04 Juni 2009

Isteri Ayub

Inspirasi khotbah: (Ayub 2:1-13)
oleh Zakaria Ngelow

Kitab Ayub adalah diskusi teologis mengenai penderitaan, yang dibingkai dalam kisah penderitaan seorang kaya yang saleh. Dengan persetujuan Allah, Iblis mendatangkan penderitaan atas Ayub: harta bendanya yang banyak musnah, anak-anak dan menantunya sekaligus mati dalam suatu kecelakaan, dan kemudian Ayub sendiri menderita penyakit: “lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya.” (2:7). Diskusi teologis mengenai penderitaan berlangsung antara Ayub dengan ketiga sahabatnya: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama. Mereka bersama-sama datang membezuk Ayub dan bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. Mereka terdiam melihat penderitaan Ayub. Dan setelah “mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam”, mereka bicara kepada Ayub, masing-masing mempertanyakan mengapa Ayub ditimpa penderitaan separah itu. Kesimpulan mereka adalah penderitaan Ayub diakibatkan oleh dosanya kepada Tuhan. Tetapi Ayub menyanggah bahwa dia secara tersembunyi melawan Tuhan. Kemudian seorang sahabat muda juga ikut dalam perdebatan, bernama Elihu bin Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram (fasal 32-36). Diskusi diakhiri dengan jawaban TUHAN dari dalam badai (fasal 38) yang membenarkan Ayub, dan mepersalahkan pandangan ketiga sahabatnya. Ayub dipulihkan dalam kekayaan, keturunan dan kebahagiaan ...

Selain sahabat-sahabatnya, Ayub didampingi isterinya. Sebagaimana kebanyakan perempuan dalam Alkitab, nama isteri Ayub tidak disebutkan. Tradisi Islam mengenalnya dengan nama Liah. Tradisi Yahudi menyatakan bahwa dia adalah Dinah, anak Yakub (Kej 30:1, kisah perkosaannya dalam Kej 34). Di dalam gereja, umumnya isteri Ayub tidak dihormati, dianggap seorang yang tidak setia kepada Tuhan, karena menyarankan kepada Ayub supaya di tengah penderitaannya, jangan lagi Ayub terus bertekun dalam kesalehan, melainkan “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (ay 9). Jadi, dia disamakan dengan Hawa dan para perempuan penggoda yang melawan Allah dan melemahkan iman. Dalam naskah asli Alkitab bahasa Ibrani, isteri Ayub tidak mengatakan “kutukilah” melainkan “pujilah” (%rEïB'), jadi dia berkata “Pujilah Allahmu dan matilah!” Para penerjemah Alkitab sepakat menerjemahkan “terkutuklah” karena “pujilah” bermakna menghaluskan (gaya bahasa eufemisme) ungkapan kutuk. Ayub menegurnya: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).Dalam konteks agama-agama lain pada masanya, orang memuja-muja dewa-dewi kalau mereka mendapat keberuntungan, sebaliknya mereka mengutuk jika mereka ditimpa kemalangan. Ayub menegaskan bahwa dalam relasi dengan Tuhan Allah, maka entah nasib untung atau nasib malang, tetaplah Tuhan harus dimuliakan. Ayub menyebut isterinya “perempuan gila” (tAlb'N>h; Inggeris: foolish woman). Dengan menyebutnya “perempuan gila” suatu cap negatif diberikan kepadanya. Kata Ibrani “nabal, lb'n"” berarti bodoh atau bebal, dalam hubungan dengan agama, yakni tidak mengenal dan menaati Allah (band. Mzr 14: 1), bukan kebodohan secara intelektual atau emosional.

Para penafsir feminis mengikuti pandangan positif di kalangan sebagian rabbi Yahudi yang memandang isteri Ayub sebagai teladan iman. Lebih dari siapapun, dialah yang paling tahu dan turut merasakan penderitaan Ayub. Ketika Ayub kehilangan harta bendanya dalam sekejab, ketika kesepuluh anak-anak dan menantunya tewas secara massal tertimpa bencana, dialah yang mendampingi Ayub, dan sungguh menderita bersamanya. Bukankah harta itu mereka punya? Bukankah anaka-anak dan menantu yang tewas anak-anak dan menantunya juga? Dia senang dan susah bersamanya dan sungguh menanggung penderitaan yang mendalam. Tetapi ketika Ayub menderita penyakit “barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya” sehingga Ayub “mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu” – isteri Ayub tidak bisa menahan diri lagi. Dalam empati yang mendalam dia lebih suka melihat suami tercinta mati saja daripada menderita sesengsara itu. Beberapa rabbi Yahudi berpendapat bahwa usulannya supaya Ayub “menghujat Allah, lalu mati” lebih pada ketakutannya jangan-jangan Ayub tidak tahan lagi lalu menyerah sehingga Iblis menang. Jadi kata-kata isteri Ayub itu bermakna: “Kamu tidak akan tahan semua derita dan tekanan ini, yang lambat laun akan membawamu kehilangan iman. Maka sebaiknya mohonlah pada Tuhan supaya kamu secepatnya mati, sehingga dapat meninggal dunia dalam keadaan setia, benar dan tidak tergoda”.

Jadi manakah yang anda dapat beritakan? Kehidupan beriman menghadapi banyak tantangan, karena setiap kesempatan dipakai oleh Iblis untuk menjatuhkan iman kita. Penting pula solidaritas jka ada sahabat yang susah. Jika anda mengikuti pandangan negatif terhadap isteri Ayub, nasihatilah jemaat untuk tidak mendorong suami jatuh ke dalam dosa. Jika anda mengikuti pandangan positif, nasihatilah jemaat untuk hidup dalam kasih, dan saling menguatkan dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.

***

Tidak ada komentar: