09 Juni 2008

MENJADI GEREJA YANG ESA, UTUH DAN KUKUH DEMI PEMANTAPAN PERAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA

http://www.pgi.or.id/artikel.php?news_id=74



Andreas A. Yewangoe


Pendahuluan

Sidang MPL-PGI kali ini kita selenggarakan bertepatan dengan peringatan 60 tahun Dewan Gereja-gereja Sedunia (WCC). Sebagaimana diketahui WCC dibentuk pada tahun 1948 di Amsterdam, segera setelah Perang Dunia II berakhir. Kita menyebutkan hal ini di sini bukan semata-mata karena banyak dari anggota-anggota PGI yang merupakan anggota WCC, tetapi terutama karena keprihatinan yang sama terhadap pertanyaan, bagaimana menjadi gereja dalam dunia yang berubah cepat, dunia yang mengglobal yang penuh dengan berbagai tantangan-tantangan (baru) tetapi juga penuh dengan harapan-harapan. Berkaitan dengan itu, timbul juga pertanyaan bagaimana seharusnya keesaan gereja diwujudnyatakan, ketika sekian banyak persekutuan-persekutuan Kristen tampil sebagai yang juga ingin menyatakan diri sebagai wujud keesaan gereja. Prof Dr. Walter Altmann, Moderator WCC dalam Sidang Central Committe, 13-20 Februari 2008 lalu di Geneva mengangkat (kembali) semboyan General Assembly (Sidang Raya) WCC Amsterdam, “We intend to stay together” . Gereja-gereja Kristen diserukan untuk bertekun mencari keesaan itu. Pada satu pihak WCC tidaklah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya gerakan oikoumenis (the ecumenical movement), tetapi memahami dirinya sebagai bahagian gerakan oikoumenis yang lebih luas. Pada pihak lain, WCC tidak melihat dirinya sebagai yang melayani dirinya sendiri melainkan untuk (melayani) gerakan oikoumene. Maka pertanyaan yang mesti diajukan dengan memperhatikan sejarah perkembangan WCC, kata Altmann, bukan betapa dan berapa kuatnya WCC, tetapi bagaimana ia (WCC) melayani dan terus melayani gerakan oikoumenis. Maka komitmen bersama terhadap gerakan oikomene tetap dimintakan dari setiap gereja (umat Kristen), yang, kendati mempunyai matra (dimensi) yang berbeda-beda, namun semua dipanggil untuk memperlihatkan kesatuan yang nyata (visible unity) yang dapat diungkapkan dalam cara yang beranekaragam, seperti “panggilan bersama”, “kehidupan bersama di dalam Kristus”, “kesaksian bersama”, “satu iman”, “ikut serta dalam persekutuan perjamuan”, dan seterusnya. Pendeknya, tujuan utama WCC adalah menerima anugerah dari Allah dan meresponnya di dalam persekutuan (koinonia) saudara-saudara seiman di dalam satu gereja.
Apa yang dilukiskan di atas, sesungguhnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja kita yang tergabung di dalam PGI selama 58 tahun terakhir ini. Kita bergumul dengan pertanyaan bagaimanakah kesatuan gereja itu diwujud-nyatakan di tengah keberbagaian yang cukup besar, dan bagaimanakah hidup bergereja diungkapkan dalam masyarakat majemuk Indonesia? Menarik untuk dicatat, bahwa pertanyaan ini ternyata tidak saja dijawab oleh gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, tetapi juga oleh gereja-gereja lainnya. Munculnya berbagai persekutuan-persekutuan lain yang ingin mengungkapkan keesaan gereja, barangkali bisa diinterpretasikan sebagai adanya keinginan ikut-serta dalam gerakan oikoumenis yang lebih luas itu. Sebagai gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI, kita menegaskan (kembali) komitmen kita untuk mewujudkan keesaan gereja bukan sebagai tujuan akhir tetapi sebagai “saluran” bagi pelayanan yang lebih baik lagi kepada dunia. Sesungguhnya inilah penegasan ulang para pendiri DGI (PGI sekarang), bahwa gereja-gereja di Indonesia haruslah bersatu apabila mereka ingin sungguh-sungguh menjadi berkat bagi dunia dan bangsa ini. Sidang Raya XIV PGI menegaskan keesaan kita sebagai “Keesaan in Action”. Itulah tekad bersama, bahwa kendati keberagaman kita, kita tetap mempunyai panggilan bersama untuk melayani sebaik-baiknya.

I. Satu Tahun Sesudah Sidang MPL-PGI Manado 2008

Setelah satu tahun Sidang MPL-PGI Manado, kita berusaha untuk melihat kembali ke belakang apakah komitmen kita yang dituangkan dalam “Pikiran Pokok” sungguh-sungguh terwujud di dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan bermasyarakat. Pikiran Pokok MPL-PGI Manado berbunyi: “Meneguhkan Ulang Komitmen Kebangsaan Demi Mempertahankan Keutuhan NKRI.” Dengan perumusan pikiran pokok tersebut kita menggarisbawahi pentingnya komitmen kebangsaan kita yang, dalam penglihatan dan pengalaman telah mengalami erosi. Kecenderungan itu terlihat misalnya dalam sikap dan perilaku sektarian atas dasar suku, agama, ras, dan golongan. Pada waktu itu kita mencatat, bahwa orang cenderung mementingkan dirinya sendiri. Rasa solidaritas makin memudar. Wajah kemiskinan sangat mengerikan. Ternyata sinyalemen tersebut masih tetap terbukti dalam kenyataan hidup kita sampai saat ini. Hal itu nampak misalnya dalam kecenderungan mementingkan kepentingan daerah masing-masing, tanpa mempertimbangkan bahwa daerah yang bersangkutan berada dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Kurangnya solidaritas juga terlihat dalam wajah kemiskinan yang makin mengerikan, sementara mereka yang diberi amanat untuk mewakili kepentingan rakyat berlomba-lomba untuk memperkokoh kepentingan dan kekuasaannya. Umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka keteladanan untuk memperlihatkan solidaritas terhadap bangsa ini makin memperoleh relevansinya.

II. Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008

Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008 ini kita meletakkan pergumulan-pergumulan kita dengan memfokuskan diri pada kehidupan bergereja. Pikiran Pokok sidang ini berbunyi: “Menjadi Gereja Yang Esa, Utuh dan Kukuh Demi Pemantapan Peran Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Ada berbagai pertimbangan-pertimbangan mengapa kita memfokuskan perhatian pada kehidupan bergereja. Dari sekian banyak alasan-alasan kita menyebutkan beberapa: pertama, masih terdapat di dalam gereja-gereja kita (kendati tidak semuanya) ketegangan-ketegangan internal dengan berbagai alasan. Memang ketegangan-ketegangan itu belum sampai kepada perpecahan, tetapi setidak-tidaknya akan mengganggu kehidupan beroikoumene kita. Ada yang merupakan residu dari persoalan-persoalan masa lampau, ada yang karena persoalan kepemimpinan, persoalan kepentingan, dan seterusnya. Kedua, ada ketegangan-ketegangan antar-gereja karena belum semua menaati “Piagam Saling Mengakui Dan Saling Menerima”. Apa yang disebut “curi domba” masih tetap merupakan pengeluhan dari beberapa gereja. Ketiga, tetap maraknya penutupan paksa gedung-gedung gereja di banyak tempat di Tanah Air kita oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut catatan dari Bidang Diakonia PGI (yang juga telah disampaikan kepada Komnas HAM), sejak 2004-2007 tidak kurang dari 108 gedung gereja yang ditutup paksa. Kenyataan ini membuat umat Kristen limbung apakah mereka masih merupakan bahagian integral bangsa ini, ataukah dengan sengaja dan sistimatis hendak dikucilkan. Catatan ini penting, sebab justru penutupan-penutupan itu terjadi pasca Perber Mendagri dan Menag No.9 dan 8/2006. Keempat, makin beranekaragamnya pemahaman dan penghayatan tentang hidup bergereja di tengah-tengah umat kita. Ada yang cenderung melihat gereja sebagai identik dengan sebuah LSM yang mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya untuk menolong mereka yang berada dalam kesulitan. Kabar Baik Kerajaan Allah ditafsirkan sangat bersifat horizontal. Dalam kaitan ini saya mencatat yang dikatakan Philip Quarles von Ufford, seorang dosen pada Vrije Universiteit di Amsterdam tentang kehidupan bergereja di Negeri Belanda khususnya ketika ketiga gereja besar (Nederlandse Hervormde Kerk, de Gereformeerde Kerken in Nederland, dan de Lutherische Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) bersatu dalam Protestantse Kerk in Nederland (PKN) sejak 2004 lalu. Menurut von Ufford terdapat kecenderungan kuat untuk makin mengLSMkan gereja-gereja. Agenda gereja makin ditentukan oleh pemerintah (Belanda) sebagaimana tergambar dari dipersatukannya ICCO dan Kerk in Actie. Akibatnya Sinode dan semua badan-badan pembantunya makin teralienasi dari jemaat-jemaat, dan relasi dengan mitra-mitra di Indonesia (misalnya) hanyalah sekadar relasi berdasarkan proposal. Diperkembangkan di dalamnya apa yang ia sebut ideologi manajemen. Hubungan itu makin menjadi lugas (zakelijk) dengan mengabaikan segi-segi emosi yang selama ini telah terjalin selama beberapa generasi. Pada pihak lain, ada pula kecenderungan, yang saya sebut mengkapitalisasikan gereja. Gereja makin lama makin dilihat sebagai komoditas yang bisa dijual dengan kemasan-kemasan indah. Gereja dilihat sebagai tempat berlindung dari “serangan-serangan” luar. Siapa berada di dalamnya akan beroleh keuntungan, bukan saja secara rohani tetapi juga secara jasmani. Kadang-kadang gereja dilihat tidak lebih sebagai usaha Kentucky Fried Chicken yang dapat memberikan kenikmatan-kenikmatan. Kelima, keterlibatan warga gereja dalam apa yang disebut “politik praktis” kadang-kadang juga menyeret gereja sebagai institusi untuk terlibat di dalamnya. Gereja dilihat sebagai wahana yang secara potensial menyediakan konstituen bagi partai-partai politik yang dibentuk. Maraknya partai-partai politik (dengan asas Kristen) yang lumayan banyak dewasa ini membuat warga kita bingung. Ada kecenderungan untuk mengartikan hal keterlibatan dalam politik secara berat sebelah. Gereja tentu saja mempunyai tanggungjawab politik, tetapi itu tidak berarti bahwa gereja secara mudah diidentikkan dengan partai-partai politik.
Kelima alasan ini kelihatannya cukup kuat untuk mendorong kita memberi perhatian serius kepada kehidupan bergereja kita dewasa ini. Sidang Raya XIV PGI (2004) dengan tegas merumuskan bahwa gereja adalah “Gereja Bagi Orang Lain”. Dengan jelas hendak dikatakan di sini bahwa gereja mestinya tidak berorientasi kepada dirinya sendiri, tetapi ke luar, kepada dunia. Dalam derajad tertentu dapat dikatakan bahwa gereja bukanlah tempat “berlindung” (sebab dengan demikian orang Kristen akan dengan gampang masuk ke dalam ghetto), tetapi justru yang persis berada di tengah-tengah berbagai pergolakan dan krisis.
Pikiran Pokok ini dimulai dengan kata “menjadi”. Inilah isyarat bahwa gereja sesungguhnya terus bergerak dalam proses menjadi. Gereja tidak pernah menjadi sesuatu yang mapan (established), yang terpaku pada satu kejadian dan tempat. Gereja adalah laksana peziarah yang selalu siap untuk membongkar (kembali) kemahnya dan terus lagi berjalan. Karl Barth berbicara tentang gereja sebagai peristiwa (Ereignis) , yaitu gereja yang bersifat dinamis, tidak ditawan oleh sikap institusionalistik dan legalistik. Sebaliknya gereja selalu bergerak ke depan.
“Esa” menunjuk kepada komitmen gereja-gereja kita yang sejak semula ditekadkan yaitu mewujudkan GKYE. Komitmen ini tidak pernah berubah. Yang terjadi adalah penekanan-penekanan tertentu dengan memperhatikan hal-hal yang hidup di dalam gereja-gereja kita. Sidang Raya XIV menegaskan bahwa keesaan kita adalah keesaan in action. Artinya kalau setiap gereja anggota PGI menjalankan secara konsisten apa yang dituangkan dalam Dokumen Keesaan Gereja, maka keesaan kita makin lama akan makin nyata. “Utuh” artinya tidak terbagi-bagi. Juga tidak retak. Namun keutuhannya bukanlah keutuhan masip seperti batu di mana tidak terdapat ruang sedikitpun di dalamnya. Keutuhan ini masih memungkinkan setiap yang melekat padanya bernafas dengan bebas, namun kebebasan itu demi menghidupkan semuanya. Dengan kata-kata lain, keutuhannya itu justru adalah yang memberi ruang kepada pihak lain untuk juga bisa bergerak dengan bebas. “Kukuh” mengindikasikan adanya kekuatan. Tetapi kekuatan itu tidak dimaksudkan untuk “menyerang” pihak lain, tetapi sebaliknya menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan demikianlah gereja-gereja dapat menjalankan perannya dalam masyarakat majemuk Indonesia yang dewasa ini sedang berjuang untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Kalau gereja-gereja masih terpecah-belah, maka dunia tidak akan percaya (Yoh. 17: 21). Bahkan bukan tidak mungkin gereja dilecehkan saja oleh dunia. Salah satu pertayaan yang mungkin dapat diajukan dalam kaitan ini adalah, sampai berapa jauhkah kemajemukan masyarakat Indonesia ikut mewarnai bahkan menentukan bagi kemajemukan gereja-gereja? Pertanyaan ini pada gilirannya mempunyai sangkut-paut dengan persoalan relasi kesukuan dan kegerejaan kita.

III. Gereja Menurut Dokumen Keesaan Gereja (DKG)

Di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang diterima oleh Sidang Raya PGI kita menemukan gambaran tentang gereja. Gambaran ini penting dikemukakan di sini sebab inilah kesepakatan gereja-gereja yang dalam banyak hal tidak selalu sama ekklesiologinya. Di dalam “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK) yang merupakan salah satu dokumen penting dari DKG itu dinyatakan hal-hal sebagai berikut: (1) gereja ada sebagai akibat Roh Kudus yang menghimpunnya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala. Roh Kudus yang sama ini pula memberi kuasa kepada gereja untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang zaman; (2) gereja berada dalam dunia sebagai arak-arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Gereja selalu dituntut untuk terbuka kepada dunia, agar dunia terbuka kepada undangan Allah turut serta di dalam arak-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan kerajaan-Nya di dalam Yesus Kristus; (3) gereja ditempatkan Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya. Demikian juga halnya gereja-gereja di Indonesia; (4) gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan bertujuan menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Ada hubungan koordinatif antara gereja dan negara; (5) gereja membutuhkan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus. Maka selalu diharapkan kehadiran dan bimbingan Roh Kudus; (6) Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu Tubuh, satu Roh dalam ikatan damai-sejahtera, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Maka keesaan, dengan demikian didasarkan atas persekutuan kasih, bukan kekuasaan duniawi; (7) persekutuan itu dikuduskan dalam kebenaran. Dengan demikian, gereja itu kudus; (8) persekutuan itu mencakupi semua orang percaya dari segala tempat dan di sepanjang zaman. Maka gereja adalah am; (9) persekutuan ini bertekun dalam dan dibangun di atas pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus. Sebagai demikian, gereja adalah rasuli; (10) oleh karena itu gereja dan orang-orang percaya laki-laki dan perempuan di segala tempat dan di sepanjang zaman terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan dan kerasulannya, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama.
PBIK itu dengan jelas memperlihatkan hakekat gereja (sebagai bukan buatan manusia tetapi oleh Roh Kudus), sifat gereja (sebagai yang terdiri dari segala bangsa, suku, etnis, dan seterusnya), serta bagaimana memahami relasinya dengan dunia (dengan berbagai persoalan sosial-politik, ekonomi, budaya dan sebagainya), yang terus bergerak ke depan (sebagai arak-arakan), dan yang tetap setia kepada panggilannya (yang rasuli).
Selanjutnya di dalam dokumen “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) ditegaskan bahwa yang mengimplementasikan tugas ini adalah gereja-gereja. PTPB itu adalah jabaran dari tugas gereja di bidang koinonia, marturia, dan diakonia. Tiap gereja, demikian dikatakan adalah ungkapan dari gereja yang kudus dan am. Dengan demikian, setiap gereja dipanggil untuk menampakkan keesaan (koinonia), memberitakan Injil (marturia) dan menjalankan pelayanan kasih (diakonia). Dalam Bab III (dari PTPB) ditegaskan perlunya membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja. Diinspirasikan oleh tema Sidang Raya XIV, maka pembaruan itu diyakini akan terjadi apabila telah terjadi pembaruan budi sebagai karya Roh Kudus. Khusus dalam masa bhakti 2004-2009, hal membaharui, membangun dan mempersatukan gereja dilakukan dengan mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana. Dalam Bab IV ditegaskan hal bersaksi dan memberitakan Injil kepada segala makhluk. Bagaimanapun gereja harus memberitakan Injil kepada segala makhluk. Injil itu adalah untuk seluruh dunia. Peran serta gereja yang mengabarkan Injil dalam masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju masyarakat yang berkeadaban (civil society) menuntut gereja memberi perhatian khusus kepada korban-korban ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia serta orang-orang miskin dan tertindas, berhubung inilah masalah-masalah sosial yang peka dan mendesak untuk diatasi. Rumusan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa peran sosial gereja sangat melekat dengan berbagai persoalan-persoalan sosial yang muncul di dalam masyarakat. “Prediksi” SR bahwa kemiskinan akan tetap menjadi persoalan akut kita sebagai bangsa kelihatannya tepat sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Tentu saja ada perbedaan tafsiran mengenai jumlah orang miskin sebagaimana terlihat dalam “debat” antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto (karena keduanya memakai hasil survey yang berbeda). Namun hal itu tidak mengurangi makna, bahwa kemiskinan memang tetap merupakan persoalan besar kita yang memicu berbagai persoalan-persoalan lainnya.
Tentang Injil sebagai Kabar Baik yang disampaikan kepada semua makhluk, PTPB ini menyadari bahwa semua agama mempunyai berita bagi semua orang (par.42). Keberadaan gereja tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain. Maka pemberitaan harus dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai pula dengan keluhuran agama sendiri. Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja (par.52), tetapi bagaimana menjalankan mandat ini di tengah-tengah masyarakat majemuk dibutuhkan pedoman umum. Ini punya kaitan dengan kebebasan beragama. Kebebasan beragama dan kerukunan perlu makin diperkembangkan. Kebebasan beragama jangan dikorbankan demi kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan demi kebebasan beragama.
Demikianlah beberapa cuplikan dari DKG yang mestinya telah dihayati dan dilaksanakan oleh semua gereja-gereja anggota PGI. Tugas gereja dalam dunia yang sedang berubah telah dirumuskan dengan cukup jelas di sana. Barangkali baik apabila kita menilai berbagai persepsi kita mengenai gereja dengan bertolak dari rumusan-rumusan itu.

IV. Gereja Yang Hidup

Tentu kita tidak bermaksud untuk membahas sebuah ekklesiologi lengkap pada kesempatan ini. Bahasan-bahasan lengkap itu telah dilakukan dalam banyak buku-buku teologi. Namun demikian, dalam rangka menyoroti kembali kehidupan bergereja kita, ada baiknya kita menekankan beberapa hal yang, menurut saya penting. Pertama-tama, perlu ditegaskan (lagi) bahwa gereja mestilah merupakan gereja yang hidup. Kehidupannya tidak semata-mata terletak dalam kehebatan kita mengelolanya, tetapi pada karunia Roh Kudus. Ini bukan pandangan baru, namun perlu ditegaskan lagi agar gereja terhindar dari kecenderungan menjadi beku di dalam institusi dan berbagai aturan-aturan yang diciptakannya. Atau menjadi bingung karena adanya “serangan” dari luar. Para reformator menegaskan, gereja reformasi haruslah dibarui terus-menerus (ecclesia reformata semper reformanda est). John Stott, seorang pendeta emeritus dari Gereja Anglikan Inggris mengemukakan empat ciri dari gereja yang hidup itu. Ciri itu dijabarkannya dari Kisah Rasul 2: 42-47,

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Inilah yang disebut Stott visi Allah bagi gereja-Nya. Ciri pertama, gereja adalah gereja yang belajar (a learning church). Jemaat pertama secara teratur bertemu untuk mendengar para rasul-rasul mengajar. Tentu saja Roh Kudus penting sebagai yang menginspirasikan dan menguatkan, namun belajar tetap merupakan ciri penting bagi gereja. Belajar tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah-sekolah teologi, tetapi merupakan kewajiban setiap anggota jemaat. Ciri kedua, gereja adalah gereja yang memelihara (a caring church). Di sini diperlihatkan dengan sungguh-sungguh apa yang dimaksud dengan persekutuan itu. Ciri ketiga adalah gereja yang beribadah (a worshipping church). Hal itu terlihat ketika mereka memecahkan roti dan berdoa bersama. Ciri keempat adalah gereja yang mengabarkan Injil (an evangelizing church). Bagaimanapun gereja tidak dapat mengabaikan tugas pekabaran Injil itu. Namun perlu pula diinterpretasi secara baru bagaimana melakukannya dalam sebuah masyarakat mejemuk seperti Indonesia ini.
Dengan mengemukakan ciri-ciri ini (yang dalam banyak hal sudah kita tahu dan jalankan) kita ingin menghindarkan gereja tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, pada satu pihak, dan pada pihak lain, menciptakan “pulau” tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Gereja tidak boleh beku di dalam lembaga, tetapi juga tidak boleh cair begitu saja tanpa bentuk dan identitas yang jelas.
“Gereja Bagi Orang Lain”, gereja yang terbuka, yang mampu melayani, hanya dapat terjadi apabila ia sendiri kokoh dan kuat di dalamnya oleh persekutuannya yang terus-menerus disuburkan oleh Roh Kudus.
Tantangan-tantangan bagi gereja-gereja adalah apakah persekutuannya yang secara sangat kasat mata terlihat di dalam lingkungan sendiri, juga tercermin dalam persekutuan lintas gereja? Mungkin persekutuan itu ada, tetapi jangan-jangan hanyalah sekadar sebuah persekuatuan formal, bukan karena sehati-sejiwa sebagaimana dikatakan di dalam kitab Kisah Para Rasul. Kalau di dalam diri kita sendiri persekutuan sulit diwujudkan, maka tentu tidak mudah juga menjalin persatuan dengan mereka yang tidak tergabung di dalam gereja kita.
Keprihatinan kita terhadap persoalan kemiskinan, hak-hak asasi manusia, ketidakdilan yang makin merajalela, ketidaktaatan terhadap hukum yang berkeadilan, menjalin relasi dengan umat beragama lain, keterlibatan dalam politik, dan sebagainya hanya dapat dijalankan dengan baik dan penuh optimisme apabila kita benar-benar menjadi gereja yang hidup yang tidak henti-hentinya belajar (learning), memelihara (caring), beribadah (worshipping) dan mengabarkan (evangelizing).


___________________

*) Disampaikan Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol, 26 Februari 2008.
**) Ketua Umum PGI.
↑ atas


Copyright © 2007. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia)

Tidak ada komentar: