesia. Sampai berapa lama kita bisa mempertahankan sense kesukuan sebagai kekuatan, jika yang nampak kini adalah banyaknya warga gereja kita yang memegang double citizenships. Saya tidak menyalahkan mereka,apalagi di era perdagangan bebas seperti ini, Cuma yang saya mau ajak kita untuk berpikir adalah 1. apakah trend seperti itu menjawab kehidupan bergereja warga kita? Atau malah cara bergereja seperti ini menunjukkan bahwa tidak hanya warga tapi gereja juga belum tiba dipengenalan akan siapa dia. Deconstruct dan reconstruct harus dilakukan. Disinilah saya tawarkan gereja suku untuk menempatkan inkulturasi dalam konteks pancasila sebagai civil religion. Dalam hal ini tiga konteks kita dialogkan, lokal, nasional dan global. Kekuatan mempertahankan faktor kesukuan saja sebagai tali pengikat sudah mulai tergeser perlahan tapi pasti oleh globalisasi. Juga bukankah faktor ekonomi dan politik sangat berperan dalam mempertahankan keeksistensiannya selain kekuatan sosial dan emosional? Selain itu saya juga berpikir bahwa gereja harus mulai mengkaji teologinya yang nampak jelas dalam konfesinya. Saya tidak mau mengajak kita untuk menutup mata atas warisan teologia kita yang mewarnai ciri kita, tapi bagaimanapun dengan perkembangan yang ada kita harus melakukan perevisian khususnya penekanan atas integrasi ciptaan (perevisian atas konsep, manusia/ laki-laki dan perempuan, serta ciptaan lainnya); pengakuan akan keberadaan kepelbagaian, a.l: keimanan (perevisian atas konsep kristologi dan keselamatan), ras dan suku (konsep manusia); inklusif (perevisian atas konsep gereja, Allah, masyarakat dan pemerintah) dlsb. Banyak yang sudah tercakup di PBIK, namun saya berpikir adalah perlu untuk mengkaji PBIK kembali. Dengan banyaknya gereja yang ada kini dan para anggotanya yang mempunyai double bahkan triple citizenships, saya bertanya apakah penampakan ini dibiarkan saja sebagai dampak dari globalisasi sekaligus mengamini bahkan mencherish ini sebagai karya roh kudus atau meratapinya sebagai kegagalan gereja dalam memperbaharui dirinya, dan itu nampak dari situasi kehidupan bangsa ini yang semakin amburadul? (bandingkan Eddy Paimun, “Eksistensi Gereja dalam Masyarakat Pluralis,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, 279-82.)
[vi] Lihat bagaimana Elisabeth menuliskan bahwa patriarchal self-understanding and structure dan penekanan egalitarian character sudah ada sejak awal mula christian missionary movement, dan apakah kedua berada didalam ketegangan ataupun saling melengkapi yang jelas kata Elisabeth …”This argument, however telescopes distinct organizational forms and ends up with a dualistic understanding of church and ministry. It presupposes that equality and egalitarian organizational structures exclude authority and leadership. It overlooks the fact that equality or egalitarian structures are characterized by what sociologist call role-interchangeability, lihat Elisabeth Schuussler Fiorenza, In Memory of Her. New York: Crossroad, 285-6.
[vii] Bandingkan O.E. Ch Wuwungan, “Pemahaman Iman Sebagai Landasan Warga Gereja,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, Medan: PGIW-Sumut, 2006, 111-12.
[viii] Peran dan kepemimpinan adalah power. Power adalah bagian atau malah keseluruhan identitas lelaki dalam patriarchal ideology. Dampaknya peran dan kepemimpinan berbentuk hirarki, karena berparadigma power atau rule over. Sehingga perempuan adalah subordinate (the second sex). Maka tidak heran jika dalam kepemimpinan gereja di seluruh Indonesia, kita masih bisa menggunakan jari tangan untuk menghitung kehadiran pemimpin gereja perempuan. Perasaan minoritas tegas terasa ketika saya harus mewakili GBKP untuk menghadiri sidang MPL PGI. Di Sumut, dengan bangga saya deklarasikan bahwa baru Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang menghadirkan dua (2) perempuan dalam jajaran Ketua di Moderamen. Juga peran komisi perempuan GBKP (Moria) di dalam perjalanan kehidupan GBKP sebagai gereja dan juga bagi masyarakat sekitar tidak bisa dipungkiri. Sehingga untuk hal ini patut kita simak apa yang disarankan oleh Margaretha …”the need for the church to shift its power paradigm from ”power over” to the “power to serve and to empower” paradigm. This shift is really needed in reformulating the church vision of power. The church needs to affirm that power comes from God. This is why it is not meant to manipulate and overcome others, but to serve and empower people, especially the powerless women. Lihat, Margaretha Hendriks-Ririmase, Theology and Violence Against Women,” in CTC Bulletin vol XXI,no. 3, 2005, 10-11.[x] Kita juga harus mengkaji penampakan jumlah pendeta perempuan di gereja yang selama ini tidak terlalu menerima penahbisan perempuan, juga jumlah penatua, preses dan ketua klasis perempuan di setiap gereja.[xi] Lihat, Elisabeth Schussler Fiorenza, The Ekklesia of Women and ecclesiastical Patriarchy, in Discipleship of Equals. New York: Crossroad, 1998, 247.[xii] Lihat, Janice Raymond, “Female Friendship and Feminist Ethics,” 166.

11 Juni 2008

Visi GKSS Klasis Makassar 2015?


Zakaria Ngelow
Yayasan OASE INTIM
http://oaseintim.blogspot.com
Ma’minasa 2015:
Membangun Jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar
dalam Tujuh Tahun Kedepan


Saudara-saudara pimpinan dan warga GKSS Klasis Makassar, salam sejahtera dalam Nama Tuhan Yesus Kristus. Selamat Merayakan Hari Ulang Tahun GKSS, 12 Juni 2008 (sekalipun saya berpendapat GKSS lahir bukan pada persidangan Sinode tahun 1966 melainkan persiapan sinode tahun 1965).

Melalui tulisan singkat ini, saya ingin memperjelas gagasan yang saya mulai kedepankan dalam percakapan di gereja Jemaat Pandang-pandang pada tanggal 10 Juni: Merumuskan Visi Jemaat 2015. Dan sekalipun gagasan ini untuk jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar (yang berlokasi di Makassar dan Sungguminasa – itu makna Ma’minasa sebagai singkatan, di samping makna kata: minasa = cita-cita luhur) para pimpinan dan warga jemaat lainnya, bahkan di luar GKSS bebas mengaplikasikan bagi jemaatnya.

1. Titik Tolak

Merumuskan Visi Jemaat untuk tujuh tahun mendatang bertolak dari dua hal mendasar, yakni (1) panggilan Tuhan atas gereja-Nya yang dijalankan dalam jemaat adalah panggilan mulia yang tidak bisa dikerjakan secara rutin tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang serius; (2) kehidupan jemaat-jemaat masa kini sudah harus diselenggarakan mengikuti pola kerja managemen organisasi moderen untuk dapat berhasil melakukan tugasnya atau mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, misi gereja – yang berakar dalam missi Deo, misi Allah mengasihi-menyelamatkan dunia – perlu dijabarkan ke dalam visi jangka pendek untuk diwujudkan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang efisien dan efektif.

2. Siapa?

Perumusan Visi Jemaat dilakukan oleh seluruh jajaran pimpinan jemaat: pendeta jemaat, Majelis Jemaat, pimpinan OIG, bahkan tua-tua dan para tokoh di dalam jemaat. Perumusan harus berlangsung secara terbuka dan kritis, dan dalam prinsip kebersamaan: bersama-sama menggagas masa depan bersama! Setiap orang wajib memberi dan dipertimbangkan pendapatnya sedemikian rupa bahwa rumusan yang dicapai adalah rumusan bersama, bukan rumusan dari satu orang. Dalam suatu organisasi, kemampuan bersama jauh lebih baik atau lebih besar, dari kemampuan seorang atau beberapa orang saja dalam organisasi itu. Dalam urusan visi, kalau orang bermimpi sendiri maka mimpinya tetap mimpi, tetapi kalau mimpi bersama-sama maka mimpinya akan menjadi kenyataan.

3. Data

Perumusan Visi Jemaat harus didasarkan pada data jemaat yang jelas dan akurat, karena visi harus bertolak dari kenyataan aktual. Karena itu pimpinan jemaat harus memiliki data yang selengkap mungkin. Suatu isian sederhana saya sudah minta sebelumnya supaya ada basic data yang akurat. Perumusan visi tidak bisa dikerjakan dengan bertolak dari perkiraan-perkiraan saja. Data itu terutama harus mencerminkan potensi di dalam jemaat, yang menjadi modal atau kekuatan dalam penyelenggaraan tugas atau pencapaian tujuan jemaat.

4. Visi dan Citra

Bertolak dari kenyataan jemaat saat ini, apa yang anda yakin – dengan perkenan Tuhan -- dapat diwujudkan tahun 2015 melalui upaya-upaya bersama secara serius dan terencana memajukan jemaat. Pilihlah berdasarkan visi tadi, aspek yang mendapat tekanan utama -- koinonia, martyria, diakonia -- apa “citra diri jemaat” yang anda anggap paling tepat bagi jemaat anda? Rumuskan secara konrit dalam kalimat slogan, misalnya “Jemaat Yang Memuji”; atau “Jemaat Yang Peduli.” Dapat pula dengan tambahan logo.

Visi Jemaat terkait dengan aspek-aspek panggilan gereja (koinonia, martyria, diakonia). Dalam hal ini perlu memilih aspek yang paling cocok menjadi penekanan dalam jemaat, yakni sesuai potensi yang ada. Rumusan Visi Jemaat dalam bentuk kalimat pendek yang mengungkapkan “mimpi” apa yang anda bersama-sama. Rumusan visi haruslah menggetarkan hati, atau membakar semangat untuk mewujudkannya. Sebagaimana dinyatakan di atas, visi haruslah urusan bersama, mimpi bersama yang menggetarkan-menggerakkan seluruh jemaat.

Dalam pencintraan dirinya, jemaat Pandang-pandang bermimpi “menjadi jemaat yang beribadah”, yakni mengandalkan potensi menyanyi warganya untuk melayani melalui paduan suara dan nyanyian jemaat. Terkait dengan itu adalah pembaruan liturgi yang memungkinkan potensi diaktualisasikan (bakat-bakat yang ada tersalurkan), dan juga dapat berlangsung “ibadah yang menggetarkan hati”. Jemaat Makkio Baji bermimpi “menjadi jemaat diakonia”, yang mampu menyediakan bantuan materil – melalui usaha pengembangan sumber dana – untuk membantu secara karitatif maupun transformatif warga gereja dan warga masyarakat; termasuk layanan kesehatan,, pengembangan SDM, dsb. Jemaat Kertago Borongloe masih mencari-cari yang relevan bagi potensinya. Wakil-wakil jemaat ini mengedepankan berbagai kebutuhan sarana/prasarana (renovasi gedung gereja, ruangan pastoral, dsb) dan rupanya belum sampai pada suatu kejelasan apa mimpinya untuk tujuh tahun ke depan.

5. Layanan Unggulan

Pencitraan diri secara ideal, seperti Jemaat Makkio Baji “menjadi jemaat diakonia” atau “jemaat yang peduli kaum miskin” [ini contoh saja, yang masih dapat dikembangkan lebih lanjut] menyiratkan bahwa layanan unggulan jemaat ini adalah di bidang diakonia sosial. Jemaat Pandang-pandang mengedepankan koinonia-liturgis (kebaktian yang menggetarkan hati). Layanan-layanan unggulan macam ini, akan berdampak terhadap aspek-aspek lain kehidupan jemaat: menjadi kesaksian yang menarik orang-orang untuk bergabung (sehingga menambah jumlah warga), mendorong pengambangan diri warga sehingga aspek kemajuan kwalitas iman, kasih, pengharapan meningkat pula, termasuk segi-segi persaudaraan yang menguat.


6. Jemaat Ideal

Saya telah menyampaikan gambaran umum jemaat yang ideal, yakni menonjol salah satu atau beberapa hal berikut [biasanya yang satu mendukung terwujudnya yang lain]:

* Ibadah jemaat menggetarkan: entah tenang teduh, entah hingar-bingar dengan musik dan nyanyian, tetapi orang mengikuti dengan penuh perasaan dan konsentrasi.

*Adanya pelayanan pastoral yang dirasakan orang sebagai dukungan menghadapi berbagai pergumulan pribadi dan keluarga; bahkan dalam bentuk program trauma healing.

*Adanya persaudaraan yang akrab dalam jemaat dan jaringan ekumenis antar jemaat/gereja: orang mengalami kehidupan sebagai sesama warga gereja sebagai satu keluarga besar yang saling peduli dan terikat. Dalam pertemuan ibadah berlangsung pula percakapan-percakapan, bahkan sharing pergumulan (curhat); terbuka saling bantu melayani dalam keperluan. Bergairah bersama mendukung kegiatan-kegiatan yang diprogramkan jemaat, dsb. Terdapat pula hubungan-gubungan ekumenis antar jemaat/gereja karena orang termotivasi dan bergairah dalam setiap kegiatan bersama.

* Angka pertambahan warga yang bermakna: jemaat yang hidup dengan persekutuan yang akrab diminati orang (band. Kis 2:42-47). Sebaliknya, orang malas dan pelan-pelan mengundurkan diri dari persekutuan yang suam; orang kehilangan gairah dan motivasi untuk mendukung kegiatan jemaat.

*Aktivitas diakonia dan/atau pastoral: jemaat yang hidup memang memberi perhatian pada kebutuhan warganya, juga kebutuhan sosial-ekonomi. Dan bukan sekadar bikisan Natal atau Paskah (model BLT?), melainkan suatu program rutin yang berbentuk diakonia karitatif maupun transformatif, bahkan bisa dalam bentuk crisis center.

*Partisipasi warga sebagai SDM bertalenta: jemaat yang hidup mendorong dan memberi kesempatan pada setiap warga untuk memanfaatkan talentanya dalam pelayanan jemaat. Entah apa, tetapi setiap warga dilengkapi Tuhan dengan talenta (1 Kor 12: 4 dst), yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau setelah melalui program-program pemberdayaan.

*Jaringan dialog antar-iman: penting pula bahwa jemaat sadar akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat umum, yang dalam konteks kita adalah masyarakat majemuk juga dalam agama. Sebab itu hubungan-hubungan antar-penganut agama (interfaith) yang harmonis perlu dikembangkan. Ada sedikitnya tiga alasan teologis untuk itu: (1) Allah adalah Tuhan atas semua orang dan semesta ciptaan, yang juga mengasihi semua orang; (2) dalam panggilam misioner jemaat, kesaksian Injil hanya dapat dinyatakan melalui pergaulan yang baik dengan semua orang; dan (3) panggilan gereja mendukung kehidupan bersama yang rukun selaku satu bangsa Indonesia.

*Pengembangan sarana teknologi informasi / komunikasi. Di setiap jemaat dapat dikembangkan pusat data, informasi dan pelayanan, misalnya melalui internet dalam bentuk mailing list atau website dan weblog [lihat contoh sederhana layanan melalui internet dalam http://gkss-pembinaan.blogspot.com/ ]. Siaran radio juga merupakan sarana layanan yang dapat dipertimbangkan diselenggarakan jemaat.

8. Pilihan Culture

Gereja diikat oleh nilai-nilai Kristen yang dijabarkan dari Firman Tuhan. Culture suatu jemaat adalah nilai yang dipromosikan sebagai nilai andalan yang membentuk karakter suatu jemaat. Rasul Paulus menyebut tiga nilai utama: iman, pengharapan dan kasih (1 Kor 13:13). Tetapi ada pula nilai-nilai kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22,23). Nilai mana paling cocok untuk jemaat anda? Sebaiknya pilihan nilai untuk menjadi karakter culture suatu jemaat dihubungkan dengan citra diri ideal dan program layanan unggulannya. Karena Makkio Baji, misalnya, mengidealkan citra diri sebagai jemaat diakonia, maka culture-nya cocok dengan kemurahan.

9. Visi dan Kepemimpinan

Percakapan di Pandang-pandang menyinggung aspek leadership, management dan pendeta jemaat. Pimpinan Jemaat (dalam hal ini Majelis dan Pendeta Jemaat) adalah sekaligus leader dan manager. Kedua fungsi itu dapat dibandingkan sbb:


LEADER
MANAGER
Ber-inovasi
Mengembangkan
Meng-inspirasi
Berpandangan jangka-panjang
Mempersoalkan apa dan mengapa
Memulai yang baru
Menantang status quo
Do the right things
Meng-administrasikan
Memelihara
Mengontrol
Berpandangan jangka-pendek
Mempersoalkan bagaimana dan kapan
Mem-formal-kan
Menerima status quo
Do things right


Visi dimulai oleh pemimpin, namun harus menjadi visi bersama seluruh jemaat. Jadi, dalam prakteknya, perumusan visi dilakukan dalam kapasitas sebagai leader, namun dalam pelaksanaannya lebih sebagai manager. Karena itu Pimpinan Jemaat harus sungguh-sungguh memahami konsepsi visi jemaat dan mengetahui berbagai aspek operasional aplikasinya sesuai prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi managemen organisasi moderen. Pimpinan jemaat harus memulai memantapkan dalam kalangannya. Pendeta dan seluruh Majelis jemaat harus sungguh-sungguh sefaham mengenai visi dan langkah-langkah aplikasinya. Tidak boleh ada perbedaan pemahaman yang akan membingungkan jemaat. Dalam hal ini penting dokumen-dokumen rumusan tertulis sebagai acuan bersama.

10. SWOT dan Aksi

Visi yang telah dirumuskan secara lengkap perlu dijabarkan ke dalam aksi, atau program-program pelaksanaannya. Untuk suatu visi tujuh tahun, perlu program per tahun yang sedemikian rupa berangsung-angsur mewujudkan. Program-program aksi tahunan itu akan bergantung pada hasil analisis SWOT, yang merupakan kegiatan pertama setelah perumusan visi. Dengan perumusan Visi telah ditetapkan suatu tujuan. Maka berdasarkan tujuan itu suatu analisis SWOT dikerjakan secara saksama untuk menemukan kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) di dalam jemaat, dan peluang-peluang (Opportunities) serta tantangan-tantangan (Threats) dari luar.

12. Status jemaat ekumene?

Status “jemaat oikoumene” membuka kemungkinan warga jemaat menjadi anggota rangkap di jemaat GKSS dan di jemaat gereja lain. Saya menghimbau pimpinan jemaat dan pimpinan Klasis/Sinode GKSS meninjau lagi status keanggotaan rangkap itu, karena lebih menjadi beban daripada pendukung pelayanan. Jemaat ekumene [ini ejaan yang baku dalam bahasa Indonesia daripada bentuk kata bahasa Latin: oikoumene] sebaiknya bukan status keanggotaan warga jemaat, melainkan status kelembagaan jemaat, yakni sebagai jemaat yang terbentuk dari latar warga gereja yang berbeda-beda di bawah tanggungjawab PGIW, yang diserahkan kepada pelayanan GKSS. Dengan tidak adanya keanggotaan rangkap, warga jemaat dapat berkonsentrasi untuk hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam jemaat.

13. Bagaimana mulai?

Suatu pemanasan telah dilakukan dalam pertemuan kemarin di Pandang-pandang. Harapan saya adalah masing-masing jemaat mulai mengembangkan wacana visi jemaat untuk tujuh tahun mendatang, sehingga tiba pada suatu momen yang tepat untuk merumuskan dan menetapkannya. Mudah-mudahan dengan tuntunan Roh Tuhan mimpi ini menjadi kenyataan.


Salam,


Zakaria Ngelow


09 Juni 2008

PERANAN PADUAN SUARA DALAM KEBAKTIAN


http://yohanesbm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=33
PDF Print E-mail
Written by Yohanes B. M.
Wednesday, 12 December 2007

A. Dasar Untuk Memuji Tuhan

Setiap orang percaya pada hakikatnya dipanggil untuk memuji Tuhan melalui nyanyian atau madah iman. Dalam hal ini tindakan iman atau sikap percaya diekspresikan melalui nyanyian pujian untuk memuliakan atau memasyurkan nama Tuhan. Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai beberapa istilah untuk menunjuk tindakan memuji Tuhan seperti: halal/hallelu (Ibr.) yang artinya: puji Tuhan; yadah (Ibr.) yang artinya: bersyukur, menyanjung, menyembah; tehillah (Ibr.) yang artinya: memuliakan, memuji, nyanyian pujian; epainos (Yun.) yang artinya: pujian, penghargaan; aineo (Yun.) yang artinya: berkata-kata dalam bentuk pujian; humneo (Yun.) yang artinya: menyanyi, menyanjung dan memuji dengan sikap khidmat. Karena itu dasar untuk memuji Tuhan adalah:
1. Allah membentuk dan menciptakan umat manusia agar mereka dengan rasa syukur memberitakan kemasyhuran namaNya. Di Yes. 43:21, Allah berfirman: “umat yang telah Kubentuk bagiKu akan memberitakan kemasyhuranKu”. Tindakan memuliakan nama Allah perlu dinyatakan dalam perbuatan dan tindakan yang nyata. Namun tindakan yang nyata itu tidak berarti mengabaikan tindakan ibadah dari umatNya, yaitu berupa nyanyian pujian kepadaNya.

2. Segala mahluk dan kuasa-kuasa alam dipanggil untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan. Itu sebabnya di Mzm. 150:1-6, secara rinci penulis kitab Mazmur mengajak umat untuk memuji nama Tuhan dalam cakrawalaNya, memuji Tuhan karena segala keperkasaanNya, dan memuji Tuhan karena keagunganNya. Di Mzm. 150:3-5 pemazmur mengajak umat Tuhan untuk memuliakan namaNya dengan segala jenis alat-alat musik seperti: sangkakala (terompet), gambus, kecapi, rebana, tari-tarian, seruling, dan ceracap. Kemudian pada akhir ucapannya pemazmur mengajak: “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! Haleluya!” (Mzm. 150:6).

3. Kita layak memuji Tuhan karena karya keselamatanNya. Di I Taw. 16:23 dinyatakan: “Bernyanyilah bagi Tuhan, hai segenap bumi, kabarkanlah keselamatan yang dari padaNya dari hari ke hari. Ceritakanlah kemuliaanNya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatanNya yang ajaib di antara segala suku bangsa”. Sebagai umat percaya, kita tidak dapat bersikap pasif dan bungkam terhadap karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Allah. Karya keselamatan Allah wajib kita agungkan dengan menyaksikan dan mengabarkannya kepada segenap umat manusia. Dengan demikian nyanyian pujian tentang karya keselamatan Allah bukan sekedar untuk menggembirkan dan memuaskan kebutuhan rohani diri kita sendiri, tetapi kita memuji Tuhan sebagai kesaksian iman kita kepada dunia dan sesama kita.


B. Tujuan Nyanyian Yang Dinyanyikan oleh Paduan Suara
Dalam melaksanakan kebaktian, peran Paduan Suara dalam perjalanan sejarah gereja tidak pernah lapuk. Paduan Suara tetap dipandang sebagai kelompok pujian yang sangat penting dan integral dalam suatu ibadah. Tetapi di manakah letak dan peran Paduan Suara dalam arti yang sesungguhnya? Dalam berbagai kasus, sering Paduan Suara dipahami secara salah, misalnya:
- Paduan Suara sekedar sebagai pelengkap/suplemen dalam kebaktian.
- Paduan Suara sekedar untuk memeriahkan suasana kebaktian.
- Paduan Suara berfungsi untuk mengangkat suatu pujian jemaat.
- Paduan Suara berfungsi untuk memberi hiburan (entertainment).
- Paduan Suara sebagai suatu kelompok minat untuk menyalurkan hobi dan kemampuan vokal.

Padahal Paduan Suara yang hadir dan menyanyian berbagai pujian dalam suatu kebaktian, pada hakikatnya untuk memuliakan nama Tuhan, yang mana mereka ekspresikan melalui persembahan pujian yang mencerminkan kasih, iman dan pengharapan jemaat Tuhan yang sedang berziarah dalam kehidupan ini. Untuk itu puji-pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara di dalam suatu kebaktian bertujuan:
a. Puji-pujian yang dinyanyikan itu untuk membina hubungan yang personal dengan Tuhan: sebagai bagian dari jemaat, kelompok Paduan Suara bukanlah kelompok elit dan eksklusif. Sehingga melalui puji-pujian yang mereka nyanyikan itu mereka sedang mengkomunikasikan imannya secara pribadi dengan Allah.
b. Puji-pujian yang dinyanyikan itu untuk membina hubungan yang personal dengan anggota jemaat pada umumnya. Dalam hal ini Paduan Suara merupakan bagian yang integral dengan jemaat. Mereka memuji Tuhan untuk menguatkan persekutuan dengan jemaat. Melalui puji-pujian yang mereka nyanyikan, mereka sedang merajut bersama persekutuan sebagai tubuh Kristus.
c. Melalui puji-pujian yang dinyanyikan, Paduan Suara sedang memerankan tugas gereja Tuhan yang menyampaikan firman Tuhan dan pengajaran gereja. Apabila seorang Pendeta memberitakan firman Tuhan secara verbal, maka melalui nyanyian puji-pujian dari Paduan Suara, gereja sedang menyampaikan firman Tuhan melalui nyanyian agar jemaat terpanggil untuk melaksanakan firman Tuhan dengan setia.


C. Nyanyian Paduan Suara Perlu Selektif
Sebagaimana dipahami bahwa nyanyian pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara yang salah satu tujuannya adalah menyampaikan pengajaran gereja, maka puji-pujian yang akan dinyanyikan oleh Paduan Suara perlu dipilih secara selektif. Paduan Suara yang hadir dan memuji Tuhan di tengah suatu ibadah, pada prinsipnya berfungsi untuk:
1. Mengekspresikan iman jemaat kepada Tuhan. Puji-pujian yang dinyanyikan bukanlah sekedar suatu untuk menampilkan nyanyian yang bagus, indah, dan menarik. Tetapi apakah dalam nyanyian itu mencerminkan sikap iman kepada Kristus.
2. Puji-pujian yang dinyanyikan dihayati oleh iman Kristen sebagai suatu doa. Artinya melalui puji-pujian itu Paduan Suara mengajak jemaat untuk meresapinya sebagai suatu doa, sehingga jemaat merasakan perjumpaan dengan Allah secara pribadi dalam kehidupan mereka.
3. Puji-pujian yang dinyanyikan adalah untuk menyatakan kesaksian iman kepada dunia. Selaku gereja Tuhan, kita dipanggil untuk bersaksi kepada dunia ini bahwa Allah di dalam Kristus adalah Allah yang mengasihi dan menyelamatkan seluruh umat manusia. Sehingga melalui puji-pujian yang dinyanyikan itu kita memanggil seluruh umat manusia untuk datang kepada Kristus dan menyambut kasihNya.


D. Cara Menyanyikan Dalam Kebaktian
Puji-pujian yang dinyanyikan oleh Paduan Suara dalam kebaktian sama sekali tidak bermaksud menggantikan tugas dan ekspresi jemaat untuk memuji Tuhan. Karena itu Paduan Suara dalam menyanyikan puji-pujian perlu berusaha untuk senantiasa mengikutsertakan jemaat secara sadar, bersengaja dan komunikatif. Untuk itu ada beberapa saran dalam menyanyikan puji-pujian, yaitu:
a. Antifonal: nyanyian berbalasan di antara kelompok Paduan Suara, misal dari kiri ke kanan, atau antara pria dan wanita.
b. Responsori: nyanyian berbalasan antara pemimpin liturgi/pengkhotbah dengan umat (termasuk pula Paduan Suara).
c. Alternatim: nyanyian berbalasan antara dua atau beberapa kelompok Paduan Suara (misal antara Paduan Suara Nafiri dengan Paduan Suara Maranatha).
d. Solis: pujian yang dinyanyikan oleh pemimpin liturgi, atau oleh sekelompok penyanyi.

E. Cara Untuk Mempersiapkan Nyanyian Pujian
Walau Paduan Suara merupakan bagian yang integral dengan jemaat, tidak berarti Paduan Suara boleh mengabaikan persiapan dan latihan yang sungguh-sungguh. Bahkan Paduan Suara mempunyai tugas yang lebih serius dari pada sekedar latihan vokal, sebab Paduan Suara juga mempunyai tugas untuk ambil bagian memimpin suatu kebaktian. Untuk melaksanakan tugas tersebut Paduan Suara perlu:
1. Mempelajari nyanyian yang akan dinyanyikan sehingga dapat dinyanyikan secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan oleh pengarangnya.
2. Perlu bersikap kritis dengan menganalisa lagu dan syair, sehingga para anggota Paduan Suara dapat mengerti makna atau interpretasi “teologis” dari lagu yang sedang mereka nyanyikan.
3. Mampu mempraktekkan hasil interpretasi terhadap lagu tersebut, sehingga mereka dengan sikap mantap dan penuh iman menyajikan pujian tersebut dalam kelompok Paduan Suaranya.

F. Cara Untuk Menganalisa Lagu Pujian
Pemimpin Paduan Suara yang baik, tidak akan sekedar melatih kelompok Paduan Suaranya hanya agar mereka dapat menyanyi dengan teknik yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara musikal saja. Tetapi pemimpin Paduan Suara gerejawi bertanggungjawab terhadap:
a. Isi syair dari lagu yang akan dinyanyikan, yaitu apakah lagu tersebut telah sesuai dengan pengajaran firman Tuhan, ajaran gereja, tidak bertentangan dengan ekklesiologi dari jemaatnya dan mampu untuk mengungkapkan iman dari umat/jemaat.
b. Pemimpin Paduan Suara dan para anggotanya sungguh-sungguh yakin bahwa pujian tersebut dapat dipercaya, sehingga mereka meyakini pesan atau pengajaran yang dinyatakan oleh pujian tersebut.
c. Mampu menyajikan puji-pujian itu sebagai suatu kesaksikan iman, dan dapat menjadi bagian yang mendukung pengajaran firman Tuhan yang disampaikan. Sehingga jemaat yang mendengar puji-pujian itu merasa dikuatkan dan dimotivasi untuk memberitakan firman Tuhan. Karena itu dalam menyanyikan pujian sebaiknya Paduan Suara memperhatikan:
1. tema dan perikop khotbah
2. jenis kebaktian yang sedang diselenggarakan: kebaktian Minggu, kebaktian penahbisan/peneguhan Pendeta, kebaktian pelembagaan jemaat, kebaktian remaja, kebaktian pemuda, dan sebagainya.

d. Waktu yang tersedia: Paduan Suara perlu bijaksana dan tidak perlu memaksakan diri untuk menyanyikan sekian banyak lagu ketika menyadari bahwa kebaktian tersebut telah padat, misalnya dalam kebaktian itu sedang dilayani sakramen Baptis dan sakramen Perjamuan Kudus.

MENJADI GEREJA YANG ESA, UTUH DAN KUKUH DEMI PEMANTAPAN PERAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA

http://www.pgi.or.id/artikel.php?news_id=74



Andreas A. Yewangoe


Pendahuluan

Sidang MPL-PGI kali ini kita selenggarakan bertepatan dengan peringatan 60 tahun Dewan Gereja-gereja Sedunia (WCC). Sebagaimana diketahui WCC dibentuk pada tahun 1948 di Amsterdam, segera setelah Perang Dunia II berakhir. Kita menyebutkan hal ini di sini bukan semata-mata karena banyak dari anggota-anggota PGI yang merupakan anggota WCC, tetapi terutama karena keprihatinan yang sama terhadap pertanyaan, bagaimana menjadi gereja dalam dunia yang berubah cepat, dunia yang mengglobal yang penuh dengan berbagai tantangan-tantangan (baru) tetapi juga penuh dengan harapan-harapan. Berkaitan dengan itu, timbul juga pertanyaan bagaimana seharusnya keesaan gereja diwujudnyatakan, ketika sekian banyak persekutuan-persekutuan Kristen tampil sebagai yang juga ingin menyatakan diri sebagai wujud keesaan gereja. Prof Dr. Walter Altmann, Moderator WCC dalam Sidang Central Committe, 13-20 Februari 2008 lalu di Geneva mengangkat (kembali) semboyan General Assembly (Sidang Raya) WCC Amsterdam, “We intend to stay together” . Gereja-gereja Kristen diserukan untuk bertekun mencari keesaan itu. Pada satu pihak WCC tidaklah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya gerakan oikoumenis (the ecumenical movement), tetapi memahami dirinya sebagai bahagian gerakan oikoumenis yang lebih luas. Pada pihak lain, WCC tidak melihat dirinya sebagai yang melayani dirinya sendiri melainkan untuk (melayani) gerakan oikoumene. Maka pertanyaan yang mesti diajukan dengan memperhatikan sejarah perkembangan WCC, kata Altmann, bukan betapa dan berapa kuatnya WCC, tetapi bagaimana ia (WCC) melayani dan terus melayani gerakan oikoumenis. Maka komitmen bersama terhadap gerakan oikomene tetap dimintakan dari setiap gereja (umat Kristen), yang, kendati mempunyai matra (dimensi) yang berbeda-beda, namun semua dipanggil untuk memperlihatkan kesatuan yang nyata (visible unity) yang dapat diungkapkan dalam cara yang beranekaragam, seperti “panggilan bersama”, “kehidupan bersama di dalam Kristus”, “kesaksian bersama”, “satu iman”, “ikut serta dalam persekutuan perjamuan”, dan seterusnya. Pendeknya, tujuan utama WCC adalah menerima anugerah dari Allah dan meresponnya di dalam persekutuan (koinonia) saudara-saudara seiman di dalam satu gereja.
Apa yang dilukiskan di atas, sesungguhnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja kita yang tergabung di dalam PGI selama 58 tahun terakhir ini. Kita bergumul dengan pertanyaan bagaimanakah kesatuan gereja itu diwujud-nyatakan di tengah keberbagaian yang cukup besar, dan bagaimanakah hidup bergereja diungkapkan dalam masyarakat majemuk Indonesia? Menarik untuk dicatat, bahwa pertanyaan ini ternyata tidak saja dijawab oleh gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, tetapi juga oleh gereja-gereja lainnya. Munculnya berbagai persekutuan-persekutuan lain yang ingin mengungkapkan keesaan gereja, barangkali bisa diinterpretasikan sebagai adanya keinginan ikut-serta dalam gerakan oikoumenis yang lebih luas itu. Sebagai gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, kita menegaskan (kembali) komitmen kita untuk mewujudkan keesaan gereja bukan sebagai tujuan akhir tetapi sebagai “saluran” bagi pelayanan yang lebih baik lagi kepada dunia. Sesungguhnya inilah penegasan ulang para pendiri DGI (PGI sekarang), bahwa gereja-gereja di Indonesia haruslah bersatu apabila mereka ingin sungguh-sungguh menjadi berkat bagi dunia dan bangsa ini. Sidang Raya XIV PGI menegaskan keesaan kita sebagai “Keesaan in Action”. Itulah tekad bersama, bahwa kendati keberagaman kita, kita tetap mempunyai panggilan bersama untuk melayani sebaik-baiknya.

I. Satu Tahun Sesudah Sidang MPL-PGI Manado 2008

Setelah satu tahun Sidang MPL-PGI Manado, kita berusaha untuk melihat kembali ke belakang apakah komitmen kita yang dituangkan dalam “Pikiran Pokok” sungguh-sungguh terwujud di dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan bermasyarakat. Pikiran Pokok MPL-PGI Manado berbunyi: “Meneguhkan Ulang Komitmen Kebangsaan Demi Mempertahankan Keutuhan NKRI.” Dengan perumusan pikiran pokok tersebut kita menggarisbawahi pentingnya komitmen kebangsaan kita yang, dalam penglihatan dan pengalaman telah mengalami erosi. Kecenderungan itu terlihat misalnya dalam sikap dan perilaku sektarian atas dasar suku, agama, ras, dan golongan. Pada waktu itu kita mencatat, bahwa orang cenderung mementingkan dirinya sendiri. Rasa solidaritas makin memudar. Wajah kemiskinan sangat mengerikan. Ternyata sinyalemen tersebut masih tetap terbukti dalam kenyataan hidup kita sampai saat ini. Hal itu nampak misalnya dalam kecenderungan mementingkan kepentingan daerah masing-masing, tanpa mempertimbangkan bahwa daerah yang bersangkutan berada dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Kurangnya solidaritas juga terlihat dalam wajah kemiskinan yang makin mengerikan, sementara mereka yang diberi amanat untuk mewakili kepentingan rakyat berlomba-lomba untuk memperkokoh kepentingan dan kekuasaannya. Umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka keteladanan untuk memperlihatkan solidaritas terhadap bangsa ini makin memperoleh relevansinya.

II. Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008

Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008 ini kita meletakkan pergumulan-pergumulan kita dengan memfokuskan diri pada kehidupan bergereja. Pikiran Pokok sidang ini berbunyi: “Menjadi Gereja Yang Esa, Utuh dan Kukuh Demi Pemantapan Peran Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Ada berbagai pertimbangan-pertimbangan mengapa kita memfokuskan perhatian pada kehidupan bergereja. Dari sekian banyak alasan-alasan kita menyebutkan beberapa: pertama, masih terdapat di dalam gereja-gereja kita (kendati tidak semuanya) ketegangan-ketegangan internal dengan berbagai alasan. Memang ketegangan-ketegangan itu belum sampai kepada perpecahan, tetapi setidak-tidaknya akan mengganggu kehidupan beroikoumene kita. Ada yang merupakan residu dari persoalan-persoalan masa lampau, ada yang karena persoalan kepemimpinan, persoalan kepentingan, dan seterusnya. Kedua, ada ketegangan-ketegangan antar-gereja karena belum semua menaati “Piagam Saling Mengakui Dan Saling Menerima”. Apa yang disebut “curi domba” masih tetap merupakan pengeluhan dari beberapa gereja. Ketiga, tetap maraknya penutupan paksa gedung-gedung gereja di banyak tempat di Tanah Air kita oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut catatan dari Bidang Diakonia PGI (yang juga telah disampaikan kepada Komnas HAM), sejak 2004-2007 tidak kurang dari 108 gedung gereja yang ditutup paksa. Kenyataan ini membuat umat Kristen limbung apakah mereka masih merupakan bahagian integral bangsa ini, ataukah dengan sengaja dan sistimatis hendak dikucilkan. Catatan ini penting, sebab justru penutupan-penutupan itu terjadi pasca Perber Mendagri dan Menag No.9 dan 8/2006. Keempat, makin beranekaragamnya pemahaman dan penghayatan tentang hidup bergereja di tengah-tengah umat kita. Ada yang cenderung melihat gereja sebagai identik dengan sebuah LSM yang mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya untuk menolong mereka yang berada dalam kesulitan. Kabar Baik Kerajaan Allah ditafsirkan sangat bersifat horizontal. Dalam kaitan ini saya mencatat yang dikatakan Philip Quarles von Ufford, seorang dosen pada Vrije Universiteit di Amsterdam tentang kehidupan bergereja di Negeri Belanda khususnya ketika ketiga gereja besar (Nederlandse Hervormde Kerk, de Gereformeerde Kerken in Nederland, dan de Lutherische Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) bersatu dalam Protestantse Kerk in Nederland (PKN) sejak 2004 lalu. Menurut von Ufford terdapat kecenderungan kuat untuk makin mengLSMkan gereja-gereja. Agenda gereja makin ditentukan oleh pemerintah (Belanda) sebagaimana tergambar dari dipersatukannya ICCO dan Kerk in Actie. Akibatnya Sinode dan semua badan-badan pembantunya makin teralienasi dari jemaat-jemaat, dan relasi dengan mitra-mitra di Indonesia (misalnya) hanyalah sekadar relasi berdasarkan proposal. Diperkembangkan di dalamnya apa yang ia sebut ideologi manajemen. Hubungan itu makin menjadi lugas (zakelijk) dengan mengabaikan segi-segi emosi yang selama ini telah terjalin selama beberapa generasi. Pada pihak lain, ada pula kecenderungan, yang saya sebut mengkapitalisasikan gereja. Gereja makin lama makin dilihat sebagai komoditas yang bisa dijual dengan kemasan-kemasan indah. Gereja dilihat sebagai tempat berlindung dari “serangan-serangan” luar. Siapa berada di dalamnya akan beroleh keuntungan, bukan saja secara rohani tetapi juga secara jasmani. Kadang-kadang gereja dilihat tidak lebih sebagai usaha Kentucky Fried Chicken yang dapat memberikan kenikmatan-kenikmatan. Kelima, keterlibatan warga gereja dalam apa yang disebut “politik praktis” kadang-kadang juga menyeret gereja sebagai institusi untuk terlibat di dalamnya. Gereja dilihat sebagai wahana yang secara potensial menyediakan konstituen bagi partai-partai politik yang dibentuk. Maraknya partai-partai politik (dengan asas Kristen) yang lumayan banyak dewasa ini membuat warga kita bingung. Ada kecenderungan untuk mengartikan hal keterlibatan dalam politik secara berat sebelah. Gereja tentu saja mempunyai tanggungjawab politik, tetapi itu tidak berarti bahwa gereja secara mudah diidentikkan dengan partai-partai politik.
Kelima alasan ini kelihatannya cukup kuat untuk mendorong kita memberi perhatian serius kepada kehidupan bergereja kita dewasa ini. Sidang Raya XIV PGI (2004) dengan tegas merumuskan bahwa gereja adalah “Gereja Bagi Orang Lain”. Dengan jelas hendak dikatakan di sini bahwa gereja mestinya tidak berorientasi kepada dirinya sendiri, tetapi ke luar, kepada dunia. Dalam derajad tertentu dapat dikatakan bahwa gereja bukanlah tempat “berlindung” (sebab dengan demikian orang Kristen akan dengan gampang masuk ke dalam ghetto), tetapi justru yang persis berada di tengah-tengah berbagai pergolakan dan krisis.
Pikiran Pokok ini dimulai dengan kata “menjadi”. Inilah isyarat bahwa gereja sesungguhnya terus bergerak dalam proses menjadi. Gereja tidak pernah menjadi sesuatu yang mapan (established), yang terpaku pada satu kejadian dan tempat. Gereja adalah laksana peziarah yang selalu siap untuk membongkar (kembali) kemahnya dan terus lagi berjalan. Karl Barth berbicara tentang gereja sebagai peristiwa (Ereignis) , yaitu gereja yang bersifat dinamis, tidak ditawan oleh sikap institusionalistik dan legalistik. Sebaliknya gereja selalu bergerak ke depan.
“Esa” menunjuk kepada komitmen gereja-gereja kita yang sejak semula ditekadkan yaitu mewujudkan GKYE. Komitmen ini tidak pernah berubah. Yang terjadi adalah penekanan-penekanan tertentu dengan memperhatikan hal-hal yang hidup di dalam gereja-gereja kita. Sidang Raya XIV menegaskan bahwa keesaan kita adalah keesaan in action. Artinya kalau setiap gereja anggota PGI menjalankan secara konsisten apa yang dituangkan dalam Dokumen Keesaan Gereja, maka keesaan kita makin lama akan makin nyata. “Utuh” artinya tidak terbagi-bagi. Juga tidak retak. Namun keutuhannya bukanlah keutuhan masip seperti batu di mana tidak terdapat ruang sedikitpun di dalamnya. Keutuhan ini masih memungkinkan setiap yang melekat padanya bernafas dengan bebas, namun kebebasan itu demi menghidupkan semuanya. Dengan kata-kata lain, keutuhannya itu justru adalah yang memberi ruang kepada pihak lain untuk juga bisa bergerak dengan bebas. “Kukuh” mengindikasikan adanya kekuatan. Tetapi kekuatan itu tidak dimaksudkan untuk “menyerang” pihak lain, tetapi sebaliknya menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan demikianlah gereja-gereja dapat menjalankan perannya dalam masyarakat majemuk Indonesia yang dewasa ini sedang berjuang untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Kalau gereja-gereja masih terpecah-belah, maka dunia tidak akan percaya (Yoh. 17: 21). Bahkan bukan tidak mungkin gereja dilecehkan saja oleh dunia. Salah satu pertayaan yang mungkin dapat diajukan dalam kaitan ini adalah, sampai berapa jauhkah kemajemukan masyarakat Indonesia ikut mewarnai bahkan menentukan bagi kemajemukan gereja-gereja? Pertanyaan ini pada gilirannya mempunyai sangkut-paut dengan persoalan relasi kesukuan dan kegerejaan kita.

III. Gereja Menurut Dokumen Keesaan Gereja (DKG)

Di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang diterima oleh Sidang Raya PGI kita menemukan gambaran tentang gereja. Gambaran ini penting dikemukakan di sini sebab inilah kesepakatan gereja-gereja yang dalam banyak hal tidak selalu sama ekklesiologinya. Di dalam “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK) yang merupakan salah satu dokumen penting dari DKG itu dinyatakan hal-hal sebagai berikut: (1) gereja ada sebagai akibat Roh Kudus yang menghimpunnya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala. Roh Kudus yang sama ini pula memberi kuasa kepada gereja untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang zaman; (2) gereja berada dalam dunia sebagai arak-arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Gereja selalu dituntut untuk terbuka kepada dunia, agar dunia terbuka kepada undangan Allah turut serta di dalam arak-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan kerajaan-Nya di dalam Yesus Kristus; (3) gereja ditempatkan Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya. Demikian juga halnya gereja-gereja di Indonesia; (4) gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan bertujuan menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Ada hubungan koordinatif antara gereja dan negara; (5) gereja membutuhkan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus. Maka selalu diharapkan kehadiran dan bimbingan Roh Kudus; (6) Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu Tubuh, satu Roh dalam ikatan damai-sejahtera, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Maka keesaan, dengan demikian didasarkan atas persekutuan kasih, bukan kekuasaan duniawi; (7) persekutuan itu dikuduskan dalam kebenaran. Dengan demikian, gereja itu kudus; (8) persekutuan itu mencakupi semua orang percaya dari segala tempat dan di sepanjang zaman. Maka gereja adalah am; (9) persekutuan ini bertekun dalam dan dibangun di atas pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus. Sebagai demikian, gereja adalah rasuli; (10) oleh karena itu gereja dan orang-orang percaya laki-laki dan perempuan di segala tempat dan di sepanjang zaman terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan dan kerasulannya, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama.
PBIK itu dengan jelas memperlihatkan hakekat gereja (sebagai bukan buatan manusia tetapi oleh Roh Kudus), sifat gereja (sebagai yang terdiri dari segala bangsa, suku, etnis, dan seterusnya), serta bagaimana memahami relasinya dengan dunia (dengan berbagai persoalan sosial-politik, ekonomi, budaya dan sebagainya), yang terus bergerak ke depan (sebagai arak-arakan), dan yang tetap setia kepada panggilannya (yang rasuli).
Selanjutnya di dalam dokumen “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) ditegaskan bahwa yang mengimplementasikan tugas ini adalah gereja-gereja. PTPB itu adalah jabaran dari tugas gereja di bidang koinonia, marturia, dan diakonia. Tiap gereja, demikian dikatakan adalah ungkapan dari gereja yang kudus dan am. Dengan demikian, setiap gereja dipanggil untuk menampakkan keesaan (koinonia), memberitakan Injil (marturia) dan menjalankan pelayanan kasih (diakonia). Dalam Bab III (dari PTPB) ditegaskan perlunya membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja. Diinspirasikan oleh tema Sidang Raya XIV, maka pembaruan itu diyakini akan terjadi apabila telah terjadi pembaruan budi sebagai karya Roh Kudus. Khusus dalam masa bhakti 2004-2009, hal membaharui, membangun dan mempersatukan gereja dilakukan dengan mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana. Dalam Bab IV ditegaskan hal bersaksi dan memberitakan Injil kepada segala makhluk. Bagaimanapun gereja harus memberitakan Injil kepada segala makhluk. Injil itu adalah untuk seluruh dunia. Peran serta gereja yang mengabarkan Injil dalam masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju masyarakat yang berkeadaban (civil society) menuntut gereja memberi perhatian khusus kepada korban-korban ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia serta orang-orang miskin dan tertindas, berhubung inilah masalah-masalah sosial yang peka dan mendesak untuk diatasi. Rumusan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa peran sosial gereja sangat melekat dengan berbagai persoalan-persoalan sosial yang muncul di dalam masyarakat. “Prediksi” SR bahwa kemiskinan akan tetap menjadi persoalan akut kita sebagai bangsa kelihatannya tepat sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Tentu saja ada perbedaan tafsiran mengenai jumlah orang miskin sebagaimana terlihat dalam “debat” antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto (karena keduanya memakai hasil survey yang berbeda). Namun hal itu tidak mengurangi makna, bahwa kemiskinan memang tetap merupakan persoalan besar kita yang memicu berbagai persoalan-persoalan lainnya.
Tentang Injil sebagai Kabar Baik yang disampaikan kepada semua makhluk, PTPB ini menyadari bahwa semua agama mempunyai berita bagi semua orang (par.42). Keberadaan gereja tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain. Maka pemberitaan harus dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai pula dengan keluhuran agama sendiri. Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja (par.52), tetapi bagaimana menjalankan mandat ini di tengah-tengah masyarakat majemuk dibutuhkan pedoman umum. Ini punya kaitan dengan kebebasan beragama. Kebebasan beragama dan kerukunan perlu makin diperkembangkan. Kebebasan beragama jangan dikorbankan demi kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan demi kebebasan beragama.
Demikianlah beberapa cuplikan dari DKG yang mestinya telah dihayati dan dilaksanakan oleh semua gereja-gereja anggota PGI. Tugas gereja dalam dunia yang sedang berubah telah dirumuskan dengan cukup jelas di sana. Barangkali baik apabila kita menilai berbagai persepsi kita mengenai gereja dengan bertolak dari rumusan-rumusan itu.

IV. Gereja Yang Hidup

Tentu kita tidak bermaksud untuk membahas sebuah ekklesiologi lengkap pada kesempatan ini. Bahasan-bahasan lengkap itu telah dilakukan dalam banyak buku-buku teologi. Namun demikian, dalam rangka menyoroti kembali kehidupan bergereja kita, ada baiknya kita menekankan beberapa hal yang, menurut saya penting. Pertama-tama, perlu ditegaskan (lagi) bahwa gereja mestilah merupakan gereja yang hidup. Kehidupannya tidak semata-mata terletak dalam kehebatan kita mengelolanya, tetapi pada karunia Roh Kudus. Ini bukan pandangan baru, namun perlu ditegaskan lagi agar gereja terhindar dari kecenderungan menjadi beku di dalam institusi dan berbagai aturan-aturan yang diciptakannya. Atau menjadi bingung karena adanya “serangan” dari luar. Para reformator menegaskan, gereja reformasi haruslah dibarui terus-menerus (ecclesia reformata semper reformanda est). John Stott, seorang pendeta emeritus dari Gereja Anglikan Inggris mengemukakan empat ciri dari gereja yang hidup itu. Ciri itu dijabarkannya dari Kisah Rasul 2: 42-47,

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Inilah yang disebut Stott visi Allah bagi gereja-Nya. Ciri pertama, gereja adalah gereja yang belajar (a learning church). Jemaat pertama secara teratur bertemu untuk mendengar para rasul-rasul mengajar. Tentu saja Roh Kudus penting sebagai yang menginspirasikan dan menguatkan, namun belajar tetap merupakan ciri penting bagi gereja. Belajar tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah-sekolah teologi, tetapi merupakan kewajiban setiap anggota jemaat. Ciri kedua, gereja adalah gereja yang memelihara (a caring church). Di sini diperlihatkan dengan sungguh-sungguh apa yang dimaksud dengan persekutuan itu. Ciri ketiga adalah gereja yang beribadah (a worshipping church). Hal itu terlihat ketika mereka memecahkan roti dan berdoa bersama. Ciri keempat adalah gereja yang mengabarkan Injil (an evangelizing church). Bagaimanapun gereja tidak dapat mengabaikan tugas pekabaran Injil itu. Namun perlu pula diinterpretasi secara baru bagaimana melakukannya dalam sebuah masyarakat mejemuk seperti Indonesia ini.
Dengan mengemukakan ciri-ciri ini (yang dalam banyak hal sudah kita tahu dan jalankan) kita ingin menghindarkan gereja tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, pada satu pihak, dan pada pihak lain, menciptakan “pulau” tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Gereja tidak boleh beku di dalam lembaga, tetapi juga tidak boleh cair begitu saja tanpa bentuk dan identitas yang jelas.
“Gereja Bagi Orang Lain”, gereja yang terbuka, yang mampu melayani, hanya dapat terjadi apabila ia sendiri kokoh dan kuat di dalamnya oleh persekutuannya yang terus-menerus disuburkan oleh Roh Kudus.
Tantangan-tantangan bagi gereja-gereja adalah apakah persekutuannya yang secara sangat kasat mata terlihat di dalam lingkungan sendiri, juga tercermin dalam persekutuan lintas gereja? Mungkin persekutuan itu ada, tetapi jangan-jangan hanyalah sekadar sebuah persekuatuan formal, bukan karena sehati-sejiwa sebagaimana dikatakan di dalam kitab Kisah Para Rasul. Kalau di dalam diri kita sendiri persekutuan sulit diwujudkan, maka tentu tidak mudah juga menjalin persatuan dengan mereka yang tidak tergabung di dalam gereja kita.
Keprihatinan kita terhadap persoalan kemiskinan, hak-hak asasi manusia, ketidakdilan yang makin merajalela, ketidaktaatan terhadap hukum yang berkeadilan, menjalin relasi dengan umat beragama lain, keterlibatan dalam politik, dan sebagainya hanya dapat dijalankan dengan baik dan penuh optimisme apabila kita benar-benar menjadi gereja yang hidup yang tidak henti-hentinya belajar (learning), memelihara (caring), beribadah (worshipping) dan mengabarkan (evangelizing).


___________________

*) Disampaikan Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol, 26 Februari 2008.
**) Ketua Umum PGI.
↑ atas


Copyright © 2007. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia)