12 Februari 2008

Bias Jender pada Keluarga Bugis-Makassar

Oleh: Ahkam Jayadi
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jul/2002/gendervaw03.htm

JENDER sebagai perbedaan perilaku sosial antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial adalah perbedaan yang bukan kodrat melainkan diciptakan laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu jender selalu dibakukan melalui berbagai institusi yang ada, termasuk di dalamnya institusi keluarga di mana sosialisasi dan internalisasi nilai terjadi. Demikian juga melalui pendidikan, sistem nilai termasuk nilai-nilai agama, sistem politik, ekonomi, dan lainnya.
Dalam pengertian ini, pranata jender menjadi satu ideologi. Artinya, dia merupakan suatu standar, ciri, nilai, norma yang dikuatkan, disosialisasikan, dan dipertahankan, kadang bahkan secara halus atau kasar dipaksakan. Konsep subyektif tersebut kemudian berkembang dalam berbagai alur kehidupan sosial masyarakat yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara peran dan kedudukan perempuan dengan laki-laki.

Masalah ketimpangan jender bukan hanya masalah individual atau domestik yang dapat diselesaikan secara individual dan tertutup, tetapi merupakan masalah sosial yang menuntut pemecahan terbuka, komprehensif, holistik dan berkesinambungan. Dengan demikian persoalan ketimpangan jender dapat disejajarkan dengan persoalan ketidakadilan sosial yang lebih luas lagi, yang dapat bersumber pada perbedaan etnis, ras, dan agama.

Dalam konteks masyarakat suku Bugis Makassar ketimpangan kedudukan dan peran antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga masih banyak terjadi. Pada satu sisi peran dan kedudukan perempuan sangat dihormati setara dengan laki-laki, akan tetapi pada sisi lain perempuan ditempatkan menjadi subordinat laki-laki.

Masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Dalam berumah tangga, seorang suami tidak boleh memperlakukan istrinya sewenang-wenang. Pasang mengajarkan jako parentai bilasang bahinennu, bilasanga jintu nipeppeppi narie erono (jangan diperintah istrimu seperti menyadap aren, hanya aren yang mayangnya dipukul-pukul, baru menetes niranya). Jako parenta deppoki bahinennu, deppoa jinta nitukduppi nahajik (jangan istrimu diperintah seperti menginjak pematang sawah, karena pematang itu dinjak baru baik). Akko larroi punna mata kanrea, anu mata nipallu (jangan marah bila nasi mentah, karena bahannya beras mentah). Mutungi kanu api ritujunna, pecai kanu lau erre (hangus karena nyala api di bawahnya, nasi lembek karena dicampur air pada waktu dimasak).

Demikian juga dalam hal pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan pun menurut Pasang haruslah sama. Alasannya karena perempuan appaulu (menjaga harta di rumah). Selain itu perempuan aktif pula membantu mencari nafkah, misalnya bertenun kain dan membantu pekerjaan di sawah. Juga karena pada waktu kawin, anak laki-laki dibiayai, sedangkan perempuan justru memperoleh baku puli dan kanre anak (hadiah-hadiah perkawinan yang dibawa pengantin laki-laki, yang dikenal dengan erang-erang).
Ungkapan di atas jelas memperlihatkan konsepsi yang dikotomis, yaitu suami dan istri secara hukum (adat) sama kedudukannya akan tetapi dalam praktik perempuan masih menjadi subordinat laki-laki.

Nurfaidah Said dalam penelitiannya (2001) banyak mengungkap hal itu, termasuk kedudukan dan peran perempuan yang masih berputar pada peran domestik. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam hal tanah mahar perempuan pada umumnya tidak menguasai tanah tersebut. Tanah mahar berada dalam penguasaan suami dan keluarganya.

Bias jender lebih jauh terlihat pada proses perkembangan kehidupan perempuan Bugis Makassar berikut ini. Pembentukan perempuan di masyarakat Bugis melalui beberapa tahap proses, yaitu:

1. Mancaji makkunrai (makke =memiliki, dan unrai = penutup badan). Diharapkan agar perempuan mampu menjaga diri untuk tidak mendapat malu karena sudah memiliki penutup atau pencegah segala kemungkinan yang dapat mendatangkan rasa malu, baik bagidirinya pribadi maupun segenap keluarganya.

2. Mancaji misseng dapureng. Tahap kedua ini pendidikannya diarahkan supaya anak perempuan yang meningkat gadis ini mengenal dapur. Maksudnya mengenal masalah-masalah yang berkaitan dengan fungsi dapur.

3. Mancaji imattaro. Selanjutnya anak perempuan yang berusia sekitar 14-16 tahun diperkenalkan untuk mampu matutuui lisek pabbaresseng, yaitu menjaga baik-baik isi pemberasan (tempat menyimpan beras persediaan). Hal ini juga berarti mampu menyimpan perolehan suaminya jika ia telah berkeluarga, berhati-hati mengambil dan mengeluarkannya.

4. Mancaji baliperri, pendidikan ketika berumur sekitar 17 tahun ke atas. Pada waktu menjadi istri maka ia benar-benar harus mampu mengendalikan kebutuhan rumah tangga, sebagai pendamping suami yang setia dalam keadaan suka dan duka. Pada tahap ini, perempuan sebagai istri memainkan peranan mancaji baliperri.

5. Makkunrai serupa inilah seorang worowane (suami) akan selalu merindukannya; keduanya sudah menjadi sibaliperri. Konsep nilai ini juga jelas memperlihatkan peran domestik perempuan Bugis Makassar untuk hanya terposisi pada hal-hal yang berbau rumah tangga, dapur, sumur dan kasur.

Upaya menghilangkan budaya patriarki dalam keluarga suku Bugis Makassar, dapat dilakukan dengan meningkatkan usaha pemberdayaan perempuan melalui dua pendekatan.

Pertama, di kalangannya sendiri secara individu, secara kelompok atau bersama-sama untuk saling memberdayakan, baik dalam kelompok atau dalam organisasi perempuan.

Kedua, perempuan sebagai mitra sejajar kaum pria, saling menghormati dan menghargai guna menimbulkan usaha saling mendukung dan mendorong, dalam mengembangkan potensinya sehingga menjadi makhluk manusia yang mandiri tetapi tetap pada kepribadiannya, tidak ada tekanan, paksaan, dan pilihan.

Perempuan harus bebas menentukan keinginannya. Sebenarnya bila kita teliti berbagai etnis di Indonesia, maka pola bias jender dalam keluarga (hubungan suami-istri) umum terjadi. Bias jender dalam keluarga bukan hanya terjadi pada masyarakat Bugis-Makassar. Apa yang penulis tulis ini hanyalah salah satu fakta dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain bias jender hingga kini masih perlu perjuangan gigih untuk menghilangkannya.

Sesungguhnya perjuangan perempuan menuju kepada kesetaraan dan kemitrasejajaran pengertiannya bukan untuk menguasai dan dikuasai yang menimbulkan penindasan atau eksploitasi. Oleh karena itu kemitraan dan kesejajaran di sini mempunyai arti perempuan dan pria, atau suami-istri, sama-sama saling membutuhkan untuk mencapai tujuan bersama tidak bisa dilakukan sendiri.

Pada hakikatnya kesadaran seperti ini merupakan semangat demokrasi yang berarti juga memperkuat semangat keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Akselerasi upaya pemberdayaan tersebut tentu saja memerlukan dukungan institusi pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat agar memiliki kesadaran pentingnya kemitra-sejajaran antara perempuan dan laki-laki.

AHKAM JAYADI SH MH Peneliti pada Pusat Studi Wanita IAIN Alauddin Makassar

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/22/dikbud/bias34.htm

Tidak ada komentar: