21 April 2008

Mempertanyakan Toleransi Beragama

Oleh Stevanus Subagijo

http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3019

19 Juni 2006 09:16

Konflik antarumat beragama di Indonesia sangat potensial menjadi pemecah bangsa. Untuk itulah di negeri yang majemuk ini, penting memperbaharui terus-menerus ihwal toleransi beragama. Tujuannya, agar umat beragama bisa duduk bersanding dengan damai, tanpa curiga. Dengan catatan, masing-masing umat demi toleransi tidak kehilangan identitas agamanya.

Kekerasan antarumat beragama, telah menjadi semacam "religiositas baru" yang menghalalkan segala cara (kekerasan demi kebenaran). Menguatnya iman destruktif yang dijalankan pemeluk agama dan atas nama agama, menjadi "legitimasi Tuhan", khususnya dalam perkembangan eksklusivisme agamanya yang meruyak belakangan ini. Kita tidak dapat memungkiri, ditengah kampanye inklusivisme agama yang jauh dari fobia akan iman yang berbeda, sebaliknya "lintas iman", eksklusivisme justru menguat secara tak terkendali.

Jebakan Toleransi?

Kesalahan pertama, dalam memandang toleransi sebagai jimat kemajemukan keberagamaan terletak pada pandangan sempit bahwa semua agama itu sama. Dalam kenyataannya, agama mempunyai perbedaan besar dalam kepercayaan yang dianut dan dalam praktek religinya. Dengan mengatakan semua agama itu sama, terjadi keengganan mendiskusikan perbedaan-perbedaan yang justru menonjol pada setiap agama. Bahkan disinyalir, perbedaan-perbedaan dipendam suatu waktu menjadi titik konflik antaragama.

Jebakan toleransi kedua, kita mengalami justifikasi agama, bahwa seluruh bentuk kepercayaan agama mempunyai (klaim) kebenaran yang sama dan seimbang tanpa boleh dipertentangkan lagi. Kebanyakan umat beragama percaya bahwa kepercayaan mereka sungguh benar. Pada titik ini, sulit bahkan mustahil mengadakan kritik ke dalam agama akan kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibawa oleh berbagai aspek dalam kepercayaannya itu. Padahal, kemungkinan suatu masa the darkness of religion bisa saja terjadi dan itu didukung oleh penafsiran yang keliru atas kepercayaan agama. Seperti misalnya nafsu perang agama sebagai refleksi dari tuntutan zaman yang mengharuskannya.

Ketiga, dengan memuja toleransi beragama sebagai sesuatu yang kabur, sebetulnya kita sedang terjebak dalam konflik antaragama untuk kedua kalinya. Oleh jargon toleransilah, kita percaya bahwa seluruh iman atas agama-agama selalu menguntungkan dan jauh dari keburukan bagi masyarakatnya. Siapa berani bilang bahwa pengajaran suatu agama ini buruk bagi masyarakat? Toleransi pula yang memenjarakan kita, sehingga kita tidak berani dan tidak jujur dalam mengevaluasi iman kita.

Bahwa fakta-fakta kekerasaan agama selalu dikatakan disebabkan oleh sesuatu diluar agama, sering kita dengar seperti, kemiskinan ekonomi, ketidakadilan sosial, politisasi agama, provokator agama dan sebagainya. Kita tidak berani masuk ke daerah tabu apakah iman agama juga menyokong terhadap kekerasaan, rasisme, perbedaan gender, intoleransi dan sebagainya?

Keempat, toleransi beragama pula yang mengkondisikan pemeluk agama untuk tidak berani mengkritik praktek kepercayaan agamanya, apalagi praktek kepercayaan agama lain. Padahal kritik kepada agama yang dianut, merupakan bagian pendewasan agama itu. Sedangkan kritik kepada agama lain merupakan jalan masuk kepada toleransi beragama yang sejati dan lugas. Akan lebih baik toleransi agama berjalan dengan trasparan, jujur dan langsung pada ganjalan-ganjalan hubungan antaragama. Di zaman Orba kita dihantui tuduhan subversi jika mengutak-atik SARA.

Kelima, akibat lanjutannya, pemeluk agama tidak berani "mempertanyakan (kebenaran) iman kepercayaannya". Bahwa dengan mengimani suatu agama, maka iman itu sudah final, ya dan amin. Dengan tidak berani bergulat dengan kebenaran imannya, seorang pemeluk agama tidak mungkin lagi diharapkan untuk toleransi dengan agama lain. Lebih jauh lagi tidak mungkin ia bergulat atas iman agama lain. Praktek kehidupan lintas iman tidak mungkin ia tempuh. Ia akan terkungkung secara sempit dalam kebenarannya semata. Disini, ia bukan berarti harus mengakui kebenaran orang lain. Pemeluk agama tetap harus mutlak, yakin akan kebenaran imannya sekaligus mengakui realita bahwa ada kebenaran agama lain yang dianut sesamanya dengan tanpa ia harus ikut meyakininya, tetapi ia perlu menghormatinya dan demikian pula sebaliknya yang ia harapkan dari orang lain atas agamanya.

Keenam, tuntutan toleransi beragama sering pula diartikan secara ekstrem dengan tidak mempedulikan cita-cita iman kepercayaannya sendiri. Ia mempercayai Tuhan dan agama, tetapi oleh jargon toleransi yang keliru ia "meniadakan" dan tidak memperdulikan apa yang dianutnya. Atau sebaliknya ia berusaha untuk mengimani seluruh kepercayaan agama-agama (sinkretis) sebagai bentuk kompromi rohani, padahal merupakan toleransi yang salah.

Tiga Pilar

Roh toleransi agama yang benar mempunyai tiga pilar utama, yakni kebutuhan kerendahhatian untuk jalan bersama antarpemeluk agama, pencarian "jalan yang benar" bersama antaragama, evaluasi bersama antaragama yang berbeda. Masalah terpenting dari toleransi beragama bukan pada persoalan bagaimana kita harus bersikap toleran dalam beragama, tetapi lebih pada mengapa kita harus tersinggung dan marah jika agama kita dihina oleh pemeluk agama lain. Inilah akar terdalam mengapa kedok toleransi beragama dari kurun ke kurun tetap menyisakan kekerasan antaragama.

Toleransi hanya topeng, ketika umat agama sebenarnya gagal untuk menjadi umat yang dewasa. Toleransi dengan demikian diyakini baik sebatas tujuan kerdilnya yakni agar umat beragama menahan emosi dalam kemungkinan konflik beragama. Ini berarti sama saja bahwa sebelum toleransi diajarkan kepada penganut agama, sikap dasar dari penganut agama sebenarnya sudah intoleran. Dengan kata lain, oke kita toleran tetapi awas kalau engkau melanggar rambu-rambu toleransi tersebut. Inilah yang memicu terjadinya kekerasan antaragama.

Apapun istilahnya, agar kekerasan antaragama dapat hilang diupayakan agar penjelajahan iman dan agama yang berbeda-beda dapat diterima bersama di antara pemeluk-pemeluknya. Toleransi masih menyisakan jarak religius yang dibentengi dengan kawat berduri. Penerimaan bersama antariman, diantara pemeluk agama berbeda sebaliknya membongkar kawat berduri yang bernama toleransi tersebut. Dari memahami agama sendiri yang eksklusif di satu sisi diubah menjadi memahami agama-agama secara inklusif dan memilih satu bagi dirinya secara eksklusif.

Dengan meletakkan kebersamaan iman, kita tidak perlu mengkampanyekan toleransi. Karena tanpanyapun, toleransi agama sebagaimana dimaknai secara awam -menghormati agama yang berbeda- sudah terjadi bahkan lebih dari itu ia tidak didasarkan pada rambu-rambu ketersinggungan dengan kawat berduri agama yang siap meletuskan emosi. Lebih dari itu, ia didasari oleh kebebasan memilih agama, bahkan memperbaharui imannya secara total jika ia merasa perlu. Ia didasari oleh kelugasannya untuk berganti iman dan bukan didasari dengan sikap mempertahankan secara mati-matian baju iman yang selama ini dipercayai.

Apa yang diperlukan dengan begitu bukan toleransi dalam hubungan antaragama, tetapi evaluasi pertanggungjawaban atas agama yang dipeluknya. Toleransi sebenarnya sudah terbentuk dengan sendirinya ketika seorang pemeluk agama bertanggung jawab bukan hanya pada tuntutan iman percayanya saja tetapi juga dalam praktik keberagamaannya secara sosial.

Penulis adalah Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta

SUARA PEMBARUAN DAILY -- Sabtu, 17 Juni 2006

Tidak ada komentar: