09 Juni 2008

Tiga Model Pelayanan Gereja

SUARA PEMBARUAN DAILY
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/13/Editor/edit01.htm

Agus Wiyanto

Bicara tentang kiprah pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kua- litas kehidupan manusia yang le-bih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transfor-matif.

Pelayanan diakonia sebenarnya tidak hanya dilakukan institusi gereja. Lembaga Swadaya Masyarakata (LSM) sudah amat akrab dengan pemberdayaan masyarakat, tanpa membedakan agama, golongan, suku. Bagi institusi gereja praktik berdiakonia dilakukan sebagai suatu "panggilan iman" untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik, damai sejahtera dapat dialami umat manusia, dibebaskan dari penderitaan, kelaparan dan mereka mendapatkan hak hidup yang layak.

Pelayanan karitatif adalah model tertua dari bentuk pelayanan gereja yang dilakukan, dan sampai saat ini masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam.

Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang. Di masyarakat bentuknya pasar murah, pembagian sembako, pengobatan masal, posko kesehatan di daerah bencana. Tentu saja kalau dipraktikkan, maksudnya bukan untuk menjaring anggota luar masuk menjadi anggota gereja, tapi kita ingin berbagi cinta kasih yang tulus kepada mereka.

Pelayanan Reformatif

Model kedua merupakan pengembangan diakonia karitatif yang dirasakan tidak dapat menjawab persoalan untuk jangka panjang. Setelah banjir berlalu, dan persediaan sembako habis, lalu subyek yang dilayani mau apa? Apakah mereka hanya makan dan cukup gizi pada bulan Desember ketika ada pasar murah untuk mereka?

Pertanyaan ini mengusik perhatian banyak orang dan para tokoh dalam gereja yang berpikir kritis untuk memandirikan subyek yang dilayani dan dapat menghidupi di- rinya sendiri. Seiring keprihatinan tersebut, munculnya suatu konsep "ideologi pembangunan" yang dipromosikan negara maju, terutama oleh Amerika pada pertengahan tahun 1960.

Model diakonia ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan kharitas- amal kasih semata-mata. Pendekatan yang dilakukan memakai pola Community Development (CD) dengan pengembangan masyarakat seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan.

Perlu dicatat, Konferensi Gereja dan Masyarakat di Jenewa tahun 1966 dan Sidang Raya Dewan Gereja sedunia IV di Upsala-Swedia tahun 1968 telah meletakkan dasar pijakan teologis tentang partisipasi gereja dalam pembangunan dan masalah sosial masyarakat.

Akibatnya, muncul kesadaran gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan persoalan kemasyarakatan lainnya. Gereja tidak lagi mau menjadi menara gading untuk dirinya sendiri. Ada masalah-masalah sosial yang muncul dipermukaan, yang harus diatasi seperti terjadinya diskriminasi, ketidakadilan internasional, dan tugas-tugas politik gereja membangun kesejahteraan umat manusia.

Maka diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk Gereja-gereja di Indonesia melalui DGI dengan didirikannya Yayasan Darma Cipta (development centre) pada Sidang Raya DGI pada Tahun 1971 di Pematang Siantar. Tentu saja pelayanan reformatif ini membantu masyarakat dalam menaikkan pendapatan termasuk pendapatan perkapita.

Pemerintah di seluruh dunia, terutama di dunia ketiga mulai mengintrodusir program pembangunan yang berorientasi pada model barat yaitu pertumbuhan ekonomi dengan bertumpu pada pembangunan teknologi tinggi. Pembangunan industri dengan teknologi canggih, penggunaan pestisida dalam pertanian, penyediaan bibit hibrida dan menciptakan pasar yang berorientasi ekspor.

Akibatnya dari ideologi ini banyak kota-kota modern dan pabrik megah yang dibangun. Tapi hasil panen yang menumpuk tetapi tidak dimiliki atau dinikmati oleh masyarakat luas. petani malah terjebak dalam kemiskinan.

Bahkan kenyataannya di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang.

Pelayanan transformatif muncul sebagai alternatif ke tiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.

Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); Juga tidak cukup, kalau kita memberinya pancing atau pacul untuk mencangkul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dimiliki kaum pemilik modal yang mempunyai kapital?

Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri.

Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan Nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia.

Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal. Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis.

Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan insti- tusi sosial yang ada, dan melaku-kan monitoring dan evaluasi partisipatif.

Pelayanan transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.

Penulis adalah Rohaniwan


Last modified: 13/1/07

Tidak ada komentar: