|    Andreas A. Yewangoe
 
  Pendahuluan
  Sidang MPL-PGI kali ini  kita selenggarakan bertepatan dengan peringatan 60 tahun Dewan Gereja-gereja  Sedunia (WCC). Sebagaimana diketahui WCC dibentuk pada tahun 1948 di Amsterdam,  segera setelah Perang Dunia II berakhir. Kita menyebutkan hal ini di sini bukan  semata-mata karena banyak dari anggota-anggota PGI yang merupakan anggota WCC,  tetapi terutama karena keprihatinan yang sama terhadap pertanyaan, bagaimana  menjadi gereja dalam dunia yang berubah cepat, dunia yang mengglobal yang penuh  dengan berbagai tantangan-tantangan (baru) tetapi juga penuh dengan  harapan-harapan. Berkaitan dengan itu, timbul juga pertanyaan bagaimana  seharusnya keesaan gereja diwujudnyatakan, ketika sekian banyak  persekutuan-persekutuan Kristen tampil sebagai yang juga ingin menyatakan diri  sebagai wujud keesaan gereja. Prof Dr. Walter Altmann, Moderator WCC dalam  Sidang Central Committe, 13-20 Februari 2008 lalu di Geneva mengangkat (kembali)  semboyan General Assembly (Sidang Raya) WCC Amsterdam, “We intend to stay  together” . Gereja-gereja Kristen diserukan untuk bertekun mencari keesaan itu.  Pada satu pihak WCC tidaklah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya gerakan  oikoumenis (the ecumenical movement), tetapi memahami dirinya sebagai bahagian  gerakan oikoumenis yang lebih luas. Pada pihak lain, WCC tidak melihat dirinya  sebagai yang melayani dirinya sendiri melainkan untuk (melayani) gerakan  oikoumene. Maka pertanyaan yang mesti diajukan dengan memperhatikan sejarah  perkembangan WCC, kata Altmann, bukan betapa dan berapa kuatnya WCC, tetapi  bagaimana ia (WCC) melayani dan terus melayani gerakan oikoumenis. Maka komitmen  bersama terhadap gerakan oikomene tetap dimintakan dari setiap gereja (umat  Kristen), yang, kendati mempunyai matra (dimensi) yang berbeda-beda, namun semua  dipanggil untuk memperlihatkan kesatuan yang nyata (visible unity) yang dapat  diungkapkan dalam cara yang beranekaragam, seperti “panggilan bersama”,  “kehidupan bersama di dalam Kristus”, “kesaksian bersama”, “satu iman”, “ikut  serta dalam persekutuan perjamuan”, dan seterusnya. Pendeknya, tujuan utama WCC  adalah menerima anugerah dari Allah dan meresponnya di dalam persekutuan  (koinonia) saudara-saudara seiman di dalam satu gereja. Apa yang dilukiskan  di atas, sesungguhnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja kita yang  tergabung di dalam PGI selama 58 tahun terakhir ini. Kita bergumul dengan  pertanyaan bagaimanakah kesatuan gereja itu diwujud-nyatakan di tengah  keberbagaian yang cukup besar, dan bagaimanakah hidup bergereja diungkapkan  dalam masyarakat majemuk Indonesia? Menarik untuk dicatat, bahwa pertanyaan ini  ternyata tidak saja dijawab oleh gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI,  tetapi juga oleh gereja-gereja lainnya. Munculnya berbagai  persekutuan-persekutuan lain yang ingin mengungkapkan keesaan gereja, barangkali  bisa diinterpretasikan sebagai adanya keinginan ikut-serta dalam gerakan  oikoumenis yang lebih luas itu. Sebagai gereja-gereja yang tergabung di dalam  PGI, kita menegaskan (kembali) komitmen kita untuk mewujudkan keesaan gereja  bukan sebagai tujuan akhir tetapi sebagai “saluran” bagi pelayanan yang lebih  baik lagi kepada dunia. Sesungguhnya inilah penegasan ulang para pendiri DGI  (PGI sekarang), bahwa gereja-gereja di Indonesia haruslah bersatu apabila mereka  ingin sungguh-sungguh menjadi berkat bagi dunia dan bangsa ini. Sidang Raya XIV  PGI menegaskan keesaan kita sebagai “Keesaan in Action”. Itulah tekad bersama,  bahwa kendati keberagaman kita, kita tetap mempunyai panggilan bersama untuk  melayani sebaik-baiknya.
  I. Satu Tahun Sesudah Sidang MPL-PGI Manado  2008
  Setelah satu tahun Sidang MPL-PGI Manado, kita berusaha untuk  melihat kembali ke belakang apakah komitmen kita yang dituangkan dalam “Pikiran  Pokok” sungguh-sungguh terwujud di dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan  bermasyarakat. Pikiran Pokok MPL-PGI Manado berbunyi: “Meneguhkan Ulang Komitmen  Kebangsaan Demi Mempertahankan Keutuhan NKRI.” Dengan perumusan pikiran pokok  tersebut kita menggarisbawahi pentingnya komitmen kebangsaan kita yang, dalam  penglihatan dan pengalaman telah mengalami erosi. Kecenderungan itu terlihat  misalnya dalam sikap dan perilaku sektarian atas dasar suku, agama, ras, dan  golongan. Pada waktu itu kita mencatat, bahwa orang cenderung mementingkan  dirinya sendiri. Rasa solidaritas makin memudar. Wajah kemiskinan sangat  mengerikan. Ternyata sinyalemen tersebut masih tetap terbukti dalam kenyataan  hidup kita sampai saat ini. Hal itu nampak misalnya dalam kecenderungan  mementingkan kepentingan daerah masing-masing, tanpa mempertimbangkan bahwa  daerah yang bersangkutan berada dalam kesatuan negara Republik Indonesia.  Kurangnya solidaritas juga terlihat dalam wajah kemiskinan yang makin  mengerikan, sementara mereka yang diberi amanat untuk mewakili kepentingan  rakyat berlomba-lomba untuk memperkokoh kepentingan dan kekuasaannya. Umat  Kristen Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka  keteladanan untuk memperlihatkan solidaritas terhadap bangsa ini makin  memperoleh relevansinya.
  II. Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol  2008
  Dalam Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol 2008 ini kita meletakkan  pergumulan-pergumulan kita dengan memfokuskan diri pada kehidupan bergereja.  Pikiran Pokok sidang ini berbunyi: “Menjadi Gereja Yang Esa, Utuh dan Kukuh Demi  Pemantapan Peran Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Ada berbagai  pertimbangan-pertimbangan mengapa kita memfokuskan perhatian pada kehidupan  bergereja. Dari sekian banyak alasan-alasan kita menyebutkan beberapa: pertama,  masih terdapat di dalam gereja-gereja kita (kendati tidak semuanya)  ketegangan-ketegangan internal dengan berbagai alasan. Memang  ketegangan-ketegangan itu belum sampai kepada perpecahan, tetapi  setidak-tidaknya akan mengganggu kehidupan beroikoumene kita. Ada yang merupakan  residu dari persoalan-persoalan masa lampau, ada yang karena persoalan  kepemimpinan, persoalan kepentingan, dan seterusnya. Kedua, ada  ketegangan-ketegangan antar-gereja karena belum semua menaati “Piagam Saling  Mengakui Dan Saling Menerima”. Apa yang disebut “curi domba” masih tetap  merupakan pengeluhan dari beberapa gereja. Ketiga, tetap maraknya penutupan  paksa gedung-gedung gereja di banyak tempat di Tanah Air kita oleh  kelompok-kelompok tertentu. Menurut catatan dari Bidang Diakonia PGI (yang juga  telah disampaikan kepada Komnas HAM), sejak 2004-2007 tidak kurang dari 108  gedung gereja yang ditutup paksa. Kenyataan ini membuat umat Kristen limbung  apakah mereka masih merupakan bahagian integral bangsa ini, ataukah dengan  sengaja dan sistimatis hendak dikucilkan. Catatan ini penting, sebab justru  penutupan-penutupan itu terjadi pasca Perber Mendagri dan Menag No.9 dan 8/2006.  Keempat, makin beranekaragamnya pemahaman dan penghayatan tentang hidup  bergereja di tengah-tengah umat kita. Ada yang cenderung melihat gereja sebagai  identik dengan sebuah LSM yang mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya untuk  menolong mereka yang berada dalam kesulitan. Kabar Baik Kerajaan Allah  ditafsirkan sangat bersifat horizontal. Dalam kaitan ini saya mencatat yang  dikatakan Philip Quarles von Ufford, seorang dosen pada Vrije Universiteit di  Amsterdam tentang kehidupan bergereja di Negeri Belanda khususnya ketika ketiga  gereja besar (Nederlandse Hervormde Kerk, de Gereformeerde Kerken in Nederland,  dan de Lutherische Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) bersatu dalam  Protestantse Kerk in Nederland (PKN) sejak 2004 lalu. Menurut von Ufford  terdapat kecenderungan kuat untuk makin mengLSMkan gereja-gereja. Agenda gereja  makin ditentukan oleh pemerintah (Belanda) sebagaimana tergambar dari  dipersatukannya ICCO dan Kerk in Actie. Akibatnya Sinode dan semua badan-badan  pembantunya makin teralienasi dari jemaat-jemaat, dan relasi dengan mitra-mitra  di Indonesia (misalnya) hanyalah sekadar relasi berdasarkan proposal.  Diperkembangkan di dalamnya apa yang ia sebut ideologi manajemen. Hubungan itu  makin menjadi lugas (zakelijk) dengan mengabaikan segi-segi emosi yang selama  ini telah terjalin selama beberapa generasi. Pada pihak lain, ada pula  kecenderungan, yang saya sebut mengkapitalisasikan gereja. Gereja makin lama  makin dilihat sebagai komoditas yang bisa dijual dengan kemasan-kemasan indah.  Gereja dilihat sebagai tempat berlindung dari “serangan-serangan” luar. Siapa  berada di dalamnya akan beroleh keuntungan, bukan saja secara rohani tetapi juga  secara jasmani. Kadang-kadang gereja dilihat tidak lebih sebagai usaha Kentucky  Fried Chicken yang dapat memberikan kenikmatan-kenikmatan. Kelima, keterlibatan  warga gereja dalam apa yang disebut “politik praktis” kadang-kadang juga  menyeret gereja sebagai institusi untuk terlibat di dalamnya. Gereja dilihat  sebagai wahana yang secara potensial menyediakan konstituen bagi partai-partai  politik yang dibentuk. Maraknya partai-partai politik (dengan asas Kristen) yang  lumayan banyak dewasa ini membuat warga kita bingung. Ada kecenderungan untuk  mengartikan hal keterlibatan dalam politik secara berat sebelah. Gereja tentu  saja mempunyai tanggungjawab politik, tetapi itu tidak berarti bahwa gereja  secara mudah diidentikkan dengan partai-partai politik. Kelima alasan ini  kelihatannya cukup kuat untuk mendorong kita memberi perhatian serius kepada  kehidupan bergereja kita dewasa ini. Sidang Raya XIV PGI (2004) dengan tegas  merumuskan bahwa gereja adalah “Gereja Bagi Orang Lain”. Dengan jelas hendak  dikatakan di sini bahwa gereja mestinya tidak berorientasi kepada dirinya  sendiri, tetapi ke luar, kepada dunia. Dalam derajad tertentu dapat dikatakan  bahwa gereja bukanlah tempat “berlindung” (sebab dengan demikian orang Kristen  akan dengan gampang masuk ke dalam ghetto), tetapi justru yang persis berada di  tengah-tengah berbagai pergolakan dan krisis. Pikiran Pokok ini dimulai  dengan kata “menjadi”. Inilah isyarat bahwa gereja sesungguhnya terus bergerak  dalam proses menjadi. Gereja tidak pernah menjadi sesuatu yang mapan  (established), yang terpaku pada satu kejadian dan tempat. Gereja adalah laksana  peziarah yang selalu siap untuk membongkar (kembali) kemahnya dan terus lagi  berjalan. Karl Barth berbicara tentang gereja sebagai peristiwa (Ereignis) ,  yaitu gereja yang bersifat dinamis, tidak ditawan oleh sikap institusionalistik  dan legalistik. Sebaliknya gereja selalu bergerak ke depan. “Esa” menunjuk  kepada komitmen gereja-gereja kita yang sejak semula ditekadkan yaitu mewujudkan  GKYE. Komitmen ini tidak pernah berubah. Yang terjadi adalah penekanan-penekanan  tertentu dengan memperhatikan hal-hal yang hidup di dalam gereja-gereja kita.  Sidang Raya XIV menegaskan bahwa keesaan kita adalah keesaan in action. Artinya  kalau setiap gereja anggota PGI menjalankan secara konsisten apa yang dituangkan  dalam Dokumen Keesaan Gereja, maka keesaan kita makin lama akan makin nyata.  “Utuh” artinya tidak terbagi-bagi. Juga tidak retak. Namun keutuhannya bukanlah  keutuhan masip seperti batu di mana tidak terdapat ruang sedikitpun di dalamnya.  Keutuhan ini masih memungkinkan setiap yang melekat padanya bernafas dengan  bebas, namun kebebasan itu demi menghidupkan semuanya. Dengan kata-kata lain,  keutuhannya itu justru adalah yang memberi ruang kepada pihak lain untuk juga  bisa bergerak dengan bebas. “Kukuh” mengindikasikan adanya kekuatan. Tetapi  kekuatan itu tidak dimaksudkan untuk “menyerang” pihak lain, tetapi sebaliknya  menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan demikianlah gereja-gereja dapat  menjalankan perannya dalam masyarakat majemuk Indonesia yang dewasa ini sedang  berjuang untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan ketertinggalan. Kalau  gereja-gereja masih terpecah-belah, maka dunia tidak akan percaya (Yoh. 17: 21).  Bahkan bukan tidak mungkin gereja dilecehkan saja oleh dunia. Salah satu  pertayaan yang mungkin dapat diajukan dalam kaitan ini adalah, sampai berapa  jauhkah kemajemukan masyarakat Indonesia ikut mewarnai bahkan menentukan bagi  kemajemukan gereja-gereja? Pertanyaan ini pada gilirannya mempunyai sangkut-paut  dengan persoalan relasi kesukuan dan kegerejaan kita.
  III. Gereja Menurut  Dokumen Keesaan Gereja (DKG)
  Di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang  diterima oleh Sidang Raya PGI kita menemukan gambaran tentang gereja. Gambaran  ini penting dikemukakan di sini sebab inilah kesepakatan gereja-gereja yang  dalam banyak hal tidak selalu sama ekklesiologinya. Di dalam “Pemahaman Bersama  Iman Kristen” (PBIK) yang merupakan salah satu dokumen penting dari DKG itu  dinyatakan hal-hal sebagai berikut: (1) gereja ada sebagai akibat Roh Kudus yang  menghimpunnya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa, yang di dalamnya  Kristus adalah Tuhan dan Kepala. Roh Kudus yang sama ini pula memberi kuasa  kepada gereja untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada  segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang zaman; (2) gereja berada dalam  dunia sebagai arak-arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju ke kepenuhan  hidup di dalam Kerajaan Allah. Gereja selalu dituntut untuk terbuka kepada  dunia, agar dunia terbuka kepada undangan Allah turut serta di dalam arak-arakan  orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan kerajaan-Nya di dalam Yesus  Kristus; (3) gereja ditempatkan Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya  dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya. Demikian juga halnya  gereja-gereja di Indonesia; (4) gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam  tangan Tuhan bertujuan menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Ada  hubungan koordinatif antara gereja dan negara; (5) gereja membutuhkan pertobatan  dan pembaruan yang terus-menerus. Maka selalu diharapkan kehadiran dan bimbingan  Roh Kudus; (6) Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku  satu Tubuh, satu Roh dalam ikatan damai-sejahtera, satu Roh, satu pengharapan,  satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Maka  keesaan, dengan demikian didasarkan atas persekutuan kasih, bukan kekuasaan  duniawi; (7) persekutuan itu dikuduskan dalam kebenaran. Dengan demikian, gereja  itu kudus; (8) persekutuan itu mencakupi semua orang percaya dari segala tempat  dan di sepanjang zaman. Maka gereja adalah am; (9) persekutuan ini bertekun  dalam dan dibangun di atas pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus.  Sebagai demikian, gereja adalah rasuli; (10) oleh karena itu gereja dan  orang-orang percaya laki-laki dan perempuan di segala tempat dan di sepanjang  zaman terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan dan kerasulannya,  baik sendiri-sendiri maupun secara bersama. PBIK itu dengan jelas  memperlihatkan hakekat gereja (sebagai bukan buatan manusia tetapi oleh Roh  Kudus), sifat gereja (sebagai yang terdiri dari segala bangsa, suku, etnis, dan  seterusnya), serta bagaimana memahami relasinya dengan dunia (dengan berbagai  persoalan sosial-politik, ekonomi, budaya dan sebagainya), yang terus bergerak  ke depan (sebagai arak-arakan), dan yang tetap setia kepada panggilannya (yang  rasuli). Selanjutnya di dalam dokumen “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama”  (PTPB) ditegaskan bahwa yang mengimplementasikan tugas ini adalah gereja-gereja.  PTPB itu adalah jabaran dari tugas gereja di bidang koinonia, marturia, dan  diakonia. Tiap gereja, demikian dikatakan adalah ungkapan dari gereja yang kudus  dan am. Dengan demikian, setiap gereja dipanggil untuk menampakkan keesaan  (koinonia), memberitakan Injil (marturia) dan menjalankan pelayanan kasih  (diakonia). Dalam Bab III (dari PTPB) ditegaskan perlunya membaharui, membangun,  dan mempersatukan gereja. Diinspirasikan oleh tema Sidang Raya XIV, maka  pembaruan itu diyakini akan terjadi apabila telah terjadi pembaruan budi sebagai  karya Roh Kudus. Khusus dalam masa bhakti 2004-2009, hal membaharui, membangun  dan mempersatukan gereja dilakukan dengan mengusahakan kemandirian di bidang  teologi, daya dan dana. Dalam Bab IV ditegaskan hal bersaksi dan memberitakan  Injil kepada segala makhluk. Bagaimanapun gereja harus memberitakan Injil kepada  segala makhluk. Injil itu adalah untuk seluruh dunia. Peran serta gereja yang  mengabarkan Injil dalam masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju masyarakat  yang berkeadaban (civil society) menuntut gereja memberi perhatian khusus kepada  korban-korban ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia serta  orang-orang miskin dan tertindas, berhubung inilah masalah-masalah sosial yang  peka dan mendesak untuk diatasi. Rumusan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa  peran sosial gereja sangat melekat dengan berbagai persoalan-persoalan sosial  yang muncul di dalam masyarakat. “Prediksi” SR bahwa kemiskinan akan tetap  menjadi persoalan akut kita sebagai bangsa kelihatannya tepat sebagaimana kita  saksikan dewasa ini. Tentu saja ada perbedaan tafsiran mengenai jumlah orang  miskin sebagaimana terlihat dalam “debat” antara Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono dan Wiranto (karena keduanya memakai hasil survey yang berbeda). Namun  hal itu tidak mengurangi makna, bahwa kemiskinan memang tetap merupakan  persoalan besar kita yang memicu berbagai persoalan-persoalan  lainnya. Tentang Injil sebagai Kabar Baik yang disampaikan kepada semua  makhluk, PTPB ini menyadari bahwa semua agama mempunyai berita bagi semua orang  (par.42). Keberadaan gereja tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain.  Maka pemberitaan harus dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan  kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai pula dengan keluhuran agama sendiri.  Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja (par.52), tetapi bagaimana  menjalankan mandat ini di tengah-tengah masyarakat majemuk dibutuhkan pedoman  umum. Ini punya kaitan dengan kebebasan beragama. Kebebasan beragama dan  kerukunan perlu makin diperkembangkan. Kebebasan beragama jangan dikorbankan  demi kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan demi kebebasan beragama. Demikianlah beberapa cuplikan dari DKG yang mestinya telah dihayati dan  dilaksanakan oleh semua gereja-gereja anggota PGI. Tugas gereja dalam dunia yang  sedang berubah telah dirumuskan dengan cukup jelas di sana. Barangkali baik  apabila kita menilai berbagai persepsi kita mengenai gereja dengan bertolak dari  rumusan-rumusan itu.
  IV. Gereja Yang Hidup
  Tentu kita tidak  bermaksud untuk membahas sebuah ekklesiologi lengkap pada kesempatan ini.  Bahasan-bahasan lengkap itu telah dilakukan dalam banyak buku-buku teologi.  Namun demikian, dalam rangka menyoroti kembali kehidupan bergereja kita, ada  baiknya kita menekankan beberapa hal yang, menurut saya penting. Pertama-tama,  perlu ditegaskan (lagi) bahwa gereja mestilah merupakan gereja yang hidup.  Kehidupannya tidak semata-mata terletak dalam kehebatan kita mengelolanya,  tetapi pada karunia Roh Kudus. Ini bukan pandangan baru, namun perlu ditegaskan  lagi agar gereja terhindar dari kecenderungan menjadi beku di dalam institusi  dan berbagai aturan-aturan yang diciptakannya. Atau menjadi bingung karena  adanya “serangan” dari luar. Para reformator menegaskan, gereja reformasi  haruslah dibarui terus-menerus (ecclesia reformata semper reformanda est). John  Stott, seorang pendeta emeritus dari Gereja Anglikan Inggris mengemukakan empat  ciri dari gereja yang hidup itu. Ciri itu dijabarkannya dari Kisah Rasul 2:  42-47,
  “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam  persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka  ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan  tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala  kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang  menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan  keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul  tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing  secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil  memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah  jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
  Inilah yang disebut Stott  visi Allah bagi gereja-Nya. Ciri pertama, gereja adalah gereja yang belajar (a  learning church). Jemaat pertama secara teratur bertemu untuk mendengar para  rasul-rasul mengajar. Tentu saja Roh Kudus penting sebagai yang menginspirasikan  dan menguatkan, namun belajar tetap merupakan ciri penting bagi gereja. Belajar  tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah-sekolah teologi, tetapi merupakan  kewajiban setiap anggota jemaat. Ciri kedua, gereja adalah gereja yang  memelihara (a caring church). Di sini diperlihatkan dengan sungguh-sungguh apa  yang dimaksud dengan persekutuan itu. Ciri ketiga adalah gereja yang beribadah  (a worshipping church). Hal itu terlihat ketika mereka memecahkan roti dan  berdoa bersama. Ciri keempat adalah gereja yang mengabarkan Injil (an  evangelizing church). Bagaimanapun gereja tidak dapat mengabaikan tugas  pekabaran Injil itu. Namun perlu pula diinterpretasi secara baru bagaimana  melakukannya dalam sebuah masyarakat mejemuk seperti Indonesia ini. Dengan  mengemukakan ciri-ciri ini (yang dalam banyak hal sudah kita tahu dan jalankan)  kita ingin menghindarkan gereja tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, pada satu  pihak, dan pada pihak lain, menciptakan “pulau” tersendiri di tengah-tengah  masyarakat. Gereja tidak boleh beku di dalam lembaga, tetapi juga tidak boleh  cair begitu saja tanpa bentuk dan identitas yang jelas. “Gereja Bagi Orang  Lain”, gereja yang terbuka, yang mampu melayani, hanya dapat terjadi apabila ia  sendiri kokoh dan kuat di dalamnya oleh persekutuannya yang terus-menerus  disuburkan oleh Roh Kudus. Tantangan-tantangan bagi gereja-gereja adalah  apakah persekutuannya yang secara sangat kasat mata terlihat di dalam lingkungan  sendiri, juga tercermin dalam persekutuan lintas gereja? Mungkin persekutuan itu  ada, tetapi jangan-jangan hanyalah sekadar sebuah persekuatuan formal, bukan  karena sehati-sejiwa sebagaimana dikatakan di dalam kitab Kisah Para Rasul.  Kalau di dalam diri kita sendiri persekutuan sulit diwujudkan, maka tentu tidak  mudah juga menjalin persatuan dengan mereka yang tidak tergabung di dalam gereja  kita. Keprihatinan kita terhadap persoalan kemiskinan, hak-hak asasi manusia,  ketidakdilan yang makin merajalela, ketidaktaatan terhadap hukum yang  berkeadilan, menjalin relasi dengan umat beragama lain, keterlibatan dalam  politik, dan sebagainya hanya dapat dijalankan dengan baik dan penuh optimisme  apabila kita benar-benar menjadi gereja yang hidup yang tidak henti-hentinya  belajar (learning), memelihara (caring), beribadah (worshipping) dan mengabarkan  (evangelizing).
 
  ___________________
  *) Disampaikan Dalam  Sidang MPL-PGI Jakarta/Ancol, 26 Februari 2008. **) Ketua Umum  PGI.
  |  
  |  
  | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar