|
Hiduplah Dalam Pedamaian Dengan Semua Orang bdk Roma 12:18) |
Kepada segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada. Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus. 1. Di tengah sukacita Natal, perayaan kelahiran Yesus Kristus, marilah kita melantunkan mazmur syukur ke hadirat Allah. Ia datang ke dalam dunia untuk membawa damai bagi seluruh umat manusia. Kedatangan-Nya mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia telah merubuhkan tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kukuh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.). Peristiwa Natal, sebab itu dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri. Umat Kristiani memahami dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Selama ini kita telah tinggal dalam rumah bersama, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam kerukunan dan kedamaian. Namun, akhir-akhir ini rumah kita dipenuhi dengan berbagai ketegangan, bahkan krisis. Keberadaan negara sebagai rumah bersama tidak lagi dipahami dengan baik oleh para warga bangsa. Berbagai benturan antarkelompok dalam masyarakat membuat warga tidak lagi dapat hidup damai. Berbagai kelompok berusaha menunjukkan kekuatan mereka di hadapan kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman. Dalam usaha untuk memberi rasa aman kepada seluruh warga negara, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengambil langkah-langkah nyata menuju kebersamaan yang rukun dan damai. Kita merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman bagi warga negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Memang banyak usaha positif untuk menciptakan perdamaian telah dilakukan oleh seluruh komponen bangsa. Namun, usaha ini belum mencapai hasil yang diharapkan secara maksimal dan masih harus terus dilakukan secara terarah, berencana dan berkualitas. 2. Dalam suasana hari raya Natal, kelahiran Yesus, Sang Raja Damai, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk mendengarkan nasihat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma. Ia menasihati Jemaat untuk hidup dalam damai dengan semua orang. Untuk itu Rasul Paulus mengajak mereka untuk memberkati sesama, termasuk orang yang menganiaya mereka (Rm. 12:14). Memberkati berarti memohon agar Allah melimpahkan kasih karunia, damai sejahtera dan perlindungan (bdk. Kej. 27:27-29; Ul. 33; 1Sam. 2:20). Nasihat Rasul Paulus ini menggemakan kembali ajaran Yesus: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Luk. 6:27-28; Mat. 5:44). Agar Jemaat dapat hidup dalam damai dengan sesama, Rasul Paulus mengajak Jemaat untuk bersukacita dengan orang yang besukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:14; bdk. Mat. 5:3; Luk. 6:20; Mat. 25:31-46). Ia juga menasihati Jemaat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12:17). “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm. 12:21). Ketika orang membalas kejahatan dengan kejahatan, sebenarnya orang itu telah dikalahkan oleh kejahatan. Siapa yang melakukan kejahatan, ia telah dikendalikan oleh kejahatan itu sendiri dan telah melakukan kejahatan yang ia lawan. Ketika orang mengalami perlakuan jahat dari orang lain, tidak perlu membenci pelakunya dan menolak berhubungan dengannya, tetapi tetap ramah terhadapnya, bahkan terbuka untuk menolong orang itu bila ia mengalami kesulitan. Selayaknya umat Kristiani memperlakukan orang lain dengan kemurahan hati (bdk.Rm. 12:20a). 3. Semangat yang diajarkan oleh Rasul Paulus kepada Jemaat Roma itu kiranya juga menjadi semangat umat Kristiani di Indonesia, yang hidup dalam masyarakat majemuk yang terus berubah. Dinafasi oleh semangat Natal, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk: a. melibatkan diri secara proaktif dalam berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum dalam mewujudkan Indonesia sebagai rumah bersama. Berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat perlu dihadapi secara bersama-sama dan diselesaikan dengan cara-cara dialog. b. ikut mengambil bagian secara sungguh-sungguh dalam usaha-usaha menciptakan persaudaraan sejati di antara anak-anak bangsa dengan membangun kehidupan bersama di komunitas masing-masing, serta peka dan tetap berusaha ramah terhadap lingkungan sekitar. c. mengalahkan kejahatan dengan kebaikan dan jangan sampai dikalahkan oleh kejahatan. Kita perlu menyadari bahwa musuh kita bukanlah sesama warga, melainkan kejahatan yang bisa menggerakkan orang untuk berlaku jahat dan menyakiti sesama. Maka, marilah kita melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya supaya jangan ada ruang dimana kejahatan dapat merajalela. Demikianlah pesan kami, Selamat Natal 2008 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2009. Tuhan memberkati. Atas nama Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt. Dr. A.A. Yewangoe Ketua Umum Pdt. Dr.Richard M. Daulay Sekretaris Umum Konferensi Waligereja Indonesia Mgr. Martinus D. Situmorang, O.F.M.Cap Ketua Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, M.S.F. Sekretaris Jenderal |
10 Desember 2008
Tema Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2008
Perayaan Natal
24 Desember malam: perayaan Natal;
25 Desember kebaktian Natal;
1 Januari sunat dan pemberian nama Yesus;
6 Januari hari Tiga Raja (kunjungan Orang Majus)
Warna: Putih
Kata “natal” dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir). Dahulu juga dipakai istilah Melayu-Arab, maulid. Dalam bahasa Inggeris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggeris purba Cristes Maesse (1038)atau Cristes-messe (1131), yang berarti Misa Kristus. Christmas biasa pula ditulis Xmas, suatu penyingkatan yang cocok dengan tradisi Kristen, karena huruf X dalam bahasa Yunani merupakan singkatan dari Christus.
Perayaan Natal baru dimulai pada sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir). Para teolog Mesir menunjuktanggal 20 Mei tetapi ada pula pada 19 atau 20 April. Di tempat-tempat lain perayaan dilakukan pada tangal 5 atau 6 Januari; ada pulapada bulan Desember. Perayaan pada tanggal 25 Desember dimulai pada tahun 221 oleh Sextus Julius Africanus, dan baru diterima secara luas pada abad ke-5. Ada berbagai perayaan keagamaan dalam masyarakat non-Kristen pada bulan Desember. Dewasa ini umum diterima bahwa perayaan Natal pada tanggal 25 Desember adalah penerimaan ke dalam gereja tradisi perayaan non-Kristen terhadap (dewa) matahari: Solar Invicti (=Surya tak Terkalahkan), dengan menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Surya Agung itu sesuai berita Alkitab (lihat Mal. 4:2; Luk 1:78; dan juga Kid 6:10). Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember; dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Beberapa gereja Ortodoks merayakan Natal pada tanggal 6 Januari. Perayaan-perayaan malam Natal dewasa ini oleh berbagai persekutuan Kristen di dalam dan di luar gereja menjadikan bulan Desember bulan perayaan Natal, sehingga perayaan minggu-minggu Advent kehillangan tempat dan maknanya.
Banyak tradisi perayaan Natal yang merupakan pengembangan kemudian dengan menyerap unsur berbagai kebudayaan. Pohon natal di gereja atau di rumah-rumah mungkin berhubungann dengan tradisi Mesir, Cina atau Ibrani kuno. Ada pula yang menghubungkannya dengan pohon khusus di taman Eden (lihat Kej 2:9). Tetapi dalam kehidupan pra-Kristen Eropa memang ada tradisi menghias pohon dan menempatkannya dalam rumah pada perayaan tertentu. Tradisi “Pohon Terang” dewasa ini berkembang dari Jerman pada abad ke 18.
Terdapat pula tradisi mengiri Kartu Natal, yang dimulai pada tahun 1843 oleh John Callcott Horsley di Inggeris. Biasanya dengan gambar yang berhubungan dengan kisah kelahiran Yesus Kristus dan disertai tulisan: Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. Dewasa ini orang memakai teknologi informasi (email) berkirim kartu Natal elektronik.
Juga dalam rangka perayaan Natal dikenal di Indonesia tradisi Sinterklaas, yang berasal dari Belanda. Tradisi yang dirayakan pada tanggal 6 Desember ini, berhubungan dengan St. Claus (Santa Nikolas), seorang tokoh legenda, yang mengunjungi rumah anak-anak pada malam dengan kereta salju terbang ditarik beberapa ekor rusa kutub (termasuk Rudolf yang berhudung merah) membagi-bagi hadiah. Dalam dunia moderen, perayaan Natal secara sekuler lebih menekankan aspek saling memberi hadiah Natal, sehingga ada yang beranggapan Santa Nikolas makin lebih penting daripada Yesus Kristus. Dalam tradisi Sinterklass Belanda – tokoh yang digambarkan oleh suatu iklan minuman Amerika sejak tahun 1931 sebagai seorang tua gendut, bercambangbauk putih dan berpakain merah dengan sepatu bot, ikat pinggang hitam, dan topi runcing lembut ini – menjadi bagian dari acara keluarga (untuk mendisiplin anak-anak) dengan mengunjungi rumah-rumah disertai pembantu berkulit hitam (Zwarte Pit) yang memikul karung berisi hadiah untuk anak yang baik; tetapi karung itu juga tempat anak-anak nakal dimasukkan untuk dibawa pergi.
Aspek lain perayaan Natal adalah lagu Natal. Kisah Kitab Suci tentang kelahiran Yesus memang menyebutkan adanya pujiaan malaekat sorga (Luk 2: 143-14). Di dalam gereja sejak abad pertengahan berkembang lagu-lagu Natal. Tetapi dewasa ini banyak lagu Natal tidak lagi terkait dengan berita Alkitab. Salah satu lagu Natal paling populer adalah Malam Kudus oleh Franz Joseph Gruber, syairnya digubah dalam bahasa Jerman oleh Pastor Joseph Mohr. Lagu ini pertama kali dinyanyikan pada malam Natal, 24 Desember 1818 di gereja Santo Nikolas di Oberndorf, Austria. Lagu ini sudah diterjemahkan ke dalam ribuan bahasa termasuk beberapa versi bahasa Indonesia, dan beberapa bahasa daerah. Rupanya belum ada terjemahannya dalam bahasa Bugis, maka warga Kristen dari etnis Bugis perlu mengupayakan secepatnya. Berikut beberapa terjemahan:
(Bahasa Makassar)
Bangngi lebang, sino sino
Linoa tinromi
Rua mami tena natinro
Mangge amma' sannang nyawana
Ana' tinro sannang
Ana' tinro sannang.
(Bahasa Toraja)
Makarorrong, bongi maindan
Parrangmo, bintoen
Jurus’lama’na to lino,
Dadi lan kapadangan-Na
Kristus anak Daud
Kristus anak Daud
(Bahasa Indonesia)
Malam kudus sunyi senyap siapa yang b'lum lelap
ayah bunda yang tinggallah t'rus, jaga Anak yang Maha Kudus
Anak dalam malaf, Anak di dalam malaf.
Hai, lihatlah! di Efrata t'rang besar turunlah
waktu tentra surgawi megah puji Allah sebab nikmatnya
ingat dunia yang g'lap, ingatlah dunia yang g'lap.
Karna salam amat besar patutlah bergema
bagi dunia yang t'lah tercerai dari Allah di b'ri Almasih
jadi pohon khalas, jadi k'lak pohon khalas.
(Bahasa Inggeris)
Silent night, Holy night
All is calm, all is bright
Round yon virgin Mother and Child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace
Silent night, holy night
Shepherds quake at the sight
Glories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing Hallelujah
Christ the Saviour is born
Christ the Saviour is born
Silent night, holy night
Son of God, love's pure light
Radiant beams from Thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus, Lord at Thy birth
Jesus, Lord at Thy birth
(Disarikan dari berbagai sumber oleh Zakaria Ngelow)
07 Desember 2008
Perayaan Masa Advent
Perayaan Masa Advent
Masa Advent adalah 4 minggu sebelum Hari Natal. Dalam Minggu-minggu Advent dirayakan mulai hari Minggu antara 27 November - 3 Desember.
Warna liturgis: Ungu, tetapi pada hari Minggu Advent ke-3 (Minggu Gaudete) bisa warna merah. Warna ungu menunjuk sekaligus pada aspek pengakuan dosa dari umat yang bersiap menyambut kedatangan Tuhan, namun juga keanggunan Dia yang dinantikan kedatangannya itu.
Makna: menyambut kedatangan Yesus (baik kedatangan yang pertama maupun yang kedua)
Referensi Alkitab: Yes 2:1-5,7:10-14, Yer 33:14-16, Zef 3:14-18, Mik 5:2-5a, Mat 24:37-44, Rom 13:11-14
Kata “advent” dari bahasa Latin adventus (Yunani: parousia) berarti “kedatangan” atau “tiba”, yang dihubungkan dengan kedatangan Yesus sebagai Mesias. Doa, ibadah dan perayaan masa ini mengacu pada kedatangan Yesus yang lahir di Betlehem, dan mempersiapkan kita pada kedatangannya sebagai Raja yang mulia kelak.
Sebab itu bacaan Alkitab Perjanjian Lama mengenai nubuatan-nubuatan kelahiran-Nya, maupun dari Perjanjian Baru mengenai kedatangan-Nya sebagai Hakim seluruh umat manusia. Juga dibaca perikop mengenai Yohanes Pembaptis, yang menjadi bentara bagi kedatangan Mesias.
Salah satu dokumen gerejawi mengenai Advent menyatakan:
Ketika gereja merayakan liturgi Advent setiap tahun, maka gereja memperhadapkan pengharapan kedatangan Mesias dahulu kala, sebab dengan turut dalam pengharapan umat Allah silam itu akan kedatangan-Nya yang pertama, umat beriman membaharui kerinduannya yang bernyala-nyala pada kedatangan-Nya yang kedua.
Pengharapan Mesianis umat Allah menjelang kelahiran Yesus bersifat politik. Mereka yang dijajah bangsa Romawi waktu itu mengharapkan seorang Mesias (Juruselamat) yang bisa membebaskan umat itu dari kekuasaan politik bangsa kafir. Tetapi gereja memahami bahwa memang Yesus adalah Raja dalam Kerajaan Allah yang melampaui bentuk-bentuk kekuasaan politik duniawi. Mereka menantikan kedatangan-Nya yang kedua untuk mewujudkan secara penuh statusnya sebagai “pemegang segala kuasa di sorga dan di bumi” (lihat Mat 28: 19).
Sifat perayaan Advent adalah pengakuan dosa, supaya membaharui hidup menyambut kedatangan Tuhan, dan karena itu liturgnya lebih tenang, tidak bercorak kegembiraan. Lagu-lagu gereja yang gembira tidak dinyanyikan. Perayaan Advent cocok untuk pembinaan keluarga, misalnya dengan menjadikan masa Advent sebagai Pekan Keluarga. Sayangnya di Indonesia masa ini sudah diisi dengan perayaan-perayaan
Perayaan Advent sudah berlangsung sejak abad ke-4, dalam bentuk persiapan menyambut perayaan
Baik bangun dan bersedia, berjaga dan nantilah
Sep’ri jamu yang setia, merindukan waktunya
Panggilanmu yang mulia, sekarang t’lah hampirlah
Lengkapkan dirimu seg’ra, sebentar b’ri jawab
Supaya jangan adalah halangan dan sebab.
Jaga dan nanti, tukarlah p’ri
Sedia hati, hidup yang bersih
Buang dan ganti, perangai yang keji.
Disarikan dari berbagai sumber oleh Zakaria Ngelow
Perayaan Hari Pentakosta
Warna Liturgis: Merah
Jenis Hari Raya: Pesta
Waktu: 50 hari sesudah Paskah
Lama perayaan: satu hari (dahulu seminggu penuh)
Pokok Perayaan: Ketuangan Roh Kudus dan lahirnya Gereja
Nama Lain: Minggu Putih
Referensi Alkitab: Kis 2:1-11
Perayaan Pentakosta: tanggal 31 Mei 2009; 23 Mei 2010; 12 Juni 2011; 27 Mei 2012.
Pada waktu Tuhan Yesus
Dengan murid-Nya di Bukit Zaitun
Datanglah awan yang khabus
Tuhan Yesus pun terangkatlah
Ke dalam t’rang.
Reff
Tuhan Yesus sabdalah:
Hai, janganlah kamu cerai
Dari negeri Yerusalem
Nantikanlah, nantikan janjian Bapamu.
Kemudian s’puluh hari
Datanglah Roh yang dijanjikan-Nya
Hinggap di kepala rasul
Dialah pemimpin, satu orang berkuasa penuh
Demikianlah dalam penanggalan gereja hari Pentakosta dihubungkan dengan hari pencurahan Roh Kudus kepada para rasul (Kis 2: 1 dst). Hari Pentakosta disebut juga hari Minggu Putih (Whitsunday) karena dahulu di Barat orang-orang yang dibaptis pada malam menjelang hari perayaan itu memakai pakaian putih. Tetapi pejabat gereja memakai pakaian warna merah, karena merujuk pada api Roh Kudus. Hari Pentakosta juga dihubungkan dengan lahirnya gereja. Umumnya perayaan Pentakosta dikaitkan dengan peran pembaharuan, persekutuan dan karunia-karunia Roh Kudus bagi orang percaya. [Sebagai aliran gereja, nama Pentakosta pada mulanya muncul pada awal abad lalu di Amerika Serikat, dan merupakan gerakan pembaharuan yang menekankan kuasa dan karunia-karunia Roh Kudus, khususnya penyembuhan ilahi dan bahasa lidah.]
Latar Belakang Yahudi
Latar belakang perayaan Pentakosta adalah suatu perayaan Yahudi, salah satu dari tiga perayaan utama: Paskah, Tujuh Minggu, dan Pondok Daun. Perayaan-perayaan dalam agama Yahudi terhubung dengan pesta-pesta kebudayaan agraris kuno, dan sebagai peringatan peristiwa-peristiwa sejarah bangsa itu. Paskah yang diperingati dalam rangka peristiwa keluaran dari Mesir adalah perayaan awal panen, dengan mempersembahkan berkas jelai (persembahan unjukan Bil 23:15), yang diakhiri dengan perayaan Tujuh Minggu (lazim disebut Shavuot), yaitu hari kelima puluh setelah Paskah, dengan mempersembahkan dua roti yang dibuat dari panen hulu hasil gandum. Hari raya Pondok Daun dirayakan seminggu setelah panen buah-buahan (anggur, zaitun, kurma dsb Ul 16: 9 dst). Di Palestina dikenal hasil bumi utama: gandum, jelai, pohon anggur, pohon ara, pohon delima, pohon zaitun, dan pohon kurma (band Ul 8:8). Tema dasar seluruh perayaan panen itu dirangkum dalam Mzr 65:10-11
Engkau mengindahkan tanah itu, mengaruniainya kelimpahan, dan membuatnya sangat kaya. Batang air Allah penuh air; Engkau menyediakan gandum bagi mereka. Ya, demikianlah Engkau menyediakannya: Engkau mengairi alur bajaknya, Engkau membasahi gumpalan-gumpalan tanahnya, dengan dirus hujan Engkau menggemburkannya; Engkau memberkati tumbuh-tumbuhannya.
Tetapi istilah Pentakosta tidak terdapat dalam Perjanjian Lama; penamaan Pentakosta (Yunani:
Menurut Kel 34: 18-26 (band 33: 10-17), perayaan Tujuh Minggu ini adalah yang kedua dari tiga perayaan yang dirayakan dengan tarian altar kaum pria di tempat suci. Mereka harus membawa buah sulung dari panen gandum (Ul 16:9-12), yang dilaksanakan dalam suatu upacara penyembahan yang menggabungkan tradisi pertanian dengan sejarah
Dalam Im 23: 15-22 juga diatur persembahan pada perayaan ini, berupa 2 roti beragi dari tepung gandum panen perdana. Bentuknya berombak sehingga disebut “roti berombak”. Dan karena roti itu beragi tidak dapat diletakkan di mezbah (Im
Dalam tradisi Yahudi kemudian hari, perayaan Pentakosta juga dihubungkan dengan hari lahir Torat (pemberian hukum-hukum Tuhan di Sinai), yang dirayakan dengan membaca Torat semalam suntuk atau sampai tengah malam. Bagian-bagian bacaan Kitab Suci adalah sbb:
* Hari-hari Penciptaan (Kej 1:1 - 2:3);
* Keluaran dan Nyanyian di Laut Merah (Kel 14:1 - 15:27)
* Pemberian 1o Hukum di Sinai (Kel 18: 1 - 20:26; 24:1-18; 34: 27-35; Ul 5: 1 - 6:9)
* Sejarah dan bagian dari “Dengarlah” (Ul 10:12 - 11:25)
* Kkitab nabi-nabi: Yehezkiel fasal 1; Hos 1:1-3; Hab 2:20-3:19; dan Mal 3:22-24.
* Kitab Rut dibaca seluruhnya;
* Mazmur: 1, 19, 68, 119, 150.
Karena Torat dikaruniakan pada hari Pentakosta, para Rabbi Yahudi menjadikannya hari raya gembira. Seorang rabbi terkemuka menetapkan supaya dihidangkan anak lembu terbaik, karena sekiranya Torat tidak dikaruniakan Tuhan maka tidak akan muncul para rabbi terpelajar di kalangan umat itu. Perayaan Paskah dan Pentakosta, yang merupakan satu rangkaian, kemudian menjadi salah satu alasan tradisi mudik orang Yahudi diaspora ke Yerusalem setiap tahun (band Kis 2:5).
Kemudian hari berkembang kebiasaan memakan makanan olahan dan kue keju dari susu sapi untuk menghormati Torat, yang rasanya seperti “madu dan susu” (band Kid
Di sinagoge gulungan kitab Rut dibaca karena berisi kisah Rut sebagai orang asing yang menerima agama Yahudi, dan adanya ceritera mengenai panen, yang cocok menghubungkan Pentakosta sebagai perayaan Torat dan perayaan panen. Juga dipercaya bahwa Raja Daud, yang adalah keturunan Rut, wafat pada hari Pentakosta.
Pada perayaan Pentakosta orang Yahudi menghiasi rumah dan sinagoge dengan daun-daunan, dan pohon-pohonan, yang berhubungan baik dengan dunia pertanian maupun dengan pengalaman perjalanan keluaran di
Pada perayaan Pentakosta dilakukan konfirmasi (=sidi) bagi para pemuda Yahudi; suatu tradisi dari kalangan pembaru agama Yahudi. Hari Pentakosta sebagai hari lahir Torat, juga dirayakan sebagai hari lahir agama Yahudi.
Demikianlah perayaan Pentakosta Yahudi meliputi:
• Sidi bagi para pemuda (khusus komunitas Yahudi reformis)
• Pembacaan puisi liturgis pada ibadah pagi di sinagoge
• Makan makanan olahan dari susu, seperti keju dan mentega
• Pembacaan kitab Rut pada ibadah pagi
• dekorasi rumah dan sinagoge dengan daun-daunan
• Melakukan studi Torah sepanjang malam.
Beberapa Tradisi Pentakosta dalam Gereja:
* Di Italia terdapat tradisi menghambur kelopak-kelopak bunga mawar merah dari langit-langit gereja sebagai peringatan mujizat keturunan Roh Kudus. Sebab itu hari Pentakosta disebut pula Pasqua rosatum atau Pascha rossa (Paskah Merah).
* Di Perancis orang meniup terompet untuk mengingat suara angin gemuruh ketika keturunan Roh Kudus.
* Di Rusia orang membawa mawar dan ranting-ranting pohon ke gereja.
* Dalam Gereja Ortodoks Timur berlangsung doa puitis dan pembacaan Mazmur serta ibadah khususk sepanjang malam menjelang Pentakosta. Pada kebaktian Pentakosta biasanya berlangsung baptisan, dan hari Minggu Pentakosta itu disebut Hari Minggu Tritunggal.
* Di Libanon, hari Pentakosta menandai berakhirnya musim dingin. Sesudah kebaktiasn keluarga-keluarga pergi ke hutan berpiknik menikmati musim semi. Anak-anak bermain ayunan, yang digantung di cabang-cabang pohon (pinus, zaitun, araz).
* Di Polandia, Pentakosta disebut “Hari Raya Hijau”. Orang menghias rumah mereka dengan cabang-cabang hijau, sebagai tanda berkat Tuhan bagi penghuninya. Dahulu ada arak-arakan ke
* Di Ukraina, Pentakosta disebut Hari Minggu Hijau. Bagian dalam gereja dihiasi daun-daun yang gugur, dan pada pintu dan tangga ditaruh ranting-ranting. Pejabat gereja dan anak-anak altar memakai pakaian hijau; demikian juga sejumlah warga gereja. Hal ini untuk memperingati tiga ribu orang yang dibaptis pada hari Pentakosta; mereka memasuki kehidupan baru yang ditandai dengan warna hijau. Warna hijau juga menunjuk pada pengaruh perayaan dan pemahaman Yahudi.
* Di Negeri Belanda, Pentakosta disebut "Pinksteren", dan hari Senin besoknya adalah hari libur nasional. Karena satu-satunya hari libur sebelum hari Natal, dan yang umumnya dengan maka
di musim yang cerah, maka dilakukan bazar dan festival, terutama Pinkpop , sesuai nama Pentakosta dalam bahasa Belanda, Pinksteren.
Kesimpulan
Tradisi perayaan hari Pentakosta mengandung nilai-nilai dari latar belakang perayaan panen dan penerimaan Torat Yahudi, maupun tradisi Kristen mengenai Roh Kudus dan lahirnya Gereja.
Disarikan dari berbagai sumber
oleh Zakaria J. Ngelow
05 Juli 2008
Pemberdayaan Perempuan Dalam Pelayanan Gereja Dewasa Ini
http://mindawatiperanginangin.wordpress.com/
Judul di atas adalah yang diberikan oleh panitia penerbitan buku Jubileum 50tahun CCA kepada saya. Pilihan judul,mungkin karena gabungan bahwa saya perempuan dan yang sekarang mengemban sebagai Kepala Bidang Personalia dan sumber Daya Manusia (SDM) GBKP. Ruang lingkup perempuan dalam judul, acap akan saya persempit menjadi pendeta perempuan. Berbicara tentang pendeta perempuan, haruslah juga berbicara tentang pendeta lelaki, seperti ketika berbicara tentang perempuan dalam pengertian umum, haruslah juga membicarakan laki-laki. Karena keduanya adalah satu keutuhan yang saling melengkapi.
Pemberdayaan pendeta perempuan (dan lelaki) dalam pelayanan gereja dewasa ini diawali dari penggodokan di sekolah teologi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dan yang paling ampuh untuk memberdayakan manusia adalah melalui pendidikan. Sehingga pemberdayaan pendeta baik perempuan ataupun lelaki dalam pelayanan gereja dewasa ini dimulai dari pendidikan di sekolah Teologia. Sayang bahwa sekolah teologia, tidak hanya di Amerika tapi juga di Indonesia, kurikulum dan aktivitas di luar sekolah tidak terlalu berhubungan dengan kebutuhan gereja kini dan nanti.[i][ii]
Sebenarnya saya pikir gereja dan sekolah teologia di Indonesia belum menyadari sepenuhnya akan dimana dan mau kemana ia. Sehingga bentuk dan isinya masih didominasi warisan lama, padahal zaman sudah berubah.[iii]
Dalam berteologia kontekstual, dimana mayoritas gereja di Indonesia adalah gereja suku, gereja masih sangat gamang dalam menempatkan inkulturasi[iv] di dalam konteks Pancasila sebagai civil religion.[v] Penekanan muatan lokal sangat dominan, sehingga warna dan rasa nasional menjadi samar, padahal yang ditawarkan dalam kehidupan sehari-hari sarat dengan pengaruh global (hybrid complexity). Mendialogkan ketiga konteks sehingga menghasilkan ciri kas Indonesia, gereja dan sekolah teologia masih terbata. Bisa dikatakan bahwa kemampuan menganalisa konteks kini dan memprediksi konteks nanti, untuk mempersiapkan masa transisi kepemimpinan ataupun/dan generasi, belum membudaya.
Ketika gereja dan sekolah teologia belum menyadari sepenuhnya akan siapa, dimana dan mau kemana ia, bagaimana ia bisa diharapkan untuk menciptakan pengkaderan dengan sengaja? apalagi untuk melakukan pemberdayaan khusus pendeta perempuan untuk trampil melayani di konteks kini dan nanti?
Konsep gereja, struktur dan teologianya yang sudah mem-patriakhal.[vi]
Gereja dalam keadaan seperti ini cenderung tidak memihak ke program pemberdayaan perempuan/pendeta perempuan. Jelas apa dan bagaimana struktur gereja adalah didasarkan dari teologianya, atau bisa saya katakan adalah dari konfesinya.[vii] Jadi adalah tidak mendasar jika pemberdayaan perempuan dan pendeta perempuan di gereja hanya melalui lokakarya,diskusi dan seminar, tanpa merubah dalil-dalil teologia yang mendominasi sesama ciptaan (theological will), dan tindakan nyata dalam meningkatkan pendidikan, ketrampilan dan peran mereka dalam kepemimpinan di semua level (political will).[viii]
Begitu juga dengan pendidikan di sekolah teologia, jika pemberdayaan perempuan (siswi) tidak dilakukan dengan sengaja dan comprehensive (kurikulum, beasiswa, komposisi kepemimpinan senat dll), maka ia akan menjadi tindakan yang politically correct, atau sebagai bahan yang layak jual dalam mencari bantuan.
Realita pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan gereja dewasa ini.
Seperti yang saya ungkapkan di catatan kaki no.7 bahwa diantara gereja-gereja di [ix]Sumatera Utara baru GBKP-lah yang memiliki dua (2) perempuan dari lima ketua Moderamen dan satu ketua-umum. Sehingga kita sendiri bisa menjawab apakah kini pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) telah maksimal dilakukan (political will). Dalam kepemimpinan sinode GMIM yang memiliki pendeta perempuan terbanyak di Indonesia, perempuan ada tapi diposisi wakil sekretaris umum; GPM di posisi wakil ketua sinode; GKSS diposisi ketua sinode; PGI setelah almarhumah Ibu Tina Lumentut, perempuan belum tampil kembali. Bagaimana di gereja lainnya seperti GKJ, GKJW, GKI-Papua, GKPB, GMIH, GPIB, Gereja Toraja, GMIT, KGPM dll? Sehingga setelah hampir sepuluh (10) tahun kita melalui Dasawarsa solidaritas gereja dengan perempuan DGD (1988-199 dalam hal ini bisa saya garis bawahi bahwa di gereja-gereja Indonesia secara keseluruhan, ternyata theological will sudah mendahului political will.[x] Progress pemberdayaan perempuan di gereja-gereja dan PGI di Indonesia tidak jauh beda saya pikir dengan gereja-gereja anggota CCA. CCA sendiri belum pernah memiliki general secretary perempuan, kecuali associate general secretary yang adalah dari Indonesia, Dr. Ery Lebang. General secretary National Council of Churches di Filipina kini adalah perempuan dan dinilai sangat berhasil dalam kepemimpinannya.
Berdasarkan penampakan yang ada di atas baiklah kita menyimak apa yang dituliskan oleh Elisabeth“Authority within the church as the discipleship community of equals must not be realized as “power over” as domination and submission, but as the enabling, energizing, creative authority of orthopraxis that not only preaches the gospel of salvation but also has the power to liberate the oppressed and to make people whole and happy. Jesus commissioned his disciples not only to preach but also to heal and to set free those dominated and dehumanized by evil powers.”[xi]
5. Sehingga untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan dewasa ini maka adalah keharusan:a. Gereja tidak perlu membatasi (apalagi berdasarkan gender) dan juga melakukan test-sinodal bagi orang yang hendak masuk sekolah teologia, biarlah proses penyaringan awal dilakukan oleh sekolah teologiab. Sekolah teologia harus mengajarkan ajaran yang berintikan integration of creation, di dalam kurikulumnya, kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (lihat catatan kaki no.1), dan menyediakan beasiswa yang cukup untuk para siswi yang berbakat dan menetapkan dengan sengaja balance gender dalam setiap kepemimpinan, pelatihan dll.c. Pengajaran gereja (kategorial, kotbah, kebaktian rumah tangga, dll) hendaklah menekankan ajaran yang berintikan integration of creation -kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (theological will)d. Gereja haruslah dengan sengaja menekankan balance gender dalam semua level kepemimpinannya (political will).e. Gereja haruslah dengan sengaja memberikan porsi beasiswa yang lebih/ atau sedikitnya seimbang- kepada siswi teologia /atau pendeta perempuan untuk S1,S2 dan S3. Juga kesempatan untuk menghadiri dan berperan dalam pertemuan tingkat lokal, nasional dan internasional (political will).f. Gereja harus mampu mentransformsikan pola pikir dan tindak warganya yang tidak menunjang pemberdayaan perempuan yang sudah membudaya (faktor sosial-budaya).
6. Bagi para perempuan dan pendeta perempuan,“Female friendship reminds feminists that our political activity consists in more than just conflict and struggle with men and male supremacy. Its end is to bring women together with our Selves and with each other.”[xii]Let’s do it!
[ii] Saya setuju dengan pikirian Judo Purwowidagdo yang menekankan bahwa pendidikan teologia di abad ke 21 haruslah mengarah kepada kepentingan umat, gereja dan masyarakat pada umumnya, lihat Judo Purwowidagdo, Towards the 21st Century, Challenges and Opportunities for Theological Education. Geneva: WCC, 1994. Disitu ia memperlihatkan pergeseran 13 paradigma:old paradigms new paradigms1. Education for ordinate ministers Education for leaders-empower in Christian ministry, both ordinate and non-ordinate2. Dominated by men Inclusive, men-women balance3. Standard and fixed curriculum flexible curriculum, module system4. Based in campus and classroom Based in campus, local community and society5. Up-Bottom learning process Group learning process6. Academic, intellectual and scholarly Academic excellence covered dynamic praxis of doingorientation theology7. Content, knowledge approach Methodological and skills approach8. Dominated by compulsory subjects Dominated by elective subjects9. Dogmatic confessionals orientation. Ecumenical, inter-denominational orientation10. Motivated to submit and loyal to Motivated to critical, reflective and creative innovationchurch doctrines and traditions to church doctrines11. Biblical-historical orientation Biblical-contextual orientation12. Metaphysical-ontological orientation existential-phenomenological orientation13. Biblical-analysis, texts critic Social-anthropological analysis
[iii] Saya tidak mengatakan bahwa gereja dan sekolah teologia kita ada dalam kondisi krisis identitas, tapi apa yang saya sarankan adalah we have to find our own identity, dengan menggunakan metode dekonstruksi dan rekonstruksi.
[iv] Pengertian inkulturasi dengan sangat manis ditempatkan James Haire sebagai acuan untuk mengamini ekumenikal katolik teologi (yang saya bisa mengerti sejajar dengan pengertian Bhinneka Tunggal Ika, semboyan negara kita). —,“It is perhaps because the Christ event can never be exclusively identified either with one culture or one type of culture that Paul employs the ambiguous term he akoe to describe the action by which the Christ event enters a person’s or a community’s life that is, the crucial step that leads to faith…..the authentic gospel or Christ-event-for us is not prepackaged by cultural particularity but is living. The church in the acceptance of the Christ event within its particular culture in each place and yet in the wrestling with that which stands against its own particular acceptance in each place is called to be both catholic and ecumenical, reformed and yet reforming.” Lihat James Haire, Trends of the Ecumenical Movement in the Era of Globalization,” in CTC Bulletin vol. XXI, no.3, 2005, 40.
[v] Melihat penampakan yang ada akhir-akhir ini di Indonesia dimana semangat kebangsaan mulai memudar ditindih oleh semangat ke”agamaan” saya mempertanyakan kekuatan “tali pengikat” senasib sepenangungan yang ada pada bangsa in. Kekuatan tali pengikat ini juga yang saya pertanyakan pada gereja-gereja suku di Indonesia. Sampai berapa lama kita bisa mempertahankan sense kesukuan sebagai kekuatan, jika yang nampak kini adalah banyaknya warga gereja kita yang memegang double citizenships. Saya tidak menyalahkan mereka,apalagi di era perdagangan bebas seperti ini, Cuma yang saya mau ajak kita untuk berpikir adalah 1. apakah trend seperti itu menjawab kehidupan bergereja warga kita? Atau malah cara bergereja seperti ini menunjukkan bahwa tidak hanya warga tapi gereja juga belum tiba dipengenalan akan siapa dia. Deconstruct dan reconstruct harus dilakukan. Disinilah saya tawarkan gereja suku untuk menempatkan inkulturasi dalam konteks pancasila sebagai civil religion. Dalam hal ini tiga konteks kita dialogkan, lokal, nasional dan global. Kekuatan mempertahankan faktor kesukuan saja sebagai tali pengikat sudah mulai tergeser perlahan tapi pasti oleh globalisasi. Juga bukankah faktor ekonomi dan politik sangat berperan dalam mempertahankan keeksistensiannya selain kekuatan sosial dan emosional? Selain itu saya juga berpikir bahwa gereja harus mulai mengkaji teologinya yang nampak jelas dalam konfesinya. Saya tidak mau mengajak kita untuk menutup mata atas warisan teologia kita yang mewarnai ciri kita, tapi bagaimanapun dengan perkembangan yang ada kita harus melakukan perevisian khususnya penekanan atas integrasi ciptaan (perevisian atas konsep, manusia/ laki-laki dan perempuan, serta ciptaan lainnya); pengakuan akan keberadaan kepelbagaian, a.l: keimanan (perevisian atas konsep kristologi dan keselamatan), ras dan suku (konsep manusia); inklusif (perevisian atas konsep gereja, Allah, masyarakat dan pemerintah) dlsb. Banyak yang sudah tercakup di PBIK, namun saya berpikir adalah perlu untuk mengkaji PBIK kembali. Dengan banyaknya gereja yang ada kini dan para anggotanya yang mempunyai double bahkan triple citizenships, saya bertanya apakah penampakan ini dibiarkan saja sebagai dampak dari globalisasi sekaligus mengamini bahkan mencherish ini sebagai karya roh kudus atau meratapinya sebagai kegagalan gereja dalam memperbaharui dirinya, dan itu nampak dari situasi kehidupan bangsa ini yang semakin amburadul? (bandingkan Eddy Paimun, “Eksistensi Gereja dalam Masyarakat Pluralis,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, 279-82.)
[vi] Lihat bagaimana Elisabeth menuliskan bahwa patriarchal self-understanding and structure dan penekanan egalitarian character sudah ada sejak awal mula christian missionary movement, dan apakah kedua berada didalam ketegangan ataupun saling melengkapi yang jelas kata Elisabeth …”This argument, however telescopes distinct organizational forms and ends up with a dualistic understanding of church and ministry. It presupposes that equality and egalitarian organizational structures exclude authority and leadership. It overlooks the fact that equality or egalitarian structures are characterized by what sociologist call role-interchangeability, lihat Elisabeth Schuussler Fiorenza, In Memory of Her. New York: Crossroad, 285-6.
[vii] Bandingkan O.E. Ch Wuwungan, “Pemahaman Iman Sebagai Landasan Warga Gereja,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, Medan: PGIW-Sumut, 2006, 111-12.
[viii] Peran dan kepemimpinan adalah power. Power adalah bagian atau malah keseluruhan identitas lelaki dalam patriarchal ideology. Dampaknya peran dan kepemimpinan berbentuk hirarki, karena berparadigma power atau rule over. Sehingga perempuan adalah subordinate (the second sex). Maka tidak heran jika dalam kepemimpinan gereja di seluruh Indonesia, kita masih bisa menggunakan jari tangan untuk menghitung kehadiran pemimpin gereja perempuan. Perasaan minoritas tegas terasa ketika saya harus mewakili GBKP untuk menghadiri sidang MPL PGI. Di Sumut, dengan bangga saya deklarasikan bahwa baru Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang menghadirkan dua (2) perempuan dalam jajaran Ketua di Moderamen. Juga peran komisi perempuan GBKP (Moria) di dalam perjalanan kehidupan GBKP sebagai gereja dan juga bagi masyarakat sekitar tidak bisa dipungkiri. Sehingga untuk hal ini patut kita simak apa yang disarankan oleh Margaretha …”the need for the church to shift its power paradigm from ”power over” to the “power to serve and to empower” paradigm. This shift is really needed in reformulating the church vision of power. The church needs to affirm that power comes from God. This is why it is not meant to manipulate and overcome others, but to serve and empower people, especially the powerless women. Lihat, Margaretha Hendriks-Ririmase, Theology and Violence Against Women,” in CTC Bulletin vol XXI,no. 3, 2005, 10-11.[x] Kita juga harus mengkaji penampakan jumlah pendeta perempuan di gereja yang selama ini tidak terlalu menerima penahbisan perempuan, juga jumlah penatua, preses dan ketua klasis perempuan di setiap gereja.[xi] Lihat, Elisabeth Schussler Fiorenza, The Ekklesia of Women and ecclesiastical Patriarchy, in Discipleship of Equals. New York: Crossroad, 1998, 247.[xii] Lihat, Janice Raymond, “Female Friendship and Feminist Ethics,” 166.
11 Juni 2008
Visi GKSS Klasis Makassar 2015?
Membangun Jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar
dalam Tujuh Tahun Kedepan
Saudara-saudara pimpinan dan warga GKSS Klasis Makassar, salam sejahtera dalam Nama Tuhan Yesus Kristus. Selamat Merayakan Hari Ulang Tahun GKSS, 12 Juni 2008 (sekalipun saya berpendapat GKSS lahir bukan pada persidangan Sinode tahun 1966 melainkan persiapan sinode tahun 1965).
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin memperjelas gagasan yang saya mulai kedepankan dalam percakapan di gereja Jemaat Pandang-pandang pada tanggal 10 Juni: Merumuskan Visi Jemaat 2015. Dan sekalipun gagasan ini untuk jemaat-jemaat GKSS Klasis Makassar (yang berlokasi di Makassar dan Sungguminasa – itu makna Ma’minasa sebagai singkatan, di samping makna kata: minasa = cita-cita luhur) para pimpinan dan warga jemaat lainnya, bahkan di luar GKSS bebas mengaplikasikan bagi jemaatnya.
1. Titik Tolak
Merumuskan Visi Jemaat untuk tujuh tahun mendatang bertolak dari dua hal mendasar, yakni (1) panggilan Tuhan atas gereja-Nya yang dijalankan dalam jemaat adalah panggilan mulia yang tidak bisa dikerjakan secara rutin tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang serius; (2) kehidupan jemaat-jemaat masa kini sudah harus diselenggarakan mengikuti pola kerja managemen organisasi moderen untuk dapat berhasil melakukan tugasnya atau mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, misi gereja – yang berakar dalam missi Deo, misi Allah mengasihi-menyelamatkan dunia – perlu dijabarkan ke dalam visi jangka pendek untuk diwujudkan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang efisien dan efektif.
2. Siapa?
Perumusan Visi Jemaat dilakukan oleh seluruh jajaran pimpinan jemaat: pendeta jemaat, Majelis Jemaat, pimpinan OIG, bahkan tua-tua dan para tokoh di dalam jemaat. Perumusan harus berlangsung secara terbuka dan kritis, dan dalam prinsip kebersamaan: bersama-sama menggagas masa depan bersama! Setiap orang wajib memberi dan dipertimbangkan pendapatnya sedemikian rupa bahwa rumusan yang dicapai adalah rumusan bersama, bukan rumusan dari satu orang. Dalam suatu organisasi, kemampuan bersama jauh lebih baik atau lebih besar, dari kemampuan seorang atau beberapa orang saja dalam organisasi itu. Dalam urusan visi, kalau orang bermimpi sendiri maka mimpinya tetap mimpi, tetapi kalau mimpi bersama-sama maka mimpinya akan menjadi kenyataan.
3. Data
Perumusan Visi Jemaat harus didasarkan pada data jemaat yang jelas dan akurat, karena visi harus bertolak dari kenyataan aktual. Karena itu pimpinan jemaat harus memiliki data yang selengkap mungkin. Suatu isian sederhana saya sudah minta sebelumnya supaya ada basic data yang akurat. Perumusan visi tidak bisa dikerjakan dengan bertolak dari perkiraan-perkiraan saja. Data itu terutama harus mencerminkan potensi di dalam jemaat, yang menjadi modal atau kekuatan dalam penyelenggaraan tugas atau pencapaian tujuan jemaat.
4. Visi dan Citra
Bertolak dari kenyataan jemaat saat ini, apa yang anda yakin – dengan perkenan Tuhan -- dapat diwujudkan tahun 2015 melalui upaya-upaya bersama secara serius dan terencana memajukan jemaat. Pilihlah berdasarkan visi tadi, aspek yang mendapat tekanan utama -- koinonia, martyria, diakonia -- apa “citra diri jemaat” yang anda anggap paling tepat bagi jemaat anda? Rumuskan secara konrit dalam kalimat slogan, misalnya “Jemaat Yang Memuji”; atau “Jemaat Yang Peduli.” Dapat pula dengan tambahan logo.
Visi Jemaat terkait dengan aspek-aspek panggilan gereja (koinonia, martyria, diakonia). Dalam hal ini perlu memilih aspek yang paling cocok menjadi penekanan dalam jemaat, yakni sesuai potensi yang ada. Rumusan Visi Jemaat dalam bentuk kalimat pendek yang mengungkapkan “mimpi” apa yang anda bersama-sama. Rumusan visi haruslah menggetarkan hati, atau membakar semangat untuk mewujudkannya. Sebagaimana dinyatakan di atas, visi haruslah urusan bersama, mimpi bersama yang menggetarkan-menggerakkan seluruh jemaat.
Dalam pencintraan dirinya, jemaat Pandang-pandang bermimpi “menjadi jemaat yang beribadah”, yakni mengandalkan potensi menyanyi warganya untuk melayani melalui paduan suara dan nyanyian jemaat. Terkait dengan itu adalah pembaruan liturgi yang memungkinkan potensi diaktualisasikan (bakat-bakat yang ada tersalurkan), dan juga dapat berlangsung “ibadah yang menggetarkan hati”. Jemaat Makkio Baji bermimpi “menjadi jemaat diakonia”, yang mampu menyediakan bantuan materil – melalui usaha pengembangan sumber dana – untuk membantu secara karitatif maupun transformatif warga gereja dan warga masyarakat; termasuk layanan kesehatan,, pengembangan SDM, dsb. Jemaat Kertago Borongloe masih mencari-cari yang relevan bagi potensinya. Wakil-wakil jemaat ini mengedepankan berbagai kebutuhan sarana/prasarana (renovasi gedung gereja, ruangan pastoral, dsb) dan rupanya belum sampai pada suatu kejelasan apa mimpinya untuk tujuh tahun ke depan.
5. Layanan Unggulan
Pencitraan diri secara ideal, seperti Jemaat Makkio Baji “menjadi jemaat diakonia” atau “jemaat yang peduli kaum miskin” [ini contoh saja, yang masih dapat dikembangkan lebih lanjut] menyiratkan bahwa layanan unggulan jemaat ini adalah di bidang diakonia sosial. Jemaat Pandang-pandang mengedepankan koinonia-liturgis (kebaktian yang menggetarkan hati). Layanan-layanan unggulan macam ini, akan berdampak terhadap aspek-aspek lain kehidupan jemaat: menjadi kesaksian yang menarik orang-orang untuk bergabung (sehingga menambah jumlah warga), mendorong pengambangan diri warga sehingga aspek kemajuan kwalitas iman, kasih, pengharapan meningkat pula, termasuk segi-segi persaudaraan yang menguat.
6. Jemaat Ideal
Saya telah menyampaikan gambaran umum jemaat yang ideal, yakni menonjol salah satu atau beberapa hal berikut [biasanya yang satu mendukung terwujudnya yang lain]:
* Ibadah jemaat menggetarkan: entah tenang teduh, entah hingar-bingar dengan musik dan nyanyian, tetapi orang mengikuti dengan penuh perasaan dan konsentrasi.
*Adanya pelayanan pastoral yang dirasakan orang sebagai dukungan menghadapi berbagai pergumulan pribadi dan keluarga; bahkan dalam bentuk program trauma healing.
*Adanya persaudaraan yang akrab dalam jemaat dan jaringan ekumenis antar jemaat/gereja: orang mengalami kehidupan sebagai sesama warga gereja sebagai satu keluarga besar yang saling peduli dan terikat. Dalam pertemuan ibadah berlangsung pula percakapan-percakapan, bahkan sharing pergumulan (curhat); terbuka saling bantu melayani dalam keperluan. Bergairah bersama mendukung kegiatan-kegiatan yang diprogramkan jemaat, dsb. Terdapat pula hubungan-gubungan ekumenis antar jemaat/gereja karena orang termotivasi dan bergairah dalam setiap kegiatan bersama.
* Angka pertambahan warga yang bermakna: jemaat yang hidup dengan persekutuan yang akrab diminati orang (band. Kis 2:42-47). Sebaliknya, orang malas dan pelan-pelan mengundurkan diri dari persekutuan yang suam; orang kehilangan gairah dan motivasi untuk mendukung kegiatan jemaat.
*Aktivitas diakonia dan/atau pastoral: jemaat yang hidup memang memberi perhatian pada kebutuhan warganya, juga kebutuhan sosial-ekonomi. Dan bukan sekadar bikisan Natal atau Paskah (model BLT?), melainkan suatu program rutin yang berbentuk diakonia karitatif maupun transformatif, bahkan bisa dalam bentuk crisis center.
*Partisipasi warga sebagai SDM bertalenta: jemaat yang hidup mendorong dan memberi kesempatan pada setiap warga untuk memanfaatkan talentanya dalam pelayanan jemaat. Entah apa, tetapi setiap warga dilengkapi Tuhan dengan talenta (1 Kor 12: 4 dst), yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau setelah melalui program-program pemberdayaan.
*Jaringan dialog antar-iman: penting pula bahwa jemaat sadar akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat umum, yang dalam konteks kita adalah masyarakat majemuk juga dalam agama. Sebab itu hubungan-hubungan antar-penganut agama (interfaith) yang harmonis perlu dikembangkan. Ada sedikitnya tiga alasan teologis untuk itu: (1) Allah adalah Tuhan atas semua orang dan semesta ciptaan, yang juga mengasihi semua orang; (2) dalam panggilam misioner jemaat, kesaksian Injil hanya dapat dinyatakan melalui pergaulan yang baik dengan semua orang; dan (3) panggilan gereja mendukung kehidupan bersama yang rukun selaku satu bangsa Indonesia.
*Pengembangan sarana teknologi informasi / komunikasi. Di setiap jemaat dapat dikembangkan pusat data, informasi dan pelayanan, misalnya melalui internet dalam bentuk mailing list atau website dan weblog [lihat contoh sederhana layanan melalui internet dalam http://gkss-pembinaan.blogspot.com/ ]. Siaran radio juga merupakan sarana layanan yang dapat dipertimbangkan diselenggarakan jemaat.
8. Pilihan Culture
Gereja diikat oleh nilai-nilai Kristen yang dijabarkan dari Firman Tuhan. Culture suatu jemaat adalah nilai yang dipromosikan sebagai nilai andalan yang membentuk karakter suatu jemaat. Rasul Paulus menyebut tiga nilai utama: iman, pengharapan dan kasih (1 Kor 13:13). Tetapi ada pula nilai-nilai kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22,23). Nilai mana paling cocok untuk jemaat anda? Sebaiknya pilihan nilai untuk menjadi karakter culture suatu jemaat dihubungkan dengan citra diri ideal dan program layanan unggulannya. Karena Makkio Baji, misalnya, mengidealkan citra diri sebagai jemaat diakonia, maka culture-nya cocok dengan kemurahan.
9. Visi dan Kepemimpinan
Percakapan di Pandang-pandang menyinggung aspek leadership, management dan pendeta jemaat. Pimpinan Jemaat (dalam hal ini Majelis dan Pendeta Jemaat) adalah sekaligus leader dan manager. Kedua fungsi itu dapat dibandingkan sbb:
LEADER
MANAGER
Ber-inovasi
Mengembangkan
Meng-inspirasi
Berpandangan jangka-panjang
Mempersoalkan apa dan mengapa
Memulai yang baru
Menantang status quo
Do the right things
Meng-administrasikan
Memelihara
Mengontrol
Berpandangan jangka-pendek
Mempersoalkan bagaimana dan kapan
Mem-formal-kan
Menerima status quo
Do things right
Visi dimulai oleh pemimpin, namun harus menjadi visi bersama seluruh jemaat. Jadi, dalam prakteknya, perumusan visi dilakukan dalam kapasitas sebagai leader, namun dalam pelaksanaannya lebih sebagai manager. Karena itu Pimpinan Jemaat harus sungguh-sungguh memahami konsepsi visi jemaat dan mengetahui berbagai aspek operasional aplikasinya sesuai prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi managemen organisasi moderen. Pimpinan jemaat harus memulai memantapkan dalam kalangannya. Pendeta dan seluruh Majelis jemaat harus sungguh-sungguh sefaham mengenai visi dan langkah-langkah aplikasinya. Tidak boleh ada perbedaan pemahaman yang akan membingungkan jemaat. Dalam hal ini penting dokumen-dokumen rumusan tertulis sebagai acuan bersama.
10. SWOT dan Aksi
Visi yang telah dirumuskan secara lengkap perlu dijabarkan ke dalam aksi, atau program-program pelaksanaannya. Untuk suatu visi tujuh tahun, perlu program per tahun yang sedemikian rupa berangsung-angsur mewujudkan. Program-program aksi tahunan itu akan bergantung pada hasil analisis SWOT, yang merupakan kegiatan pertama setelah perumusan visi. Dengan perumusan Visi telah ditetapkan suatu tujuan. Maka berdasarkan tujuan itu suatu analisis SWOT dikerjakan secara saksama untuk menemukan kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) di dalam jemaat, dan peluang-peluang (Opportunities) serta tantangan-tantangan (Threats) dari luar.
12. Status jemaat ekumene?
Status “jemaat oikoumene” membuka kemungkinan warga jemaat menjadi anggota rangkap di jemaat GKSS dan di jemaat gereja lain. Saya menghimbau pimpinan jemaat dan pimpinan Klasis/Sinode GKSS meninjau lagi status keanggotaan rangkap itu, karena lebih menjadi beban daripada pendukung pelayanan. Jemaat ekumene [ini ejaan yang baku dalam bahasa Indonesia daripada bentuk kata bahasa Latin: oikoumene] sebaiknya bukan status keanggotaan warga jemaat, melainkan status kelembagaan jemaat, yakni sebagai jemaat yang terbentuk dari latar warga gereja yang berbeda-beda di bawah tanggungjawab PGIW, yang diserahkan kepada pelayanan GKSS. Dengan tidak adanya keanggotaan rangkap, warga jemaat dapat berkonsentrasi untuk hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam jemaat.
13. Bagaimana mulai?
Suatu pemanasan telah dilakukan dalam pertemuan kemarin di Pandang-pandang. Harapan saya adalah masing-masing jemaat mulai mengembangkan wacana visi jemaat untuk tujuh tahun mendatang, sehingga tiba pada suatu momen yang tepat untuk merumuskan dan menetapkannya. Mudah-mudahan dengan tuntunan Roh Tuhan mimpi ini menjadi kenyataan.
Salam,
Zakaria Ngelow
09 Juni 2008
PERANAN PADUAN SUARA DALAM KEBAKTIAN
http://yohanesbm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=33 |
Written by Yohanes B. M. | |
Wednesday, 12 December 2007 | |
A. Dasar Untuk Memuji Tuhan Setiap orang percaya pada hakikatnya dipanggil untuk memuji Tuhan melalui nyanyian atau madah iman. Dalam hal ini tindakan iman atau sikap percaya diekspresikan melalui nyanyian pujian untuk memuliakan atau memasyurkan nama Tuhan. Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai beberapa istilah untuk menunjuk tindakan memuji Tuhan seperti: halal/hallelu (Ibr.) yang artinya: puji Tuhan; yadah (Ibr.) yang artinya: bersyukur, menyanjung, menyembah; tehillah (Ibr.) yang artinya: memuliakan, memuji, nyanyian pujian; epainos (Yun.) yang artinya: pujian, penghargaan; aineo (Yun.) yang artinya: berkata-kata dalam bentuk pujian; humneo (Yun.) yang artinya: menyanyi, menyanjung dan memuji dengan sikap khidmat. Karena itu dasar untuk memuji Tuhan adalah: |
MENJADI GEREJA YANG ESA, UTUH DAN KUKUH DEMI PEMANTAPAN PERAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA
| ||||||||||
|